Melupa
Setenang sungai yang bisa menghanyutkan sewaktu-waktu. Rasa yang seakan telah terhipnotis dengan sosok yang dipandang lebih dominan dari kebanyakan yang datang. Mereka bilang, terlalu terobsesi dengan rasa itu tak baik.
Dan benar, bak disambar petir di siang bolong. Harapan yang di bangun dengan perjuangan, doa, impian, kini telah terporak-porandakan oleh obsesi sendiri.
Menyempurnakan luka, menstimulasi untuk melupa dan akhirnya mengundang kontroversi pro dan kontra pada batin yang tak tau kapan akan membaik.
Aku salah, dan ini salahku.
Oh Allah, Bianglala impian seketika lenyap tak terbekas.
Hildawati
Bu suci yang tengah berdiri tak jauh dari ku, kini berjalan menghampiriku sembari tersenyum. Setelah Bu Suci melirik seorang anak yang menangis di sampingku, raut wajahnya berubah menjadi raut yang menunjukkan kecemasan, keningnya mengerut sembari mempercepat langkah kearahku.
"Kenapa?" tanyanya cemas.
"Tidak apa-apa bu, dia hanya sedang rindu sama ibunya." jelasku sembari tersenyum. Detik berikutnya Aku memalingkan wajah menatap anak disampingku. "Namanya siapa? Boleh kakak tau?".
"Zi..zi..i..da." jawabnya terbata-bata karena sesenggukan.
"Zida jangan nangis lagi ya. Nanti ibu disana ikutan sedih loh. Emang mau kalau ibu disana sedih karena ngeliat putri yang disayanginya nangis? Hm?" ucapku sembari merangkul pundaknya.
"Tapi kenapa ibu ninggalin zida secepat itu kak? Ibu gak sayang ya sama zida?." tanyanya dan seketika tangisannya semakin menjadi-jadi. Oke, Aku berusaha untuk menenangkan.
"Ibu sayang kok sama Zida. Tapi Allah lebih sayang sama Ibu Zida. Gini deh, kalau Zida sayang sama seseorang pasti Zida pengen banget kan kalau orang itu selalu ada di dekat Zida? Nah, begitu juga dengan Allah. Mungkin disana Ibu Zida udah bahagia. Apalagi ngeliat Zida rajin disini, rajin sholat, rajin ngaji, rajin doain Ibu juga." imbuhku. "Zida sayang kan sama Ibu?." tanyaku yang dibalas dengan anggukan kepala.
"Jadi, mulai sekarang Zida harus jadi anak yang rajin ya. Ganti tangisan Zida dengan beribu doa untuk Ibu. Ya?" imbuhku lagi sembari mengusap air mata yang keluar dari mata mungilnya. Oh Allah, benar-benar tak tega melihatnya. Lagi-lagi dia hanya menganggukkan kepala dan detik berikutnya dia memelukku.
Tak terasa air bening yang sedari tadi tertahan sudah meluncur membasahi pipi ku. Aku segera nenyekanya sebelum Zida dan Bu Suci tau. Aku tak boleh terlihat cengeng.
"Zidaaa."
Zida melepaskan pelukannya, setelah mendengar suara panggilan dari Ustadzah. Setelah itu dia berpamitan untuk kembali ke kelasnya. Hari ini Aku libur mengajar ngaji. Dan tadi memang sudah izin dengan Ustadzah.
"Mau pulang?" tanya Bu Suci yang membuyarkan lamunanku. Iya, Aku hampir saja lupa kalau disampingku ada Beliau.
"Iya bu, sebentar lagi." jelasku sembari tersenyum.
"Bareng aja kalau gitu. Tadi Ibu kesini sama Fatih. Tapi gak tau dimana dia sekarang." jelas Bu Suci sembari memutar bola mata menelusuri sekitar mencari keberadaan Mas Fatih."Fatih disini, Ummi." jawab Mas Fatih yang tiba-tiba keluar dari dalam masjid.
Mas Fatih...
Benar-benar diluar dugaan. Kau, yang kucintai dalam diam akan menjadi imam dari perempuan lain. Kau, yang sempat memberi ilusiku kesempatan untuk mengukir cerita bersama, dan benar memang sebentar lagi tapi bukan denganku.
Tak ku sangka, rasaku terhadapmu akan berakhir seperti ini. Bianglala yang sudah ku impikan dari dulu benar-benar hanya akan menjadi mimpi.
Oh Allah, segeralah hilangkan rasa ini dari hati hamba Ya Robb. Jangan kau biarkan hamba bertahan pada rasa yang sebentar lagi akan menjadi milik perempuan lain. Rasa yang tak seharusnya hamba miliki.
"Mau pulang?" tanya Mas Fatih yang membuyarkan lamunanku dan diiringi senyum diakhir kalimat.
Senyum itu, semakin membuatku sakit. Cukup Husna. Lupakan...lupakan!
"Husna?" panggil Mas Fatih setelah mendapati Aku masih diam sembari melamun.
"Oh..i..i..iy..iya, tapi bentar lagi. Kalian pulang dulu aja gapapa." jelas ku gugup.
"Ya sudah. Kamu hati-hati ya." ucap Bu Suci sembari menepuk pundakku yang ku balas dengan senyum.
Aku melihat Mas Fatih turun dari tangga masjid. Tiba-tiba dadaku kembali sesak, membayangkan Mas Fatih turun dengan menggandeng tangan kekasih halalnya.
Oh Allah, rasanya Aku ingin sekali menjerit. Mau tidak mau aku harus bisa menelan kenyataan pahit ini. Sudah menjadi takdir Allah. Husna, percayalah selalu ada hikmah dibalik semua yang terjadi.
***
Aku merebahkan tubuhku diatas ranjang kamar setelah sampai di rumah. Rasanya begitu lemas. Tenagaku benar-benar habis.
Undangan...
Tiba-tiba pikiranku kembali mengingat undangan yang diberikan Mas Fatih. Tapi, dimana undangan itu?
Aku bangkit, memutar tubuh dan bola mata menelususuri setiap sudut kamar tak terkecuali perpus mini milikku. Benar-benar lupa, ku letakkan dimana undangan itu. Memang, sangat ceroboh.
Detik berikutnya mataku tertuju pada novel diatas meja make up ku. Di dalamnya seperti teselip sesuatu. Sepertinya itu.....
Undangan..
Aku segera berjalan dari posisiku sebelumnya menghampiri novel itu. Dan benar, itu undangan dari Mas Fatih.
Batinku kembali hancur, dadaku kembali sesak, dan ragaku kembali menangis. Melihat undangannya saja Aku sudah seperti ini. Bagaimana Aku bisa kuat melihatnya dipelaminan bersama perempuan lain?
Aku kembali menguatkan keteguhanku untuk mencoba melupakan Mas Fatih. Harus bisa. Aku menggerakkan jemariku dan mulai membuka undangan dari Mas Fatih tersebut. Tak butuh waktu lama, aku melihat namanya, nama orang tua dari Mas Fatih, dan......
Nama perempuan itu, Nabila
Jadi.. Perempuan yang dibicarakan Mas Dimas, Nabila adalah calon istri dari Mas Fatih.
Dan untuk kesekian kalinya. Butiran air bening sudah bercucuran membasahi pipiku. Aku harus kuat. Harus!
Aku menolehkan wajah menghadap ponselku setelah mendengarnya berdering. Nafisa, dia menelfon.
"Iya, waalaikum salam. Kenapa?" jawabku setelah Nafisa memberi salam.
"Apaa!?."
Begitu banyak kejutan darimu hari ini, Ya Robb.
Baru sempat update lagi😁
Oiya, makasi sudah membaca
Jangan lupa jaga kesehatan, jangan lupa kewajiban, dan jangan lupa sholawat juga ya
ILY❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba Ya Habibi
EspiritualDalam diam Husna menyimpan rasa untuk seorang ikhwan yang dengan merdunya melantunkan firman Allah, tak lain dan tak bukan adalah Fatih Al- Hamid yang sekaligus menjadi dokter spesialis Abahnya. Dan dalam diam pula Ia harus berusaha ikhlas melepas s...