23. SALAHKU

20 3 0
                                    

"Yang namanya selalu Ku sebut untuk Ku mintai perlindungan atasnya, kini justru Aku sendiri yang menjadi sebab ketidak berdayaannya saat ini."

Akifah Husna Arrasyid

Ku lihat beberapa orang mulai mendekat lalu berkerumun melingkari Mas Fatih. Pikiranku tak karuan. Aku mempercepat langkah menuju ke arahnya. Tak peduli suara klakson dari beberapa kendaraan yang melintas malam itu.

Saat Ku berhasil mendaratkan kaki ku yang berjarak beberapa jengkal dari posisi Mas Fatih sekarang, tiba-tiba badanku gemetar, dadaku sangat sesak, air mata mulai bercucuran dengan begitu derasnya. Perlahan Aku mendekat. Langkah demi langkah Ku coba dan memberanikan diri mendekat kearahnya. Dengan hati yang siap untuk hancur berkeping-keping.

Ku coba untuk menyelinap dari sela-sela beberapa orang yang melingkarinya. Langkahku semakin dekat dengannya. Mas Fatih akan baik-baik saja, ucapku dalam hati berusaha untuk menenangkan diri. Saat Aku telah berhasil menyelinap di dalamnya. Kedua mataku menangkap sesosok ikhwan yang begitu Ku kagumi dalam diam tergeletak diatas aspal jalanan dengan berlumiran darah. Aku sempat tak percaya dengan apa yang Ku lihat. Darah yang berceran di jalanan berdekatan dengan Dia yang tengah berbaring tak sadarkan diri. Bahkan bukan hanya itu, tubuhnya pun ikut serta bersimbah darah. Seseorang yang beberapa menit sebelumny,ma yang ku lihat mampu melebarkan senyum bahkan membuatku sedikit tak suka dengan sikapnya, kini keadaanya begitu  mengkhawatirkan.

Tiba-tiba lututku begitu sangat lemas. Air mata benar-benar mengalir deras. Detik berikutnya Aku ambruk dan berlutut persis di samping tempat Mas Fatih tak sadarkan diri. Berharap ini hanya mimpi buruk dan hanya akan menjadi sebuah mimpi. 

"AWAAS MINGGIIRR!!" suara dari petugas medis yang membuyarkan pikiranku. Mereka akan mengangkatnya keatas brankar kemudian membawanya masuk ke dalam ambulance dan membawanya ke rumah sakit.

Suara sirine yang kemudian dinyalakan, benar-benar menambah rasa ketakutanku terhadap keadaan Mas Fatih.

Oh Allah, tolong jaga dia untukku.

Jangan biarkan Ia berada dalam masa sulit sendirian.

Aku hanya bisa mematung sembari terus saja memperhatikan mobil ambulance yang melaju dengan cepatnya dan mulai menjauh dari posisiku sekarang. Air mata yang jelas sekali tak bisa Ku bendung. Terlebih rasa bersalah yang menggelayuti setiap jengkal pemikiranku. Harusnya Aku yang berada disana, bukan Mas Fatih.

Ini adalah salahku. Andai saja Aku bisa lebih berhati-hati lagi mungkin kejadian seperti ini tak akan terjadi. Husna, dengan tidak sengaja Kamu telah melukai seseorang yang begitu Kau cintai. Kau yang meminta perlindungan atasnya, Kau yang selalu mendoakan untuk kebaikannya. Dan sekarang Kau sendirilah yang menjadi sebab dari ketidak berdayaannya. Sungguh Husna, tak ada yang lebih buruk darimu.

"Husna ayo cepet sini." Pinta Mas Dimas yang tengah berdiri tepat disamping pintu mobilnya. Aku berlari kearahnya setelah sebelumnya menyeka air mata dan menganggukkan kepala.

***

Beberapa petugas medis mendorong brankar dengan begitu cepat menuju ke ruangan ICU. Karena kondisi Mas Fatih yang begitu menghawatirkan. Ditambah dengan darah segarnya yang terus saja keluar tak mau berhenti. Disusul Aku dan Mas Dimas yang berada tepat di belakang para petugas tersebut. "Maaf, kalian tunggu disini saja. Dokter Fatih sangat membutuhkan penanganan segera." ucap salah seorang nesr yang menangani Mas Fatih sesampainya di depan ruang ICU. Akhirnya Kami pun menuruti permintaannya krena itu memang aturan dari rumah sakit.

"Husna." Panggil seorang dari arah belakang setelah kurang lebih 5 menit Mas Fatih dibawa masuk ke dalam. Wajahnya menggambarkan kecemasan yang amat sangat mendalam. Beliau menghampiri ku dengan langkah cepat. Jelas saja pikir beliau saat ini adalah tentang bagaimana keadaan anak semata wayangnya. Oh allah, hamba sungguh tak tega.

Memang benar, saat diperjalanan Aku sempat mengabari Bu Suci perihal apa yang tengah terjadi dengan Mas Fatih.

"Bu suci." panggilku lirih saat beliau memegang tanganku. Dengan mata yang lagi-lagi penuh dengan air yang menggenang.

"Fatih..." panggilnya sembari melangkah mendekati pintu ICU dengan air mata yang mulai mengalir. Cemas yang begitu mendalam setelah mendengar anak semata wayangnya mengalami kejadian yang bahkan tak terduga sebelumnya. Beliau membalikkan tubuh dan kembali menghadapku "Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya beliau yang membuatku hanya bisa menundukkan kepala tak sanggup menjawabnya.

"Husna? Kenapa diam? Saya bertanya sama kamu?" tegas beliau saat tak kunjung ada jawaban dariku.

Detik berikutnya Aku memberanikan diri untuk mendongakkan kepala dan berusaha menjelaskan segalanya, tanpa ada yang harus Aku tutup-tutupi. "Bu Suci, sebenarnya....."

"YANG SEBENARNYA ADALAH, MAS FATIH BISA SEKARAT SEPERTI INI SEMUA KARENA HUSNA." jawab Nabila dari arah belakang Bu Suci yang sontak membuat Bu Suci memalingkan wajah menghadapnya. Begitu juga Aku dan Mas Dimas.

"Maksudnya?" tanya Bu Suci dengan mengerutkan kening.

Nabila memajukan langkah menghampiri posisi kami sekarang. Sebelum akhirnya berkata "Iya, Mas Dimas tertabrak semua itu karena Dia!" ucapnya sembari menunjuk kearahku dengan tatapan sinis.

"Apa itu benar, Nak?" ucap Bu Suci memastikan. Yang kemudian hanya ku jawab dengan anggukan kepala sembari menunduk tak berkutip.

Apa lagi yang bisa Ku lakukan?

Toh semua yang Nabila katakan itu benar adanya. Mas Fatih terluka dan menjadi seperti sekarang ini memang karena Aku. Akulah yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpanya hingga membuatnya harus bertaruh nyawa sendirian di dalam sana. Semua adalah salahku.

Secara tiba-tiba Bu Suci yang memegang kedua lengan tanganku dengan begitu kuat hingga membuatku sedikit menaduh kesakitan "Kenapa Kamu tega melakukan itu?!." tanya beliau dengan tatapan mata yang tajam.

"KENAPAA!!!"

Oh Allah, baru pertama kali ini Aku melihat serta mendengar Bu Suci berkata begitu kasar terhadapku. Tapi Aku memang pantas diperlakukan seperti itu. Aku oantas mendapat amukan dari seorang Ibu yang anaknya telah Ku buat celaka. Ibu dari seorang anak yang beberapa menit yang lalu mempertaruhkan nyawanya hanya untuk menyelamatkanku. Aku, yang beberapa hari terakhir telah nemilih untuk memutuskan hubungan dengannya. Aku yang saat ini bukan siapa-siapa lagi untuknya. Kamu memang jaha Husna. Kamu jahat.

"Husna minta maaf." Pintaku setelah Bu Suci melepaskan cengkramannya pada tanganku. "Semua berjalan begitu cepat. Bahkan Husna sendiri tak menyangka hal seperti ini akan terjadi." ucapku mencoba menjelaskan namun justru membuat Bu Suci terlahat menjadi sangat lemas, kemudian Nabila menuntunnya untuk duduk di bangku tunggu.

Aku memutar tubuh menghadap arah yang berlawanan dan bernist untuk pergi dari sana. Detik berikutnya Aku berlari meninggalkan mereka. Mas Dimas sempat memanggilku saat menyadari Aku akan pergi. Namun Aku tak kuasa untuk menghentikan langkah terlebih memutar tubuh dan mengadapnya. Saat ini rasaku begitu sangat hancur.

Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit. Semakin jauh dari posisi mereka sekarang. Dengan diiringi tangis, setiap langkahku terasa begitu berat. Namun Aku sendiri bisa apa? Kejadian ini sungguh membuatku amat sangat tak berdaya.

"Kenapa Kamu lari gitu aja?." tanya salah seorang dari arah belakang. Aku tau, itu adalah suara Mas Dimas.
Dia menghampiriku yang berdiam diri dan mematung di luar rumah sakit.
"Kenapa Kamu harus menerima segala tuduhan yang bahkan itupun bukan kesalahan kamu?"

"Tuduhan apa?" ucapku sedikit sinis dengan memalingkan wajah menghadapnya. "Tuduhan apa yang kamu masksud? Bukankah memang benar kalau Mas Fatih kecelakaan adalah karena Aku? Lantas tuduhan apa yang kamu maksud?"

"Itu karena ketidak sengajaan." tukasnya berusaha menghilangkan rasa bersalahku.

"Terlepas dari sengaja atau tidak, faktanya adalah Aku yang membuat Dia celaka. Aku yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa Mas Fatih. Hingga membuatnya harus bertaruh nyawa sendirian di dalam sana." detik berikutnya Aku memalingkan serta mengedarkan pandangan kearah lain.

"Tapi Husna, itu semua ga bener. Kamu.....

"Aku lagi pengen sendiri." ucapku memotongnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Merhaba Ya HabibiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang