04.

1.4K 267 21
                                    

"Bukain pager sana" gue mendesis namun tak urung juga turun dari vespa adek gue untuk membukakan pintu gerbang rumah yang selalu tertutup. Kata Bunda wajib tertutup agar semisal ada orang asing masuk orang rumah bisa tahu.

Setelah pintu gerbang gue buka, adek bersama vespanya masuk kedalam garasi rumah. Gak besar-besar amat, cukup untuk ditempati dua mobil Ayah dan Mbak juga dua motor Bunda dan adek.

Gue enggak langsung masuk ke dalam, sebagai kakak yang tahu diri gue menunggu si adek selesai memarkirkan vespanya. Adek itu suka banget ngebacot, "Lo tuh gak tau diri ya, tungguin kek dulu gue biar masuknya barengan" setiap kali gue melenggang masuk begitu aja dan hari ini gue sedang enggan mendengar bacotannya.

Gue lihat-lihat garasi rumah lagi lenggang hari ini. Cuma terdapat motor Bunda. Mobil ayah jelas gak akan ada karena pemilik beserta kendaraannya sedang bertugas diluar kota untuk seminggu ke depan.

"Mbak lagi kemana ya Na? tuh mobilnya gak ada" tanya gue pada adek.

Eh gue sampai lupa mengenalkan sosok adek terlaknat namun yang paling gue sayang semuka bumi ini. Namanya Narendra Jaemin, panggilannya Nana. Kayak panggilan anak cewek gak tuh?.

Seperti yang gue katakan sebelumnya, gue dan adek alias Jaemin hanya terpaut selisih dua tahun. Tetapi sayangnya perbedaan tersebut enggak berarti apapun bagi Jaemin. Umur boleh tuaan gue tapi ketahuilah kalau perihal kekuasaan Jaemin yang mendominasi.

Sampai-sampai Seulgi pernah berceletuk, "Yang kakak itu lo atau Nana sih Jis? sumpah lo kayak gaada vibes kakaknya sama sekali".

Gue enggak menepis perkataan Seulgi tersebut karena pada faktanya memang benar. Dirumah gue itu berasa anak bontot yang acapkali dijadikan bahan nistaan oleh kedua saudara gue. Khususnya pada Jaemin yang ahlaknya ketinggalan diperut Bunda.

Jaemin menghedikkan bahunya acuh, "Mana gue tau" seraya berjalan mendekat.

Tepat sampai dihadapan gue, cowok tersebut melemparkan ransel ringan yang tersampir dipundaknya--kebiasaan anak cowok yang setiap sekolah bawaannya hanya dua; ponsel dan dompet--begitu aja. Untungnya gue punya gerak yang cepat tanggap untuk menangkap lemparan ransel tersebut.

Tangannya kemudian tergerak menepuk puncak kepala gue, "Bawain sampe ke kamar ya kakak kesayangan" kemudian mengecup pada bagian yang sama dan setelah itu mengibrit masuk ke dalam rumah.

Gue diam sejenak. Menetralkan segurat rasa icemoci yang hampir naik ke ubun-ubun.

Begini banget sih nasib gue jadi kakak.















Makan malam telah usai, Bunda memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidak seharipun Bunda melewatkan sinetron yang belakangan ini lagi hangat jadi pembicaraan Ibu-Ibu komplek. Judulnya Ikatan Cinta. Denger-denger sih katanya "Sinetron rasa drakor". Ya...menurut ibu-ibu begitu tetapi menurut pandangan gue sama aja kayak sinetron Indo pada umumnya, muter-muter terus alurnya.

Maka itu alasan Bunda segera cus ke kamar tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menonton sinetron tersebut. Bunda memang lebih cenderung menonton dikamar dibanding diruang tengah. Bunda mengatakan "Nonton dikamar tuh enak, gak diganggu kalian terus gak diledekin kalian juga kalau ada scene mellow terus Bunda nangis" memang sih setiap kali Bunda menangis hanya karena adegan sedih gue, mbak, dan adek kompak meledek Bunda.

Bukannya gimana, cuma ya cengeng aja gitu hanya karena tokoh utama cewek ditabrak ➡️ masuk rumah sakit ➡️ kepalanya diperban ➡️setelah itu lupa ingatan, pake acara mewek segala.

Seperginya Bunda ke kamar, tersisa kami bertiga; gue, mbak dan Jaemin, yang memutuskan untuk menonton kartun spons kuning favorit diruang tengah. Umur boleh tua tapi tontonan gak beda jauh macam bocah.

Crazy Over YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang