Bagian 1

12.8K 1.2K 28
                                    

"Sumpah ya demi apapun aku nggak mau nikah Mah! Gak mau!" Ucap perempuan yang baru saja pulang dari sekolahnya itu. Bahkan ia belum sempat membuka sepatu saking kesalnya. Sementara Mamahnya hanya dapat menggeleng heran. Ia menarik tangan anaknya itu dan menyuruhnya duduk di sampingnya.

"Raya.., kamu tahu kan wasiat dari almarhum kakek nggak bisa diganggu gugat? Udahlah nak, jalanin aja ya, mungkin emang ini yang terbaik buat kamu," ucap Mamahnya seraya mengusap lembut bahu anak kesayangannya itu.

Raya menoleh ke arah sang Mamah. "Yang terbaik Mamah bilang? Nggak ada kata baik Mah dengan nikahin anak dibawah umur kayak ini! Kita masih SMA Mah, SMA!" Tekannya sekali lagi. Wajahnya begitu frustasi, bahkan kerudung yang ia pakai sudah tak karuan bentuknya. Rambutnya juga keluar beberapa.

"Sttt.., kalian sudah cukup umur kan, lagi pula beberapa bulan lagi juga lulus."

Raya lagi-lagi menggeleng. "Gak mau! Pokoknya kalau sampai beneran dinikahin Raya mau pergi! Raya nggak mau tinggal di rumah ini lagi! Semuanya pada egois, nggak ngerti perasaan Raya!" Ujarnya dengan penuh kemarahan, membuat wanita paruh baya di hadapannya hanya dapat mengelus dadanya sabar. Raya pun beranjak pergi menuju kamarnya di lantai dua. Pintu ia tutup dengab suara yang cukup keras membuat Mamahnya terkaget.

"Ya Allah Ray Ray, ngidam apa Mamah pas hamil kamu."

*****

"Assalamualaikum Bunda!" Ucap seorang cowok yang baru saja kembali dari sekolah itu. Ia menghampiri sang Bunda yang tengah sibuk dengan alat dapurnya.

"Waalaikumsalam Bang." Fatimah berbalik dan Alif pun langsung mencium punggung tangannya. "Gimana hari ini? Lancar?"

Alif tersenyum tipis lalu mengangguk. "Alhamdulillah lancar Bunda. Acha mana Bun? Kok nggak kelihatan?" Tanya Alif kebingungan. Karena biasanya setiap pulang sekolah ia akan melihat adiknya itu menonton tv di ruang tamu, tetapi hari ini sedikit berbeda.

"Adikmu sakit Bang. Gara-gara kebanyakan makan es krim di sekolahnya," jawab Fatimah seraya menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kelakuan anak keduanya itu. Lalu ia pun kembali menatap Alif. "Yaudah kamu ganti baju dulu sana habis itu makan."

Alif mengangguk. "Iya Bunda." Ia pun berlalu menuju kamarnya, namun belum sempat menapaki anak tangga tubuhnya sudah berbalik. "Bun, nanti Abang mau bicara sama Bunda ya?" Ucap Alif yang dijawab anggukan oleh Fatimah.

Selesai berganti baju Alif pun pergi menuju kamar adiknya, Acha. Saat masuk ke dalam, ia disuguhkan dengan pemandangan seorang anak kecil dengan wajah pucatnya. Alif pun menyentuh punggung tangan Acha. "Ini sih demam. Bandel ya kamu Dek."

Merasa ada sentuhan Acha pun membuka kedua matanya. Dengan suara serak ia berkata, "Abang udah pulang? Dari kapan? Ko Acha nggak tahu?" Acha berusaha untuk bangun dari tidurnya, tetapi Alif mencegah hal itu.

"Acha istirahat dulu aja ya. Jangan banyak gerak, Abang baru pulang kok," jawab Alif seraya mengusap lembut kepala Acha, yang menciptakan rasa nyaman pada anak kecil tersebut. "Acha udah minum obat?"

Acha pun menggeleng. "Belum."

"Abang ke bawah dulu ya ambilin Acha obat? Sekalian mau kompres Acha juga." Acha hanya mengangguk pelan. Alif pun pergi ke lantai bawah.

Di sana ia menemukan Fatimah yang tengah mencuci piring. "Bun, obat demam Acha di mana?" Tanya Alif kepada sang Bunda.

Fatimah pun selesai mencuci piring. "Sebentar Bunda ambil." Setelah mengambil obat tersebut di rak, Fatimah menyerahkannya kepada Alif.

Ana Uhibbuka Fillah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang