Raya POV
Aku memasuki pintu bercat putih yang langsung menunjukkan Acha yang tengah tertidur pulas dengan guling yang berada di dalam dekapannya. Kenapa nggak dari tadi aja tidur? Kan gue jadi gausah nginep. Batinku kesal. Tapi kamarnya enak juga sih, hiasannya lucu-lucu, banyak boneka, kayaknya Acha dimanja banget sama orang tuanya. Aku sih boro-boro. Sekarang aja malah dipaksa nikah padahal masih SMA.
Biasanya jika di rumah aku akan menonton drama mengingat besok adalah hari libur, tapi di kamar Acha tidak tersedia televisi ataupun alat elektronik yang bisa digunakan untuk menonton drama. Ada sih ponsel, cuma kurang puas saja bagiku. Menghela napas kesal aku pun mulai menjatuhkan diriku di kasur dan berbaring tepat di samping Acha. Jika ditelisik lebih dekat, Acha dan Alif terlihat berbeda. Seperti bukan sepasang saudara kandung, tapi mungkin beda ngidam kali ya. Aku tidak tahu.
Mataku tak kunjung tertutup walau sudah kupaksa untuk tertidur. Aish, inilah alasan ke sekian mengapa aku tidak ingin menginap, aku sulit beradaptasi pada sesuatu yang belum terbiasa bagiku. Apalagi pikiranku jika sudah malam begini suka macam-macam. Kalian tahulah, hal-hal mistis. Entah mengapa aku sering sekali memikirkan itu ketika hendak tertidur, sampai beberapa kali malah tidur dengan Mama karena saking takutnya.
Padahal aku tidak ingin memikirkannya, tapi entah mengapa bayang-bayang hantu seperti itu terus menari di pikiranku. Ya Allah, jadi takut gini kan. Bagaimana kalau ternyata di rumah ini banyak hantunya? Apa aku shalat tahajud aja ya? Tapi kan aku belum tidur. Hingga akhirnya aku pun memutuskan untuk menelpon Mama. Jujur, pikiran mistis ini sangat mengganggu jam tidurku.
"Ma..."
"Aduh ada apa sih Ray kamu malam-malam telpon?"
"Takut..."
Bahkan suaraku hampir hilang ketika membalas ucapan Mama.
"Baca do'a dulu makanya."
Dengan keadaan yang hampir menangis aku mendekap Acha. "Udah, tetep nggak bisa tidur. Takut, Raya pengen pulang."
"Ya Allah Raya, kamu ini udah gede masa masih penakut aja sih, udah jangan mikir macem-macem, istighfar."
"Ma, tapi Raya takut ish, Mama ngertiin kek."
"Ya tapi mau gimana? Itu emang kamunya aja yang penakut, sugesti kamu doang, udah sana baca do'a terus merem."
"Tapi Ma-"
Telpon pun terputus seketika. Aku merasa kesal dengan Mama, entah mengapa disaat seperti ini aku merasa tidak ada seorang pun yang bisa mengerti diriku. Oke! Aku tahu aku penakut, tapi siapa sih yang mau kayak gini? Kalau boleh minta aku juga nggak mau jadi orang yang apa-apa serba takut sama hal beginian. Aku mengusap kedua ujung mataku yang telah mengeluarkan air mata.
"Kok Kakak nangis?"
Aku menoleh, ternyata Acha terbangun. Aku merasa sedikit tenang ketika melihat anak kecil ini membuka kedua matanya. "Kakak nggak bisa tidur. Takut ..," cicitku dengan nada pelan.
Acha mengucek kedua matanya pelan. "Mau Acha panggilan Bunda?" Aku langsung menggeleng seketika. Rasanya memalukan ketika harus mengikutsertakan Bunda di tengah ketakutakannya ini. "Abang?" Aku kembali menggeleng keras, apalagi ini.
Acha beranjak dari tidurnya dan mengambil sesuatu. "Ini." Acha memberikan ponselnya kepadaku. "Kalau Acha nggak bisa tidul biasanya suka dengelin suala olang ngaji."
Aku pun mulai mengotak-atik ponselnya dan mulai memutar satu persatu surah yang ada. Dalam hati aku berpikir, mengapa hal ini tidak pernah terlintas dalam pikiranku? Ah, ini pasti terhalang karena sugesti ku yang begitu besar. Acha kembali berbaring di sebelahku dan memelukku dengan tangan kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ana Uhibbuka Fillah [END]
Random"Jadi perempuan itu harus bisa jaga sikap dan prilaku." "Bodoamat." "Ray..." "Apa sih?!" "Lo itu tanggung jawab gue sekarang." "Ya, terus gue peduli?" "Udah tugas gue buat bimbing lo. Lo istri gue, dan gue suami lo. Dosa lo gue yang tanggung. Gue cu...