Part 17

824 56 0
                                    

Aku segera turun dari mobil, sebelum Pak Marcell mengingat siapa pemilik mobil yang terparkir di depan rumah. Kalau dia sampai tahu suamiku itu Mas Danish, pastinya akan banyak pertanyaan yang dilontarkan lelaki itu padaku.

"Terima kasih sudah mengantarku. Selamat malam, Pak!" ucapku seramah mungkin.

Pak Marcell mengangguk, kemudian melajukan kembali mobilnya. Aku langsung mengelus dada. Malam ini aku selamat, tetapi cepat atau lambat Pak Marcell pasti akan mencari tahu sendiri, siapa lelaki yang kini telah sah menjadi suamiku.

Kuembuskan napas perlahan, seraya membuka knop pintu. Beruntung malam ini Mas Danish lupa tidak mengunci pintu, kalau tidak, mungkin aku tidak bisa masuk rumah, kecuali harus membangunkan Mas Danish yang pastinya akan murka karena aku pulang larut malam.

Aku berjalan mengendap menuju kamar. Berharap Mas Danish tidak terbangun dengan langkah-langkah kecilku ini. Hari ini tubuhku terasa amat lelah, jadi rasanya tidak mungkin bila malam ini harus berdebat panjang dengan lelaki itu.

Setelah sampai di kamar, aku bernapas lega. Aman ... sepertinya Mas Danish tertidur lelap, sehingga tidak menyadari akan kepulanganku.

Tiba-tiba lampu kamar dinyalakan oleh seseorang. Aku mendelik tak percaya, saat melihat sosok yang tak asing di depan mata. Mas Danish tengah menatap tajam ke arahku, seraya kedua tangannya bersedekap di depan dada.

"Mas Danish ... mengapa ada di kamarku?"

"Habis dari mana kamu? Tengah malam seperti ini baru pulang!"

"Aku ... Pak Marcell tadi menyuruhku kerja lembur, Mas!"

"Bohong! Kalian pasti habis kencan, ya?"

Aku menggeleng singkat. "Engga, Mas!  Aku benaran abis lembur."

"Aku tidak percaya, tetapi baguslah, setidaknya kamu yang berkhianat pada Hana, bukan aku!"

"Astagfirullah, kok Mas Danish berbicara seperti itu. Aku tidak pernah mengkhianati janjiku pada Mbak Hana."

"Mungkin kalau Hana bisa dengab mudah kamu bohongi, tetapi tidak denganku!" ucap Mas Danish seraya berjalan ke luar kamar.

"Sungguh, aku tidak berbohong, Mas. Harus dengan cara apa meyakinkanmu?"

Langkah Mas Danish terhenti, kedua tangannya ia masukkan ke saku celana. Kepalanya sedikit terangkat, lalu sekilas melirik ke arahku.

"Beberapa hari ini aku berusaha untuk menerima dan juga belajar mencintaimu. Seharusnya kamu bisa menghargai itu! Aku ingin mengubah pikiran negatif-ku tentangmu, tetapi ternyata hanya rasa kecewa yang kamu hadirkan, Naura!"

"Kamu salah paham padaku, Mas!"

"Kamu bilang salah paham, seorang istri pulang larut malam, tanpa meminta izin pada suaminya terlebih dulu. Kamu tidak tahu, betapa aku mencemaskanmu. Berkali-kali aku meneleponmu, tetapi tidak satu pun panggilanku yang kamu angkat. Itu yang kamu bilang salah paham, hah?"

Aku langsung mengambil ponsel dari dalam tas. Benar saja, ada beberapa panggilan tak terjawab dari Mas Danish.

"Maaf, Mas! Tadi ponselnya aku silent."

"Lupakan! Anggap saja aku tidak pernah mengkhawatirkanmu. Mulai malam ini, hubungan kita kembali seperti dulu. Kamu bebas melakukan apa pun dan dengan siapa pun. Satu lagi, kamu juga bebas mau pulang tengah malam atau dini hari. Aku tidak akan memedulikan dan juga mengkhawatirkanmu lagi."

"Mas ... aku bisa jelaskan semua!"

Mas Danish mengangkat tangannya, seakan memberi kode kalau dia tidak ingin meneruskan perdebatan  ini. Terbukti, setelah itu Mas Danish langsung masuk ke kamarnya tanpa menghiraukan panggilanku.

"Keras kepala!" misuhku.

***

Pagi harinya sarapan telah terhidang di meja makan. Pekerjaan rumah pun telah kuselesaikan sebelum azan Subuh berkumandang.

Mas Danish keluar dari kamar masih dengan piyama tidurnya. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 08.00. Seharusnya dia sudah bersiap-siap pergi ke kantor.

"Kamu tidak berangkat ke kantor, Mas?" tanyaku seraya melempar senyum.

Mas Danish tidak menjawabnya. Ia langsung berjalan mendekati kulkas, dan langsung mengambil minuman dingin dari sana.

"Tidak baik mengisi perut dengan minuman dingin sebelum sarapan, Mas!"

Lelaki itu tetap bergeming. Aku berusaha meredam kekesalan dalam diri. Walau bagaimanapun aku yang salah, tidak memberitahunya dari awal, kalau Pak Marcell menyuruhku untuk lembur.

"Mas, maafkan aku!"

"Lupakan saja! Oh iya, pagi ini aku tidak bisa mengantarmu ke kantor. Ada janji dengan klien di luar kota. Mungkin untuk beberapa hari ini aku tidak akan pulang."

Aku mengangguk, walaupun ada sedikit rasa sesak, mengingat beberapa hari ini tidak akan bertemu dengan lelaki itu. Lebih tepatnya tidak akan ada teman untuk berdebat dan bertengkar lagi.

"Tidak apa-apa. Aku bisa berangkat sendiri."

Aku langsung berlalu dari hadapan Mas  Danish. Berniat ke kamar untuk bersiap-siap berangkat kerja. Pada saat akan membuka pintu kamar, Mas Danish memanggilku.

"Jaga diri dan kesehatanmu. Jangan pulang larut malam. Kamu itu wanita, tidak baik bila tengah malam masih di jalanan." Setelah mengatakan itu Mas Danish langsung kembali ke kamarnya.

Kuembuskan napas kasar. Hampir setengah tahun hidup satu atap dengannya, tetap saja aku tidak bisa mengenal karakter lelaki itu. Terkadang pemarah dan egois, tetapi terkadang juga baik dan perhatian.

Entah mengapa akhir-akhir ini sikap Mas Danish sangat aneh padaku. Mungkinkah dia memang berniat meninggalkanku  atau mungkin sudah mendapatkan pengganti Mbak Hana?

Tanpa menunggu waktu lagi, aku langsung berlari menuju kamarnya. Pagi ini aku harus mendapatkan keputusan dari Mas Danish. Enak saja, dia dengan bebas selingkuh. Sementara aku ....

"Mas Danish ... aaaaa." Aku langsung menutup kembali pintu kamar Mas Danish.

Tak lama kemudian Mas Danish membuka pintu dari dalam.

"Makanya kalau mau masuk kamar orang itu ketuk pintu terlebih dulu. Tidak sopan!"

"Kamu juga yang salah, seharusnya kalau sedang berganti pakaian itu pintu kamar dikunci!"

"Ck, kamu tidak pernah mau mengalah. Sekarang katakan! Ada perlu apa kamu datang ke kamarku?"

"Jujur, Mas! Sebenarnya kamu sudah mendapatkan wanita pengganti Mbak Hana, kan? Kamu juga berniat meninggalkanku, iya, kan?"

"Dari mana kamu bisa menyimpulkan semua itu?"

"Dari sikapmu akhir-akhir ini, Mas. Kamu jarang marah-marah lagi padaku. Itu tandanya kamu ingin meninggalkan jejak kenangan manis di akhir cerita kita, kan?"

Mas Danish langsung menempelkan telapak tangannya di keningku.

"Pantas bicaramu tidak karuan. Tampaknya kamu sedang demam!"

Setelah mengatakan itu Mas Danish langsung masuk kembali ke kamar. Pada saat aku mengejar untuk meminta kepastian darinya, tiba-tiba pintu kamar ditutup. Hampir saja keningku ke jedot pintu.

"Mas, aku ingin kepastian darimu tentang hubungan kita! Kalau memang sudah ada wanita lain yang menggantikan posisi Mbak Hana di hatimu, lebih baik aku pergi dari kehidupanmu, daripada nanti aku ditinggal pas sayang-sayange!"

Bersambung ....

Tasbih Cinta NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang