Di akhir mata pelajaran matematika, siswa dua belas IPA 1 menikmati keseruan menjawab soal hitung-hitungan yang diberikan oleh Bu Tika. Mereka berlomba-lomba menjadi penjawab pertama. Sejauh ini Dean menduduki peringkat pertama sebagai orang tercepat menjawab soal.
Lifa mendengkus sebal, padahal dia sudah menjawab dengan cepat dan mengira Dean tidak akan mendahuluinya. Sudahlah, dia akui bahwa otak teman sebangkunya memang menyukai hal rumit.
"Oke, pertanyaan terakhir sebelum kita akhiri pelajaran hari ini." Bu Tika menuliskan soal di papan tulis, semua mata menatap tajam setiap angka yang tertoreh di sana.
Mereka kompak menunduk dan menggoreskan tinta pulpen di atas kertas masing-masing, mencari jawaban secepat yang mereka bisa. Meski kelas memiliki udara cukup dingin, tetap saja tidak mampu menghalau keringat keluar dari pori-pori masing-masing. Berpacu dengan waktu membuat matahari tersendiri di atas kepala mereka.
Sudah lewat dari tiga menit, belum ada yang mengangkat tangan berniat menjawab. Bahkan Dean masih mengerutkan kening, sesekali mengetuk dagu ketika berpikir keras. Soal ini jauh lebih kompleks dari soal sebelumnya.
"Tumben telat," celetuk Lifa sambil menyandarkan bahu di kursi.
Cowok itu memilih tidak menjawab, lebih baik fokus mencari kebenaran daripada menjawab pertanyaan Lifa. Karena diabaikan, Lifa mendesis jengkel. Ya, setidaknya dia jadi tahu kalau soal matematika lebih menarik dan tak pantas untuk dilewatkan.
"Matematika emang gak ada duanya," ringisnya di akhir kalimat.
"Daripada lo bicara sendiri, mending dijawab soalnya." Tanpa perlu menoleh ke samping, Dean menyuruh gadis itu kembali fokus. Pasalnya dia jadi kehilangan sedikit konsentrasi saat Lifa bersuara.
Baru saja Lifa ingin membalas perkataan Dean, suara Gani dari belakang membuatnya tersentak. "Saya udah selesai, Bu."
Bu Tika mempersilakan Gani maju ke depan, semua pasang mata termasuk Dean menatap penuh ke satu titik, tak termasuk Ralifa Safran. Gadis itu sudah lelah bermain bersama rumus dan angka, otaknya bahkan sudah sangat berasap di dalam.
Gadis yang kali ini tidak mengikat rambut panjangnya membaringkan kepala di atas meja, matanya menatap bosan ke arah Gani. Jenuh melihat ke papan tulis, dia beralih ke arah lain, yakni menoleh ke samping dan menatap Dean yang wajahnya sedang serius memperhatikan.
Lifa merasakan sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Melihat Dean saat serius seperti ini ternyata menambah pesona cowok itu. Dia meringis seraya menggaruk kepala. Apa Dean tidak pernah dikejar oleh anak-anak gadis di sekolah ini? Perasaan dia tidak pernah melihat ada cewek-cewek mendekati cowok ini.
Lifa cekikikan, mungkin sifat ambisius membuat mereka enggan mendekat. Ah, atau Dean yang tak pernah menggubris mereka dan membuat penggemarnya merasa tak dihargai dan memilih menjauhi Dean. Jika benar seperti itu, kasihan sekali teman sebangkunya ini karena tidak pernah menikmati keuwuan di masa SMA.
"Lo gak mau coba-coba pacaran gitu?"
Suara Lifa terbilang kecil, tetapi indera pendengaran Dean masih bisa mendengar pertanyaan aneh gadis itu barusan. Dia menatap Lifa yang ternyata masih tak memindahkan fokus darinya.
"Pacaran gak ada gunanya."
Mendengar itu sontak membuat Lifa menegakkan punggung. Dia tidak sadar kalau Dean mendengar pertanyaannya. Gila, pasti cowok itu mengira dirinya mulai memiliki perasaan lebih.
"Gue gak nanya sama lo." Lifa segera membuang muka, tidak ingin menengok ke arah cowok itu.
Dean tertawa dan membuat Lifa kembali menoleh. "Asal lo tau, lo gak bisa nipu orang terpintar di sekolah ini. Tuh, muka lo merona."
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love U ✓
Подростковая литература"Kalau nilai ulangan gue lebih tinggi, lo harus jauhin gue." Dean semakin menajamkan mata dan menekankan setiap kata yang diucapkan. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu. Lifa mendekatkan kepalanya di telinga Dean. "Tapi, kal...