MAAF BANGET KALO TERNYATA BAB INI GAK BAGUS--bahkan semua cerita ini gak bagus--soalnya waktu aku terbatas dan aku bener-bener gak punya banyak waktu buat nulis sekarang karena ada urusan yang sekiranya penting dan gabisa ditinggal. Jadi, sekali lagi, maaf banget kalau ternyata bab ini gak sesuai sama ekspektasi kalian.
Kalau kalian ada kritik dan saran bisa kok disampaikan di kolom komentar. Terima kasih.
Doain aja aku punya waktu luang nanti buat revisi bab ini.
Walau begitu, aku sungguh berterima kasih buat kalian yang udah bersedia menghabiskan waktu kalian demi membaca ceritaku ini. Gak terasa udah di akhir cerita. Berharap kalian suka.
Selamat membaca!
***
Kesadaran kembali menghampiri Harry, begitu pun dengan ingatannya yang menyerbu seluruh kisi dalam benaknya bagai teka-teki yang menyatu untuk menciptakan gambar yang sempurna.
Walau begitu dia belum juga membuka matanya, terlalu fokus pada rasa takut yang kembali menyapanya. Takut kalau dia masih ada di tempat itu, di tempat di mana dia kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Takut kalau semua adalah mimpi dan dia sebenarnya masih disiksa—atau lebih buruk lagi, dialah yang mati.
Namun, pikiran itu akhirnya tersingkirkan tepat setelah indra penciumannya berfungsi kembali, pelan-pelan mulai mencium bebauan obat yang menandakan kalau sekarang dia dirawat di bangsal rumah sakit.
Di samping itu, indra perasa pun mulai mengikuti kesadarannya. Tangan kirinya pelan-pelan meremat seprei yang ia tiduri. Sedang tangan kanannya menggenggam tangan lain yang menggenggamnya erat.
Pada akhirnya, Harry pun membuka kelopak matanya, mengerjap untuk beberapa kali demi beradaptasi dengan intensitas cahaya yang memenuhi ruangan yang serba putih itu. Begitu kontras dengan tempatnya dikurung.
Tenggorokannya yang seakan tidak disentuh air selama waktu yang lama berbunyi serak ketika udara dari paru-parunya menyapa pita suaranya.
"Harry?"
Seketika Harry menoleh ke arah suara, sadar akan siapa si pemilik suara.
Detak nadinya sempat berhenti untuk beberapa detik ketika matanya bertemu pandangan dengan iris cokelat kehitaman yang sudah begitu akrab dengannya.
Napasnya yang mulai teratur pun tercekat di ujung tenggorokannya bersama dengan suara yang terperangkap di ujung lidahnya, di waktu wajahnya berhadapan dengan wajah yang sudah menemaninya sedari dia belum bisa berbicara dengan benar.
Ketidakpercayaan menyelubungi pikirannya saat itu juga. Melihat sosok papanya yang dia pastikan sudah mati di dalam kastil itu, di mana dia ringkuk begitu erat, malah duduk di samping ranjangnya, menungguinya adalah hal yang patutnya dia tidak bisa percayai—kecuali dia mati.
Astaga.
Ketakutan dan rasa cemas kembali menghampirinya, kali ini rasa itu lebih kuat puluhan kali lipat daripada sebelumnya.
"Tenang." Suara lembut yang menenangkan hati kembali menyapa indra pendengarannya.
Namun, semua itu begitu saja sirna kala tangan papanya mendarat di pucuk kepalanya dan mengelusnya pelan. Senyum halus yang hinggap di paras tampannya begitu sanggup membuat hati Harry tenang seketika.
"Semua ada penjelasannya, Ular kecil." Pria itu beranjak dari duduknya untuk mencium pelupuk kening Harry. "Aku akan panggil Healer untuk memeriksa keadaanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Harry Riddle
FanfictionSang Kegelapan menatap matanya dalam diam. Di antara celah mulut terapal setengah mantra pembunuh, tapi tongkatnya menolak untuk mengantar jampinya. Tangannya merendah seiring iris darahnya bersenggama dengan ratna hijau yang gemerlap di tengah-teng...