Chapter 91.

3.2K 269 114
                                    

Aku tersentak, terbangun karena kaget. Aku baru saja bermimpi kalau aku terjatuh, terjun bebas dari lantai paling atas Grand Hill dan itu adalah cara bangun tidur yang paling kubenci. Sesaat, aku sempat merasa disorientasi ketika mataku meliar pada tempat asing ini dan kemudian aku tersadar, aku tengah berada di rumah Minho.

Aku mengusap mataku, meregangkan tanganku. Lalu aku menoleh ke jendela dan mataku segera di sambut oleh kabut putih yang tebal. Aku tak bisa melihat apapun selain kabut. Rumah Minho benar-benar seperti rumah dalam film-film bergenre horror. Belum lagi udara dingin di sini yang begitu menusuk hingga ketulangku. Untunglah, penghangat di rumah tua ini masih berfungsi dengan baik.

Aku melirik jam dinding tua, dan aku terkejut saat melihat jam, 11.20. Sudah siang! Astaga.

Kupikir sekarang masih fajar. Apa aku tidur terlalu pulas?

Tanganku menjulur keluar selimut untuk mengambil ponselku tapi aku tak menemukannya. Seingatku, aku menaruhnya di atas meja nakas dan dalam keadaan tersambung oleh kabel pengisi daya. Charger ponselku pun masih tersambung pada stop kontak tapi ponselku tak ada. Aku meraba bawah bantalku. Aku selalu menaruh ponsel di sana atau pun di nakas. Tapi aku tak menemukannya di salah satu tempat itu.

Aku menyibak selimut, barangkali terselip di bawahnya tapi tetap nihil. Aku turun dari kasur dan mulai mencari di tempat lain dan akhirnya menemukannya tergeletak di atas meja rias dalam keadaan mati.

Aneh.

Aku ingat betul semalam kutinggalan dalam keadaan mengisi daya dan mengapa ponselku bisa ada di meja? Tidak mungkinkan dia jalan sendiri?

Karena tekanan kantung kemihku sudah penuh dan perlu di buang, aku memilih tak memusingkan itu. Dengan cepat, aku menyeret kakiku yang terbungkus kaus kaki tebal ke dalam kamar mandi dan akhirnya memutuskan untuk mandi.

***

Kami berlima, aku, ibuku, bibi Hae-in, Minho dan Taylor— mulanya Taylor menolak makan di meja yang sama, tapi setelah di paksa bibi Hae-in akhirnya ia menurut—  sedang duduk di meja makan untuk makan siang. Di meja makan ada kaserol zucchini dengan taburan keju parmesan, ikan pedang panggang, spaghetti bolognese dan salad tomat. Makanan yang banyak untuk lima orang.

Ibuku menumpahkan banyak kaserol daging di atas piringku, aku merengek karena mendapatkan porsi yang berlebihan.

Di seberangku, Minho menatapku dengan jijik.

"Lilly, anakmu sudah gendut. Jangan buat dia makin gendut," tukasnya.

Ibuku terkekeh, "semakin gendut, semakin sehat." Ibuku menaruh kaserol dan mengambil piring spaghetti.

"Tidak. Tidak. Aku sudah cukup." Aku menghentikan ibuku untuk tidak menaruh apapun lagi di atas piringku. Ibuku hampir cemberut karena penolakanku.

"Semakin gendut, semakin dekat dengan kematian karena koresterol dan penyakit jantung." Celetuk Minho.

Aku melotot pada Minho.

"Apa? Aku hanya mengingatkan ibumu kok." Katanya. Dia menyuap satu sendok penuh kaserol ke dalam mulut sampahnya.

Setelah makan siang selesai, aku mengangkat piring-piring kotor di atas meja makan dan menaruhnya di dalam bak pencuci piring. Ibuku ingin membantu, tapi aku melarangnya. Akhirnya ibuku pergi ke ruang keluarga untuk menonton televisi.

Aku memasang sarung tangan karet dan mulai memberisihkan piring-piring kotor.

"Aku akan membantumu," suara bibi Hae-in terdengar di belakangku.

Aku menoleh dan tersenyum. "Tidak usah bi, aku saja."

"Kau mencuci, aku mengeringkan piring," kata bibi Hae-in, memaksa. Dia menarik serbet dari gantungan dan berdiri di sebelahku.

Vengeance (S1) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang