Berkali-kali Chaeyoung mengembuskan napasnya dalam-dalam. Berkali-kali juga dirinya mematikan sepihak panggilan yang masuk ke ponselnya. Kebanyakan dari Chanyeol, kakaknya itu sibuk bertanya alasannya langsung pergi. Ia mendecap begitu ponselnya kembali berdering. Namun, alih-alih mematikan panggilan tersebut, gadis itu justru membeku.
Chaeyoung terdiam begitu mengetahui nomor asing yang ternyata menghubunginya. Ia memutuskan untuk membiarkan ponsel miliknya berdering tanpa ada niatan untuk mematikan panggilan sepihak kembali. Hanya ingin tahu, seberapa gigih nomor asing itu tetap berusaha menghubunginya.
Notifikasi tanpa pesan masuk kini terdengar. Tiga pesan yang masuk membuatnya hanya mampu kembali mengembuskan napas panjang. Ia memilih untuk menikmati perjalanannya kembali ke rumah dengan duduk tenang di kursi busway. Tidak lagi mempedulikan pemberitahuan apapun yang masuk ke ponselnya.
***
"Jungkook-ah, apa kau mendengarkanku?" Jimin bertanya ketika melihat pemuda di depannya itu nampak tidak peduli.
"Bagaimana, hyung?"
Jimin menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Ia merapikan catatannya dan bersiap untuk pergi. "Kau butuh istirahat, nanti kita bicara lagi."
Jungkook hanya mengusap-usap tengkuknya yang tidak gatal. Begitu Jimin menutup pintu ruang berlatihnya, ia kembali menyelonjorkan kaki. Mematikan lagu Euphoria yang sedari tadi diputar.
"Apa dia begitu kesal denganku?" gumamnya lagi.
Matanya menerawang ke langit-langit ruangan itu. Semua lampu yang terpasang menyala terang. Tidak membiarkan siapapun yang berada di dalamnya menyadari, bahwa hari sudah menunjukkan tengah malam.
Bayang Chaeyoung siang tadi masih terbayang jelas di ingatannya. Semenjak pertama kali Chanyeol memutar lagunya, Euphoria. Perubahan air muka gadis itu akan selalu ia ingat. Bagaimana Chaeyoung mendengarkan dengan seksama, kemudian bagaimana ia merespon pertanyaan Chanyeol, sampai ketika gadis itu pergi begitu saja setelah berpamitan seadanya.
Jungkook merasakan matanya memanas ketika mengingatnya. Setetes demi setetes air mata mulai mengalir dari mata itu. Ia memilih untuk menyembunyikan menggunakan lengannya yang berkeringat. Tidak boleh seorang pun melihatnya menangis. Seperti yang dilakukan Chaeyoung siang tadi.
"Kau boleh menangis, Jungkook-ah, kita manusia."
Kalimat itu, Chaeyoung mengucapkannya dulu. Ia tidak akan pernah kali pertama menyadari bahwa gadis yang selalu mengajaknya membolos akan berucap demikian. Hari itu, pemakaman nenek Jungkook dilaksanakan. Dirinya mencoba untuk tidak menangis dan memilih menjauh dari rumah duka. Duduk seorang diri di sebuah taman.
Chaeyoung datang. Duduk di sebelahnya dengan senyum yang nampak begitu tulus. Seseorang yang pertama kali memberitahunya untuk menangis. Meskipun katanya, seorang lelaki tidak boleh menangis. Karena cengeng adalah sifat perempuan. Dan, ia tidak ingin disebut cengeng seperti perempuan.
"Wae? Kita hanya manusia, wajar bila menangis."
Gadis itu berpindah di depan Jungkook yang masih menunduk. Meraih kepala pemuda itu dan membawanya ke dalam pelukan. "Tidak apa-apa, kau boleh menangis sekarang," ucapnya lembut. Bibirnya melengkung begitu merasakan perlahan baju yang ia kenakan basah.
Ia masih mengingat bagaimana kala itu Chaeyoung menepuk-nepuk pundaknya pelan. Membiarkannya membuat baju gadis itu basah oleh air mata. Itu adalah kali pertama Jungkook tersadar, Chaeyoung berbeda. Gadis itu sangat berbeda dengan siapapun di sampingnya.
Selama prosesi pemakaman sang nenek, Chaeyoung menggenggam tangannya erat. Chaeyoung tahu, Jungkook begitu dekat dengan wanita itu. Ia menghabiskan lebih banyak waktu bersama neneknya.
Jungkook merasakan sorot lampu begitu terang ketika ia membuka mata. Pemuda itu menghapus air matanya dengan kasar. Memilih untuk bangkit walaupun tubuhnya masih membutuhkan istirahat selepas berada di ruangan ini lebih dari setengah hari.
Jemarinya iseng membuka galeri di ponselnya. Folder lama yang masih terus ia pertahankan walau beberapa kali berganti ponsel. Ia berhenti di sebuah potret dirinya dan juga Chaeyoung. Gambar mereka ketika masih mengenakan seragam sekolah menengah atas.
"Chaeyoung-ah, tidak bisakah kau datang? Aku membuhkanmu," gumamnya. Matanya menatap lembut potret Chaeyoung yang tersenyum dalam rangkulannya. Mereka nampak bahagia.
***
Seoul, masih musim semi pada tahun 2013
Chaeyoung melepas pelukannya. Ia membalas tatapan bergetar kedua mata Jungkook. Mencoba untuk tersenyum walaupun gemuruh di dalam dadanya belum juga hilang. Ia membawa pergi pemuda itu. Selepas memastikan beberapa jepretan kamera yang didapat sudah mampu membuat keduanya akan segera menjadi trending topik.
"Ya! Park Chaeyoung, jawab aku!" Jungkook menghempaskan tangannya kasar. Mereka kini sudah berada di dalam gedung kembali, lebih tepatnya di dalam koridor menuju ke ruangannya untuk berlatih. Raut mukanya tidak dapat dikatakan baik-baik saja.
Gadis itu masih berdiri memunggungi Jungkook. Gemuruh di dadanya berhasil membuat kedua mata Chaeyoung memanas. Tangannya menyapu kasar air mata yang perlahan jatuh. Jangan menangis Park Chaeyoung! Sentaknya dalam hati.
"Sajangnim yang menyuruhmu!" Jungkook bergerak cepat, ia berdiri di depan gadis itu. "Katakan padaku! Apa sajangnim yang menyuruhmu?!"
Chaeyoung mengangkat kepala. "Tidak. Aku hanya ingin karier yang naik lebih cepat."
Jungkook hanya memandangi punggung Chaeyoung yang baru saja pergi menjauh. Ia sendiri masih terdiam di tempat yang sama. Mengabaikan notifikasi ponselnya yang membeludak. Pemuda itu mengembuskan napas kasar.
Sementara itu, Chaeyoung memilih untuk tetap berjalan. Mengabaikan teriakan frustasi Jungkook di belakang sana. Diam-diam ia meminta maaf kepada pemuda itu.
Chaeyoung hanya mengusap tengkuknya yang tidak gatal di ruang berlatih. Para trainee menatapnya dengan berbagai macam ekspresi. Ia menemui wajah-wajah yang menatapnya dengan mulut melongo, beberapa pasang mata yang menyipit, dan segerombolan orang yang berbisik tentangnya.
Gadis itu memilih untuk menghampiri seorang gadis lagi. Satu-satunya orang yang tersenyum kepadanya. "Hai, Nancy, kau tidak ikut membenciku?" tanyanya. Ia terkekeh di akhir kalimat.
Nancy, trainee yang baru datang sebulan lalu, tersenyum menanggapi. Gadis itu memberikan sebotol air kepada Chaeyoung. "Aku tahu sajangnim menyuruh unnie melakukannya."
"Tidak apa-apa," Nancy menepuk pundak Chaeyoung pelan. "Unnie, percayalah semuanya akan membaik."
Ia hanya mampu tersenyum setelahnya. Ucapan Nancy seperti angin yang ia dengarkan sambil lalu. Chaeyoung tersadar, tidak ada yang akan baik-baik saja setelah ini. Semenjak kakinya melangkah pergi dan menghampiri Jungkook di depan gedung Wings Agency, semua hal tidak akan baik-baik saja.
Ratusan artikel akan terbit setelah ini. Skandal seorang solois baru dengan trainee sesama agensi akan memenuhi portal berita. Nama Jungkook dan namanya akan menjadi trending topik di mana-mana.
Waktu di sekitar Chaeyoung terasa lambat. Ia memang berlatih, tetapi tatapan dari orang di sekelilingnya membuat gadis itu jengah. Namun, hei, ini pula risiko yang harus dihadapi, bukan? Entah untuk ke berapa kalinya saja, Chaeyoung mengembuskan napasnya dalam-dalam.
"Park Chaeyoung, kau dipanggil sajangnim."
- To Be Continued -
![](https://img.wattpad.com/cover/217680502-288-k628864.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] THE GUY NEXT DOOR
FanfictionBerkat skandal yang terjadi lima tahun lalu, Jeon Jungkook yang merupakan seorang solois kenamaan Korea mendapat banyak haters. Beberapa kali ia menjadi sasaran empuk media berkat haters dan penguntit yang selalu mengikutinya sepanjang waktu. Puncak...