Part 15

1.5K 71 9
                                    

Entah mengapa hari ini pikiranku tak menentu. Ucapan terakhir Mas Danish membuatku tidak fokus bekerja. Banyak ketakutan-ketakutan dalam diri, yang membuatku berpikir dua kali untuk tetap mempertahankan pernikahan dengannya.

"Kuperhatikan hari ini kamu tidak fokus bekerja, Nau. Apakah kamu sedang memiliki masalah?"

Tiba-tiba Pak Marcell sudah berada di samping mejaku. Lelaki itu seperti jaelangkung, datang tak diundang, pulang tak diantar.

"Tidak apa-apa, Pak. Hanya sedang kurang enak badan saja," balasku tanpa menoleh sedikit pun kepadanya.

"Kalau begitu kita periksa ke dokter."

Aku langsung menggeleng singkat. "Tidak perlu, Pak. Nanti juga sembuh dengan sendirinya."

"Kalau begitu temani aku makan siang!" ajak Pak Marcell. Sorot matanya menatap tajam ke arahku.

"Maaf, pekerjaanku belum selesai, Pak!"

"Ini perintah!"

Aku mendengkus kesal, dan langsung mematikan laptop. Pak Marcell selalu saja memaksaku untuk menuruti semua kehendaknya dengan ancaman seperti itu.

"Baiklah! Aku tidak bisa menolak, kalau itu sudah berhubungan dengan perintah."

Aku langsung berjalan meninggalkan Pak Marcell. Tanpa memedulikan tatapan-tatapan sinis dari karyawan lainnya. Hati ini sudah terlanjur kesal pada Pak Marcell, yang selalu saja memerintah tanpa memikirkan kesibukanku. Sehingga banyak karyawan lain yang iri, bahkan tak sedikit yang mencibirku.

"Hei, kamu marah padaku, Nona?" tanya Pak Marcell seraya menyejajarkan langkahnya denganku.

"Tidak!" balasku singkat.

"Kalau tidak, mengapa wajahmu ditekuk seperti itu?" tanya lelaki itu kembali.

Tiba-tiba aku menghentikan langkahku. "Sebaiknya mulai hari ini Bapak menjauh dariku. Aku tidak mau ada yang salah paham dengan kedekatan kita!"

Pak Marcell terkekeh. "Kalau begitu aku akan memecatmu."

"Hah ... kenapa Bapak ingin memecatku? Apa salahku padamu, Pak?"

"Pertama, aku tidak suka dipanggil Bapak. Kedua, aku akan memecatmu dari posisi sekretaris, dan akan langsung mengangkatmu menjadi menantu untuk ibuku."

Aku mendelik tak percaya. "Apa?"

Pak Marcell kembali terkekeh. "Aku serius, Naura. Apakah kamu mau menjadi istriku?" 

"Tidak!" balasku singkat.

"Kalau begitu aku yang akan memaksamu untuk menerima pinanganku, bila perlu aku akan membawamu langsung ke depan penghulu."

Aku mendelik tak percaya, kemudian berdecak kesal. Lelaki ini selalu saja memaksakan kehendak hati sesukanya, tanpa memikirkan bagaimana perasaan orang lain yang dipaksanya.

Tuhan ... mengapa aku dipertemukan dengan sosok bos seperti dia? Apakah di dunia ini sudah habis stok bos yang tegas, dan berwibawa?

"Pak Penghulu tidak akan bisa menikahkan kita, kalau sebelah pihak menolak pernikahan itu terjadi!"

"Maka dari itu, izinkanku perlahan masuk di hati, dan kehidupanmu. Aku berharap, kamu merasakan nyaman saat berada di sampingku."

"Aku ...."

"Izinkanku juga menjadi orang pertama yang kelak akan menyaksikan kulitmu keriput, dan rambutmu beruban. Kita akan menua bersama, hingga maut memisahkan."

Entah mengapa kata-kata yang terlontar dari mulut Pak Marcell hari ini, berhasil membuat hatiku kempas-kempis tidak karuan. Rasa kesalku seketika hilang, berubah menjadi getaran syahdu yang membuat jantung ini berdetak lebih cepat dari biasanya.

Aku menunggu ungkapan itu akan terlontar dari bibir Mas Danish. Namun, hingga saat ini lelaki itu masih sering bersikap dingin kepadaku. Baru tadi pagi, kudengar ucapan manis darinya.

Tuhan ... aku tidak ingin berandai-andai. Aku percaya, skenario-Mu jauh lebih indah dari apa yang kurencanakan.

"Kamu akan berdiam diri terus di sana, huh! Cepat naik, jam makan siangku hampir habis," teriak Pak Marcell dari dalam mobil.

Aku menoleh, dan langsung masuk ke mobil. Pak Marcell menoleh singkat ke arahku, kemudian melajukan mobilnya dengan perlahan.

"Aku ingin memperkenalkanmu pada seluruh keluargaku sebagai calon istri, dan juga calon ibu dari anak-anakku. Kapan kamu ada waktu?"

"Maaf, aku tidak ada waktu untuk itu!" balasku singkat.

"Nau, apakah tidak ada ruang di hatimu sedikit pun untuk kusinggahi?"

"Tidak ada! Hatiku sudah dipenuhi semua tentang dia."

Pak Marcell mengerem mobilnya mendadak. Lelaki itu menatap sendu ke arahku. Sorot matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam.

"Siapa lelaki itu? Aku ingin mengucapkan selamat padanya, karena sudah berhasil meluluhkan hati bidadari cantik sepertimu. Akan kutitipkan juga padanya, untuk tidak menggoreskan luka sedikit pun di hati bidadari cantikku."

Dosakah aku bila mengaguminya? Mengapa setiap kata-kata Pak Marcell begitu mengena di hatiku. Tatapan sendunya seakan meyakinkanku, akan adanya cinta dan kerinduan yang mendalam di sana.

"Aku ...."

"Izinkan aku menjadi orang pertama yang menyaksikan kebahagiaanmu bersamanya," ucap Pak Marcell, seraya melajukan kembali mobilnya.

Deg ....

Jantungku ... ada apa dengan jantungku? Mengapa setiap degupnya seakan berirama, melantunkan bait-bait cinta yang menggetarkan kalbu.

Tidak! Bukankah hal yang lumrah, para lelaki berkata manis pada wanita? Jangan sampai hati ini goyah. Mungkin ini bentuk dari ujian cinta, kesetiaan, dan pengabdianku pada sosok suami. Mau seperti apa, dan bagaimanapun Mas Danish, dia tetap seorang imam yang harus kupatuhi, dan juga kuhormati.

****

Tak lama kemudian, kami sampai di depan sebuah restoran. Pak Marcell tidak langsung turun dari mobil, lelaki itu mengusap gusar wajahnya, kemudian mengubah posisi duduknya menjadi menghadap padaku.

"Nau, aku tidak akan menyerah, dan tidak akan pernah berhenti berjuang untuk mendapatkan hatimu, sekalipun sudah ada seseorang yang menjadi raja di hatimu."

Tatapan sendu lelaki itu membuatku terpaku. Apakah sedalam itu cinta yang dimilikinya untukku? Sayang ... semua terlambat.

"Aku sudah menikah, Pak. Jangan berharap lebih jauh lagi padaku. Sudah ada seseorang yang menghalalkanku lebih dulu di hadapan Pak Penghulu."

Terdengar Pak Marcell mengembuskan napas kasar. Lelaki itu mengacak frustrasi rambutnya. "Mengapa semesta terlambat mempertemukan kita, Nau?"

"Apakah Pak Marcell lupa? Kalau takdir setiap manusia di muka bumi ini sudah ada yang mengatur. Kita tinggal menjalani saja alurnya akan seperti apa."

"Mengapa kamu baru berterus terang sekarang, Nau? Andai saja tahu dari awal, mungkin aku tidak akan membiarkan rasa ini semakin mendalam padamu."

"Maaf!"

"Tidak! Kamu tidak salah, aku yang salah dalam hal ini. Dari awal sikapmu memang sudah dingin kepadaku, seharusnya aku menyadarinya, dan tidak berharap banyak untuk mendapat balasan cintamu."

"Bapak mengajakku ke sini hanya untuk mengobrol atau makan siang?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan! Apakah kamu bahagia hidup bersamanya?"

"Tentu saja aku bahagia! Dia suami yang baik, dan selalu memberi perhatian penuh padaku."

"Baiklah, tetapi bila suatu saat aku tahu, kamu tidak bahagia hidup bersamanya. Jangan salahkan aku, jika aku merebutmu dari sisinya."

Tasbih Cinta NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang