19. BUKAN DIA, TAPI SAHABATNYA

27 7 0
                                    

Jalan alternatifku ialah memberontak melawan takdir.
Tak terima atas perlakuan bumi yang tak sejalan dengan langit.
"Kau curang, kau tak adil."
Bagaimana bisa? Yang menjadi pinta justru tertunda.
Dan yang tak diharapkan malah di hadirkan.

Akifah Husna Arrasyid

_________

Ku ingin sesekali bertanya pada bintang. Apa yang membuat mereka mampu bertahan menjadi satu kekuatan, memancarkan kilauan cahaya menjadi satu-kesatuan. Dengan jumlah yang tak terhitung sekalipun. Bagaimana mereka bisa berbesar hati menghiasi angkasa, melengkapi setiap gelap malam yang ada. Walau dipandang kecil nan jauh?

Dan Rembulan, Kau sendiri. Namun Kau juga mampu bertahan dalam kesendirianmu. Kau menyimpan segala sengatan dari sang surya, lalu kau pancarkan cahaya pengharapan. Yang tak jarang selalu membuat penduduk bumi terkesima sejauh mata memandang. Dengan kesendirianmu, Kau mampu membuktikan bahwa segala yang berdiri sendiri pasti juga bisa memancarkan sisi positif dari dalam dirinya. Semua hanya masalah waktu. Sama halnya kau yang harus bersabar dalam penantian masamu bersinar untuk tiba. Iya, semuanya memang sudah dirancang sedemikian rupa oleh pembuat skenario terbaik.

Pandanganku sedikit teralihkan saat Ku mendengar suara mesin mobil dari depan rumahku.

Aku yang sedari tadi duduk berdiam diri di balkon kamar, seketika bangkit untuk melihat siapa yang datang. Namun karena terhalang tembok Aku pun tidak bisa melihat dengan jelas, hanya Ku dapati seorang bapak-bapak dan ibu-ibu? Tapi siapa mereka? Ah iya, mungkin itu tamu yang Ummi maksud.

Aku memang tidak punya niatan untuk turun ke bawah dan memastikan secara langsung. Karena Aku memang lagi pengen sendiri.

Ada begitu banyak keluh kesah yang aku simpan sendiri. Ada begitu banyak bimbang yang begitu rumit untuk Ku pahami. Perasaan yang tak pernah ada sebelumnya, kini Aku merasakannya. Entah perasaan apa ini. Semua seperti menusuk secara perlahan. Melukai setiap jengkal bahkan menembus ulu hati. Hingga Aku merasa sangat hancur.

Aku ingin terlepas dari perasaan aneh ini. Aku ingin bebas dari rasa keterpurukan yang tak pernah Ku harapkan. Namun bagaimana caranya? Bagaimana cara untuk mengakhiri semua ini? Bahkan untuk belajar melupa Aku tak tau bagaimana cara untuk memulainya. Lantas, atas dasar apa aku bisa pergi? Alibi apa yang harus Ku pakai untuk menghindar kemudian perlahan menjauh?

Oh Allah, kenapa semuanya begitu rumit?

"Husna?" panggil Ummi di sebalik pintu yang menghentikan tangisku. Ku usap setiap butiran bening yang sedari tadi tengah meluncur membasahi pipiku.

"Iya Ummi." jawabku setelah kembali menata hati dan pikiran, kemudian membuka knop pintu.

Ku lihat Ummi tersenyum, kemudian masuk ke dalam kamarku "Husna siap-siap ya. Setelah itu turun ke bawah. Ada yang ingin bertemu sama Husna." bujuk Ummi dengan merangkul pundakku disertai senyum.

Tanpa berfikir panjang Aku pun menganggukkan kepala. Setelah itu Ummi mencium keningku sebelum akhirnya kembali ke bawah.

Padahal saat ini Aku masih begitu rapuh untuk diajak berbicara. Aku ingin punya waktu sendiri. Tapi apa boleh buat, bagaimana Aku bisa mengabaikan permintaan Ummi. Dan akhirnya aku memutuskan untuk bersiap-siap dengan mengganti pakaian dan sedikit berdandan.

Dalam cermin, ku lihat mata yang mulai berbinar-binar. Menangisi takdirnya yang kurang beruntung. Ku lihat perempuan paling lemah, yang bahkan untuk bangkit pun sedikit tertatih. Tatapan kosong yang ku lihat dalam cermin, akankah hari-hari berikutnya berjalan seperti itu pula?
Penuh dengan kekosongan dan pasrah.

Merhaba Ya HabibiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang