Chapter 19 : The Last Smile

3.7K 378 111
                                    

Jangan lupa untuk vote terlebih dahulu ya~!

.

.

.

Selamat membaca~





Takdir sepertinya mulai mempermainkan mereka, begitu lihai dalam bermain sampai mereka tak siap untuk menerima kekalahan nanti.

Selama ini mereka mengikuti semuanya diam tanpa suara tapi kali ini mereka akan menentang semuanya, berikan mereka satu kesempatan untuk bisa bertahan.

"Beri jalan pasien kritis segera bawa ke UGD," ucap salah satu suster sembari membantu temannya mendorong brankar.

Brankar itu terus didorong hingga masuk ke dalam ruangan bertuliskan UGD.

"Mohon maaf keluarga harus menunggu di sini," ucap sang suster.

"Tolong selamatkan kakak saya suster," lirih remaja bernetra emas.

"Kami akan lakukan yang terbaik kalian bantu dengan doa ya," balas suster itu lembut dan menutup pintu.

Lampu di atas pintu itu mulai menyala berwarna merah.

Semua terdiam selama beberapa menit terlalu takut untuk melakukan sesuatu.

"Kenapa semuanya harus terjadi pada kita," kesal Solar bersandar di salah satu tembok.

"Usaha kita gagal semua kak, bagaimana kalau kak Taufan gak bisa bertahan," isak Thorn mulai mengeluarkan air matanya.

"Sialan! Papa.. AKH!!" umpat Blaze tertahan dan berlari ke luar.

"Aku akan menjaganya, aku tahu dia akan meledak di luar," balas Ice setelah menghela nafas berat dan berjalan menyusul Blaze.

"A-aku akan urus administrasinya, kita berdoa semoga kak Taufan baik baik saja," ucap Gempa berusaha menghibur semuanya.

Mereka yang menunggu hanya bisa berdiam tanpa membantu Taufan yang sedang berjuang melawan maut.

Solar Berusaha menghibur Thorn yang masih menangis, Ice menenangkan Blaze yang mengamuk di luar, Gempa menangis di kamar mandi seorang diri, dia tidak mau terlihat lemah ketika semuanya sedang rapuh, dan Halilintar hanya terdiam dengan pandangan mata yang kosong memandang tanganya yang masih ada noda darah.

Sekali lagi Taufan membuatnya gagal menjadi seorang kakak.

"Kenapa harus kau? Kenapa tidak aku saja Taufan, kau sudah menderita dan kau membuatku gagal menjadi seorang kakak, harusnya aku yang tertembak bukan kau!" batin Halilintar.

Tragedi beberapa jam lalu masih jelas dalam ingatannya, bagaimana suara pistol itu seakan menulikan pendengarnya, bagaimana tubuh adik pertamanya mulai dibanjiri cairan merah itu dan bagaimana manik biru sapphire itu mulai menutup.

Semua sangat jelas!

Halilintar berharap ini hanyalah mimpi buruknya, namun semua sudah sangat nyata!

Apa yang bisa dia lakukan sekarang?

"Taufan kumohon bertahanlah, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika kau pergi," lirih Halilintar.

DEG!

Kenapa ini?

Halilintar tiba tiba merasakan sakit dibagian dada dan kepalanya, rasanya begitu sesak dan pendengarnnya menjadi berdengung.

I'm Always Wrong [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang