Raya memejamkan kedua matanya. Mendengar kembali kata maaf dari Alif itu cukup mengesankan, bagaimana tidak? Di sini dia yang salah, dia yang seenaknya mau dibawa oleh Reynald, dan Alif sama sekali tidak ada hubungannya. Tapi mengapa malah dia yang sibuk meminta maaf?
"Lo gak lagi nyindir gue kan?" Tanya Raya membuat Alif mengernyit bingung.
"Nyindir gimana?"
"Ya itu, minta maaf terus dari tadi, padahal kan gue yang salah. Gue yang mau aja tangannya dipegang Reynald, gue yang mau aj--"
Alif membekap mulut Raya dengan tangannya. "Diem."
Cowok itu pergi ke dapur dan kembali dengan gelas berisi air di tangannya, lalu kembali duduk di samping Raya. "Minum dulu, biar adem."
Raya mendelik sebal, namun ia tetap menerima gelas yang disodorkan Alif dan meminumnya. Ah, segar sekali. Ia pun menaruh kembali gelasnya pada meja.
"Jadi gimana? Udah?"
"Apanya?" Tanya Raya bingung.
Alif menggeleng lalu menghela napasnya. "Gue kan udah jelasin, minta maaf karena gak bisa jaga lo. Gak ada maksud yang lain apalagi nyindir lo segala."
Raya berdecak dan terdiam sejenak. "Tapi kan gue nya juga belum minta maaf, udah lo duluan! Padahal yang paling salah di sini gue," kesal Raya dan mencebikkan bibirnya ke bawah. Alif pun tertawa.
"Lo mau minta maaf atau nggak, selalu gue maafin."
"Waw! Mulia sekali hati anda tuan, terbuat dari apakah? Berlian atau permata? Mau gue bilang gitu lo?" Canda Raya dengan wajah jengkelnya.
"Allah aja maha pemaaf, masa kita selaku hamba malah sebaliknya, apa gak malu?" Alif menjawab masih dengan nada tenangnya.
"Ya udah, maafin gue juga," lirih Raya menundukkan kepalanya.
"Kan udah gue bilang, mau lo minta maaf atau nggak juga bakal gue maafin."
"Ya kan setidaknya gue ada inisiatif, lo hargain kek dikit," ketus Raya memandang Alif dengan sebal, sementara cowok itu malah terkekeh dan mencubit pipi Raya gemas.
"Iya iya gue maafin, puas tuan putri?"
"Puas sekali!"
Setelah berkata seperti itu Raya segera beranjak untuk membersihkan dirinya di kamar mandi. Namun, ketika hendak membuka pintu Alif memanggilnya sehingga mau tak mau ia berbalik dan menatap cowok tersebut dengan malas.
"Apa lagi?"
Alif menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berdecak, persis seperti seorang ibu yang tengah memergoki anaknya berbuat nakal. "Lupa sama tamu ya?"
Raya cengo. "Ha?"
Alif menunjuk ke arah bangku bekasnya duduk dan Raya langsung paham. Wajahnya terasa panas seketika, pantas saja perasaannya hari ini sangat tidak karuan. Ternyata tamu bulananya sudah datang. Aish, bagaimana bisa Alif memergoki hal memalukannya iniiiii? Tolong bawa Raya ke mana saja asal tidak ada Alif. Oke, itu terdengar berlebihan.
"Y-ya mana gue tau. Nanti malem gue bersihin, janji." Raya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Alif menghembuskan napasnya. "Bukan itu. Bangku bisa gue yang urus, permasalahannya lo nyetok pembalut gak?" Tanya Alif membuat Raya teringat akan pembalutnya yang tertinggal di rumah orang tuanya. Ia pun menggeleng. "Udah gue duga. Akhirnya gue kan yang mesti beli pembalut? Lo persis sama Bunda."
Raya cengengesan sendiri. Rasa malunya meningkat berada pada titik teratas sekarang. "Gapapa gue bisa kok beli pembalut sendiri."
"Emang nyaman jalan dengan keadaan lo yang kayak gini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ana Uhibbuka Fillah [END]
Ngẫu nhiên"Jadi perempuan itu harus bisa jaga sikap dan prilaku." "Bodoamat." "Ray..." "Apa sih?!" "Lo itu tanggung jawab gue sekarang." "Ya, terus gue peduli?" "Udah tugas gue buat bimbing lo. Lo istri gue, dan gue suami lo. Dosa lo gue yang tanggung. Gue cu...