Dean termenung meski gadis di sebelahnya terus berceloteh tentang pelajaran hari ini. Sedari tadi jantung berdebar hebat, matanya awas menatap kelokan jalan di ujung sana, menanti mobil yang telah dipesan melalui aplikasi. Setelah sekian lama dia akhirnya memutuskan mengunjungi makam tersebut yang sejujurnya tak pernah dia datangi meski Almira dikebumikan saat itu.
Dia terlalu takut dan berdosa berada di sana. Tak pantas jika air matanya mengiringi kepergian gadis itu walau dia sangat ingin mengantar Almira ke tempat peristirahatan terakhir. Dean meremas tangan yang mulai berkeringat, waktu semakin merangkak maju dan sebentar lagi dia berada di sana.
"Kalian berdua mau ke mana?" Gani baru saja keluar dari gerbang sekolah bersama motor matiknya dan berhenti di depan halte ketika melihat dua sahabatnya menunggu di sana.
Lifa tersenyum lebar. "Hari ini gue sama Dean mau ngunjungi Kak Almira."
Dean mendongak, menatap ke arah Gani yang tampaknya bahagia, tetapi raut tersebut hanya sebentar lantaran ingin bergabung, sayangnya tak bisa.
"Gue pengen ikut, tapi hari ini nyokap minta dianterin ke suatu tempat."
Mendengar nada sedih cowok itu, Dean dan Lifa saling pandang sejenak sambil tersenyum.
"Lain kali aja kalau gitu, gue emang hari ini maunya pergi sama Dean aja," jujur gadis berikat rambut ekor kuda di sebelah Dean.
Dean berusaha tersenyum meski sulit. Hatinya menghangat mendengar fakta tersebut, tetapi ada sekat yang menentang perasaan bahagia menelusup ke dalam dada, seolah-olah dia tidak pantas merasakannya. Dean tersentak ketika Lifa dengan semangat memukul pelan pundaknya. Ternyata mobil yang dipesan telah datang dan Gani sudah tak ada di tempat.
"Yuk. Kita ke toko bunga dulu sebelum ke sana."
Bukan suara, melainkan anggukan yang menjawab Lifa. Setiap inci tubuhnya terasa kaku sebab dilanda gugup luar biasa. Dia tidak menyangka akan melihat pusara seorang gadis yang pernah mengisi hari-harinya. Ternyata mendamaikan hati sangat sulit dilakukan.
~~~
Awan mendung di siang hari memang sangat mendukung orang-orang merasa galau atau terpikir masa-masa sedih. Waktu yang sangat tepat untuk berurai air mata, seperti yang dilakukan Lifa di sebelah makam Almira. Sementara itu, Dean masih berdiri seraya memegang bunga lili di tangan, cowok itu tidak bisa berkata apa-apa.
"Kak, kali ini Lifa sama Dean. Kakak pasti tau dia, 'kan?" rocos gadis itu.
Mira pasti tahu orang yang gak bisa nolongin dia, Fa.
Dean mendongak, menatap langit kelabu. Almira tidak akan berakhir di sini jika saja dia melerai hal itu terjadi. Tidak sanggup lagi, dia merunduk, membiarkan lututnya luruh menyentuh tanah. Tangannya meletakkan bunga di atas pusara, lalu menyapu pelan nisan bertuliskan Almira Safran dengan sangat lembut.
Tak ada pembicaraan, suara tangisan meliputi atmosfer sekitar. Dean tidak bisa membendung lagi kesedihan yang membuncah. Memang sudah satu tahun Almira pergi, tetapi rasa bersalah 'kan selamanya menetap. Sekali pun dia meminta maaf seumur hidup dia tetap bersalah.
"Maafin gue."
Dean sudah tak peduli lagi, sudah seharusnya keluarga Lifa tahu yang sebenarnya. Memang berat membongkar, tetapi jauh lebih sulit jika terus dipendam. Dean akan dihantui oleh rasa bersalah dan kesedihan selama-lamanya. Dia lebih baik tersiksa karena telah jujur daripada bahagia di atas kebohongan.
Tak masalah jika kehidupannya setelah ini berubah drastis, atau bahkan merusak kebahagiaan keluarganya seutuhnya dan ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Ini adalah konsekuensi yang harus diterima.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love U ✓
Ficção Adolescente"Kalau nilai ulangan gue lebih tinggi, lo harus jauhin gue." Dean semakin menajamkan mata dan menekankan setiap kata yang diucapkan. Padahal jauh di lubuk hatinya dia tidak menginginkan hal itu. Lifa mendekatkan kepalanya di telinga Dean. "Tapi, kal...