Pilihan terbaik untuk saat ini adalah berusaha ikhlas menerima takdir yang datang. Dan melupakan yang tak seharusnya tersimpan.
Merhaba Ya Habibi
_____________
Setelah dirasa sudah terlalu lama kami berduaan saja di teras rumah dan sepertinya tidak ada yang ingin Mas Dimas tanyakan lagi, akhirnya kami memutuskan untuk kembali masuk ke dalam.
Aku memilih berjalan di belakang Mas Dimas. Detik itu juga aku merasa ada sesuatu yang aneh. Rasa bersalah bercampur dengan rasa benci? Dengan segala yang telah Mas Dimas katakan. Segala yang telah ia ungkapkan, seperti memiliki daya tarik tersendiri. Iya, sesuatu yang seperti mendorongku untuk mempercayai setiap perkataannya. Menyuruhku untuk menyetujui permintaannya yang ingin membuktikan bahwa Dialah satu-satunya laki-laki yang berhak menjadi imamku. Hatiku berterus terang, meminta untuk lebih bersabar menunggu hari dimana semuanya akan terbuktikan.
Namun seketika, dan untuk kesekian kalinya ingatanku kembali pada rasa yang telah Ku simpan rapi jauh-jauh hari. Iya, untuk sahabatnya. Aku hanya takut, saat statusku telah berubah namun justru hatiku masih milik laki-laki lain, dan bukan suamiku.
Kedatangan Kami disambut dengan senyuman oleh semua orang. Kebahagiaan yang terpancar dari wajah mereka, mampu Ku rasakan bahwa mereka menaruh keyakinan penuh terhadapku.
Bismillah Husna...
Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk Kamu. Saat Kamu dijauhkan dari seorang ikhwan yang kamu cintai, lalu Allah hadirkan seorang ikhwan yang begitu mencintai, Dia yang selalu menyebut namamu di sujud terakhirnya.
Bismillah...
Husna, Kamu pasti bisa..
Aku menghela nafas panjang setelah itu kembali duduk di samping Ummi. Disusul dengan Ummi yang memegang tanganku sembari tersenyum.
"Apa ada masalah Nak?" tanya Abah kepada Mas Dimas.
Ia mendongakkan wajah menatap Abah, lalu meletakkan secangkir teh yang sempat Ia minum sebelum akhirnya menjawab "Tidak Pak, semuanya baik-baik saja. Dimas sangat menyetujui rencana ini, begitu juga dengan Husna." jelasnya sedikit melirikku.
"Hanya saja....."
"Kami hanya masih perlu belajar memahami diri masing-masing. Itu saja." sahutku tanpa memberi jeda untuk Mas Dimas melanjutkan penjelasannya.
"Iya kan?" tanyaku sengaja memastikan. Yang ia jawab dengan anggukan kepala dan senyum.
"Alhamdulillah." jawab Abah.
Lagi-lagi Aku mampu melihat kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah mereka. Dengan senyum yang sedari tadi merekah, membuatku semakin yakin akan keputusan yang Ku ambil.
Oh Allah, jika memang ini jawaban dari segala doa hamba maka lancarkanlah Ya Robb. Semoga Kau jauhkan hamba dari prasangka buruk terhadap calon suami hamba sendiri. Terlebih Ya Robb, segera hilangkan rasa yang hamba simpan bertahun-tahun untuk hambamu yang lain, yang kini statusnya pun sama yaitu calon suami dari hambamu yang lain pula.
Menit demi menit telah berlalu. Waktupun sudah menunjukkan pukul 20.30 wib. Setelah dirasa cukup untuk berbincang-bincang, dan menentukan tanggal pernikahan akhirnya mereka memutuskan untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merhaba Ya Habibi
SpiritualDalam diam Husna menyimpan rasa untuk seorang ikhwan yang dengan merdunya melantunkan firman Allah, tak lain dan tak bukan adalah Fatih Al- Hamid yang sekaligus menjadi dokter spesialis Abahnya. Dan dalam diam pula Ia harus berusaha ikhlas melepas s...