Takdir Allah memang tak ada siapapun yang tau. Hal yang tak nalar dipikir oleh akal logika manusia bahkan dianggap mustahil untuk terjadi, dengan Allah semua bisa menjadi mungkin. Tak ada yang mustahil bagi Allah. Doa dan ikhtiar menjadi senjata setiap manusia untuk tetap bermujahadah di jalannya, untuk menyelesaikan setiap ujian yang Allah berikan dan tentunya tetap berpegang teguh pada Al-quran dan Al-hadis.
Memang benar, terkadang skenarionya sangat berbanding terbalik dengan apa yang kita harapkan. Segala Planning yang tak sejalan dengan alur yang Allah tetapkan. Percayalah Allah lebih tau apa yang kita butuhkan. Sesungguhnya rahmat Allah mendahului takdirnya. Dan tinggal bagaimana cara kita bisa berhusnudzon dengan segala yang telah ditakdirkannya.
Begitu juga denganku. Aku yang sempat menyerah dari ujian yang Allah berikan. Sempat tak yakin dengan kesembuhan Abah hanya karena melihatnya terbaring lemas. Aku lupa bahwa dengan Allah sesuatu yang mustahil bisa menjadi mungkin.
Waktu berlalu begitu cepat, menit demi menit, detik demi detik. Semua berjalan sesuai ijin dari nya, sang Ilahi Robbi. Rasanya memang baru kemarin menangis melihat kondisi Abah, tak menyangka musibah seperti itu akan datang di keluarga kami. Tapi apa daya kita sebagai manusia. Suka tak suka, mau tak mau harus tetap dijalani dengan keyakinan selalu ada hikmah dibaliknya.
Kebahagiaan yang tiada tara, dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata melihat kedua orang tua bisa menikmati suka duka bersama, dan tentunya dengan keadaan sehat wal afiat. Hanya itu bukan yang di harapkan oleh seorang anak? Dan Aku bersyukur ditakdirkan menjadi Putri mereka.
"Husna?" panggil Ummi sembari menghampiriku yang sedari tadi mematung di dekat jendela. "Ayo makan. Abah sudah menunggu dibawah." ajak Ummi dengan merangkul pundakku.
"Bentar lagi Husna turun, Ummi." jelasku.
"Ya sudah, jangan lama-lama ya. Ummi tinggal dulu." ucap Ummi yang ku balas dengan anggukan dan senyum.
Aku melihat Ummi keluar dari kamarku. Sesaat aku memandang Ummi yang melempar senyum sebelum akhirnya hilang dari pandanganku. Iya, aku melihat manik mata, 1 minggu yang lalu hampir setiap hari menitihkan bulir-bulir mutiara kini terlihat membaik. Memang benar, waktu berlalu sangat cepat. Semua seakan kembali normal setelah kurang lebih 1 minggu Abah keluar dari rumah sakit.
Oh Allah, dzat yang maha mengetahui, maha pengasih, pemilik alam semesta. Beribu-ribu syukur atas nikmat yang berlipat-lipat ini Ya Robb.
Aku membalikkan badan berniat untuk turun kebawah. Tapi niatku terurungkan saat ada pesan masuk di ponselku. Iya, dari Dokter Fatih. Eh, maksudnya Mas Fatih. Hehe...
Aneh ya, tapi aku harus mulai membiasakannya.
Isi pesannya singkat, hanya menanyakan Aku di rumah atau tidak, Hanya itu. Tak ada yang spesial.
Oiya, Aku sampai lupa mau menanyakan perihal dia di Panti Asuhan 3 tahun yang lalu. Selalu lupa. Huh, Husna.
Tiba-tiba pikiranku tertuju dan tertarik untuk memikirkan ucapan Mas Fatih, Seperti adik sendiri. Ada rasa penolakan tersendiri dalam batinku. Dadaku sesak, tak mau menerima anggapan dari Mas Fatih. Aku ingin lebih, bukan hanya sekedar Adik.
Sudahlah....
Percuma....Aku memutuskan untuk turun ke bawah. Menata hati dan pikiran. Menetralkan mimik wajah karena tak ingin Ummi dan Abah tau Aku sedang memikirkan sesuatu.
Betapa terkejutnya Aku melihat sosok ikhwan yang sedari tadi mengusik pikiranku, kini sudah duduk di meja makan bersama Abah dan Ummi? Wow, gercep sekali.
Tapi, kenapa pagi-pagi sekali dia kesini?
Dengan rasa penasaran Aku menuruni anak tangga satu demi satu. "Mas Fatih? Kok tumben?" tanyaku sembari mendaratkan pinggulku di kursi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba Ya Habibi
SpiritualDalam diam Husna menyimpan rasa untuk seorang ikhwan yang dengan merdunya melantunkan firman Allah, tak lain dan tak bukan adalah Fatih Al- Hamid yang sekaligus menjadi dokter spesialis Abahnya. Dan dalam diam pula Ia harus berusaha ikhlas melepas s...