Bab 3: Horcrux

3.3K 470 26
                                    

Hai! Ketemu lagi kita di cerita yang gak jelas mau diapakan ini wkwkwk. Sinopsisnya sih Harry yang minta kado dan Tom yang mutusin kalau Harry adalah satu-satunya Horcrux yang dia butuhkan.

Udah cukup, segitu aja. Silakan dibaca.

~oOo~

Tinggal sehari sebelum Harry benar-benar menginjak usia tujuh tahun, yang mengartikan kalau dia bisa bersekolah di sekolah muggle sebagaimana janji papanya dulu. Senang? Tentu saja. Dia anak laki-laki berumur tujuh tahun kurang sehari, apa lagi yang membuatnya bisa sesenang sekarang kecuali bisa berinteraksi dengan anak sebayanya? Tidak ada.

Namun, sebelum itu, dia tidak mungkin menemui papanya dengan alasan kalau dia meminta bersekolah di sekolah muggle agar bisa bertemu dengan teman baru yang jelas-jelas muggle atau ingin bergaya di kala nanti dirinya masuk ke Hogwarts, 'kan? Karena itu, sekarang Harry duduk diam di teras belakang manor tanpa memerhatikan hamparan taman belakang yang tampak indah dengan berbagai bunga dan pohon-pohon yang ditata rapi di hamparan tanah berlapis rumput hijau.

Matanya memandang kosong ke depan selagi pikiran kekanakannya berkecamuk mencari alasan yang tepat untuk dijadikan kunci agar bisa keluar dari manor—jangan berpikir kalau Harry ingin kabur dari papanya. Sama sekali bukan. Harry hanya bosan main sendiri tanpa teman selain papanya, para ular, dan peri rumah. Dia itu anak kecil dan pastinya butuh bersosialisasi, 'kan? Tidak mungkin selalu diam di rumah.

Napasnya menderu keluar ketika dia mulai menyerah mencari-cari alasan untuk mengelabuhi papanya—matanya tiba-tiba membelalak lebar di kala sebuah ide merebak masuk ke dalam pikirannya yang sudah mumet. Dua iris zamrudnya berbinar terang selagi dia mengukir senyum di bibir ranum kecilnya, yang perlahan berubah menjadi cengiran khas anak-anak. Dia mendapatkan ide. Harry mendapat ide bagaimana dia bisa bersekolah seperti anak-anak pada umumnya.

Sesegera mungkin Harry beranjak dari teras manor, bergegas masuk. Langkah kecilnya terdengar menggema di dalam manor yang sunyi sampai akhirnya ia berhenti di depan dua pintu kayu hitam yang tertutup rapat.

Disertai perasaan segan sekaligus gembira, Harry mengetuk pintu yang ada di depannya tiga kali. Tak menunggu lama, dua daun kayu itu pun terbuka lebar dan menampakkan sosok tampan Sang Pangeran Kegelapan yang duduk tenang di balik meja kerjanya yang langsung menghadap ke arah pintu. Dua jendela yang bercahaya di balik sosok Papanya membuat sosok si pria tinggi menjulang terasa lebih mendominasi ketimbang biasanya.

"Ada apa Harry?" tanya Tom.

"Papa." Harry masuk ke dalam ruang kerja papanya. Sudah sejak enam bulan lalu papanya berpindah ruangan dari perpustakaan ke salah satu ruangan manor yang sepertinya tak pernah ada sebelum papanya, Voldemort, berniat memakainya.

Langkahnya terus mengayun maju, masuk lebih dalam ke ruang kerja Tom yang berdinding rak-rak tinggi yang menjulang ke langit-langit; satu kandil kristal bersinar redup di atas sana. Harry berhenti tepat di depan meja Tom.

"Aku ... aku—Papa ingat, 'kan, waktu kita pergi membeli kacamata?" tanya Harry.

Wajah Tom yang tadinya beriak penasaran sekarang tampak khawatir. "Ya, tentu saja. Kenapa? kacamatamu rusak?" tanya Tom.

Harry menggeleng pelan. Lidahnya tiba-tiba keluh, seakan tak sanggup menjawab papanya dengan kebohongan.

"Bicara, Ular kecil. Kau tahu kalau papamu tidak akan menggunakan Legillimency padamu," tuntut Tom halus. Dia masih menunggu sampai Harry bersuara.

"Besok adalah ulang tahunku ... bolehkan aku meminta hadiah darimu, Papa?" tanya Harry waswas.

Alis Tom terangkat, semakin bingung karena pertanyaan Harry. Bukankah Harry selalu mendapat kado yang dia inginkan di setiap ulang tahunnya?

Harry RiddleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang