Bagian 9

5.8K 642 11
                                    

Raya telah rapih dengan rok berwarna hitam dan hoodie putih yang membalut tubuhnya. Tak lupa hijab pashmina berwarna senada dengan rok juga menghiasi kepalanya. Ia memang sudah pulang setelah dzuhur tadi, dan sekarang tepat pukul setengah empat sore yang artinya waktu jalannya bersama Reynald.

"Lho, mau ke mana Ray? Kok udah rapi aja?" Tanya Kinan ketika melihat Raya berjalan menghampirinya.

"Mau jalan sama temen."

Kinan menghela napas. "Duduk dulu sini." Kinan menepuk tempat di sebelahnya, Raya menuruti walau dengan hati sedikit tak rela. Jangan lupakan bahwa perjodohan itu masih terus dibahas sampai sekarang!

"Gimana keluarganya Alif? Baik kan?"

"Baik," jawab Raya dengan nada pelan.

Kinan mengelus kepala anak satu-satunya tersebut dengan lembut. "Raya, kamu tau alasan lain kenapa Mamah dan Papah bersikeras banget buat jodohin kamu sama Alif?" Raya yang mendengar itu lantas menggelengkan kepalanya pelan. "Karena Papah pengen ngelepas kamu ke orang yang tepat suatu saat nanti, dan Alif merupakan orang itu Raya. Kamu tau? Berapa banyak orang yang gagal dalam pernikahan? Banyak! Banyak sekali. Meskipun kamu menikah muda, tapi Papah yakin Alif bisa menyeimbangimu. Alif itu sosok laki-laki yang penyabar, dan paling penting ia tidak pernah melupakan sang penciptanya. Poin kedua itu hal yang paling sulit ditemukan pada diri manusia masa kini, kamu tau? Kalau orang sudah paham tentang agama, dia pasti bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Dan jika Alif menikah dengan kamu, sekali pun dia tidak cinta, dia tidak akan memperlakukanmu buruk Ray, Percaya sama Mamah."

Raya menundukkan kepalanya. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. "Tapi Mah.., Raya suka sama orang lain."

Kinan tersenyum. "Kalau kamu sudah memiliki sebuah kepastian dengan Alif, kenapa harus dengan rasa sukamu yang tidak tau ujungnya ke mana?"

"Ya kan wajar Mah, kita masih SMA."

Kinan menggeleng. "Maafin Mamah Ray, tapi pernikahan kamu sudah ditentukan."

Raya membulatkan kedua bola matanya. Ia menggeleng tak percaya menatap Mamahnya. "Seriously Mah? Apa gunanya Mamah nanya pendapat aku kalau ujungnya perjodohan ini tetap berjalan?" Raya pun berdiri dari duduknya. "Aku bener-bener merasa nggak berarti bagi orang tua aku sendiri."

*****

"Maaf ya gue telat," ucap Raya merasa bersalah. Reynald yang berdiri di hadapannya tersenyum tipis dan berkata tidak apa-apa. Mereka pun pergi ke tempat pertama, membeli sepatu Reynald yang sempat terbatalkan.

"Menurut lo lebih bagus yang ini atau ini?" Tanya Reynald menyodorkan dua sepatu berwarna navy dan broken white kepada Raya.

Raya terlihat berpikir. "Navy kayaknya lebih bagus, keliatan manly buat lo."

Reynald terkekeh. "Lo mau yang putih ini nggak?"

Raya menggeleng menolaknya secara halus. Wajar saja, ia sungkan jika harus menerima barang dari Reynald, kan bukan siapa-siapanya. "Mending uangnya lo tabung aja."

"Bener juga. Nabung buat mahar lo nanti," bisik Reynald membuat kedua pipi Raya memerah seketika.

"Apaan sih, masih SMA udah ngomongin mahar aja lo."

Reynald tertawa, mereka berjalan menuju meja kasir. "Ya wajar aja kali, banyak kok anak dibawah kita yang udah nikah."

"Tapi kan itu sebenarnya belum boleh Rey."

Mereka sampai di tempat tujuan dan Reynald langsung membayarnya. Ketika selesai, keduanya beranjak keluar dari toko dan masuk ke dalam mobil. "Kita mau ke mana nih?" Tanya Reynald.

Ana Uhibbuka Fillah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang