13-Takdir

37 8 26
                                    

Bagian belakang buku Lifa hampir penuh dengan coretan-coretan tidak jelas. Dia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja untuk makan, atau bahkan mengajak orang lain mengobrol. Penyesalan membuat mood jadi berantakan.

Lifa pikir Dean tidak akan marah terlalu lama, tetapi nyatanya cowok itu sama sekali tidak peduli, melirik pun tidak. Dia membuang napas panjang sembari membaringkan kepala. Harus melakukan apa agar Dean mau mengajaknya berbicara?

"Yuk, ngantin. Gue dari tadi nungguin ajakan lo buat makan, eh malah kayak gini." Gani meletakkan ponsel ke dalam saku setelah puas mengalahkan lawan mainnya.

Gadis yang diajak berbicara menggeleng pelan, nafsu makannya hilang entah ke mana. Tidak ada yang benar-benar ingin dia lakukan selain memikirkan cara agar Dean kembali seperti dulu. Tak masalah jika cowok itu selalu menegur tingkahnya yang tak tenang. Lifa lebih suka Dean dengan tatapan kesal dan omelan daripada Dean versi acuh.

Gani menggaruk tengkuk sambil meringis. Dia tidak pernah berhasil membujuk Lifa jika gadis itu sudah terlalu murung seperti sekarang. Meskipun sulit, dia mencoba memikirkan cara agar Lifa setidaknya mengisi perut. Dia sadar mengapa sahabatnya ini tidak karuan sedari pagi, penyebabnya karena Dean. Dia juga tidak habis pikir cowok itu akan mengambil langkah mengejutkan.

Namun, jika dipikir-pikir selama mengenal Dean, cowok itu tidak pernah sekesal ini walau nilainya terkalahkan. Gani malah berpikir akan melihat Dean bergetar hebat dengan mata memerah, tetapi nyatanya dia tidak melihat itu. Ini memang sedikit aneh.

"Sesedih gitu gara-gara Dean gak ngajakin lo ngomong?" Daripada diam saja, lebih baik Gani mengajak Lifa bicara.

Alih-alih mengeluarkan suara, gadis itu malah melengos dan mengangguk. Gani memutar mata sembari menyangga dagu.

"Tingkah lo mirip sama Kak Almira kalau lagi bad mood. Dulu dia juga sering gak karuan gara-gara Dean."

Mendengar ucapan Gani, Lifa langsung menegakkan punggung dan menatap cowok itu dengan mata membulat sempurna hingga membuat yang ditatap memundurkan badan karena terkejut. Lifa menarik tangan Gani keluar kelas ke pinggir lapangan dan memaksa sahabatnya ikut duduk di bawah pohon lindung.

"Kak Almira kenal Dean?" Tanpa basa-basi Lifa langsung masuk ke inti pembicaraan.

Gani mengangguk. "Dulu waktu kelas sebelas Dean terpilih sebagai salah satu kandidat olimpiade sains, tapi ternyata nilai Kak Almira sebanding sama Dean. Jadilah mereka bersaing buat rebut posisi delegasi sekolah."

"Kenapa lo baru ngomong sekarang." Lifa menggaruk pipi, berusaha menahan tangan agar tidak memukul Gani saking gemasnya.

"Dulu gue mau ngomong ini, tapi Dean-nya muncul, jad--"

"Udah lanjut," suruh Lifa, tidak ingin mendengar basa-basi.

Gani mencebik, tetapi tetap melanjutkan ucapannya. "Hampir setiap hari mereka bertengkar mulut tiap ketemu, tapi keseringan belajar bareng juga. Mereka cukup dekat sampai-sampai Dean manggil Kak Almira tanpa embel-embel kak."

Sementara Gani berbicara, Lifa terus merutuki diri sendiri. Dia mulai paham mengapa Dean marah padanya. Ini pasti karena dia mengungkit masalah kematian Almira sedangkan cowok itu menyukai kakaknya. Lifa tersenyum kecut mengingat pernyataannya pagi tadi, sudah pasti Dean akan menolak.

"Harusnya gue gak bilang kalau gue suka sama dia," gumamnya.

"Ralifa, lo bilang suka sama siapa? Jangan bilang sama Dean?" Gani menutup mulut. Tak lupa dia memeriksa kedua telinga, mungkin saja telinganya sedang bermasalah.

Lifa meringis seraya mengangguk dan membuat Gani menggeram jengkel. Melihat reaksi sang sahabat dia semakin berkecil hati dan semakin sedih.

"Ada gosip kalau Dean sama Kak Almira saling suka, dan lo bi--"

How Can I Love U ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang