Part 12

1.2K 73 4
                                    

Pagi ini kuputuskan untuk tidak masuk kerja. Mataku membengkak, akibat tangisan semalam yang tak kunjung reda. Beban kesedihan seakan tak kunjung sirna, sakit dan perih itu yang kurasa.

Aku seperti terjebak dalam cerita cinta yang penuh luka. Masuk ke dalam lembah derita yang tiada akhir. Seakan bahagia tak berpihak pada diri. Hanya luka dan nestapa yang selalu datang menghampiri.

Kusibak gorden jendela kamar, membiarkan mentari pagi masuk dengan hangatnya. Udara pagi ini terasa menyegarkan, memberikan kesejukan tersendiri ke dalam hati.

Dering telepon berbunyi, tertera nama CEO aneh itu di layar ponsel. Untuk apa dia meneleponku, bukankah tadi pagi sudah kukirimkan pesan singkat padanya, kalau hari ini tidak akan masuk kerja!

Kubiarkan telepon itu terus berdering. Aku sedang malas mengangkatnya. Biarkan saja lelaki itu merasa kesal, karena tak ada satu pun panggilannya yang kuangkat. Tak lama kemudian ada pesan masuk darinya, sepertinya lelaki itu tak ingin begitu saja menyerah.

CEO aneh

"Masuk kerja sekarang, atau siap-siap aku pecat!"

Aku mendengkus kesal, mentang-mentang jadi atasan semaunya saja mengintimidasi bawahan. Namun, aku tidak mungkin berangkat kerja dengan mata membengkak seperti ini.

Saat turun ke lantai bawah, wangi masakan dari dapur menyentuh indra penciuman. Mungkin Mas Danish sedang memasak. Entah mengapa ada binar bahagia yang tiba-tiba menyeruak dalam hati. Mungkinkah lelaki itu menyesali ucapannya tadi malam, sehingga memutuskan untuk membuatkan sarapan pagi ini.

Cinta itu buta, terkadang membuat seseorang lupa diri. Walaupun seberapa banyak luka yang ditorehkan pasangannya, ia akan dengan mudah memaafkan, tanpa ia sadari kalau semua itu hanya akan menambah luka di dalam hatinya.

Aku melangkah menuju dapur. Mengambil satu buah apel dari kulkas, lalu mengupasnya. Lelaki itu fokus memasak ayam kecap, tanpa melirik sedikit pun ke arahku.

Mungkin benar, kalau lelaki itu tidak pernah menganggap keberadaanku di rumah ini. Dia seakan tak memedulikan kehadiranku yang tengah duduk di meja makan.

"Kenapa kau duduk di sini?"

"Mas tidak lihat, kalau aku sedang mengupas buah apel?"

"Maksudku kamu jangan duduk di sini!"

"Kenapa kamu melarangku? Bukankah kursi di meja makan ini masih banyak yang kosong."

"Kau tidak dengar, jangan duduk di sini!"

Bel rumah berbunyi. Aku segera melangkah menuju pintu. Wanita dengan rok selutut, dan rambut yang dibiarkan tergerai, berdiri di depan pintu.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku pada wanita itu.

"Apakah Mas Danishnya ada?"

Deg!

Siapa wanita ini? Mengapa dia menanyakan Mas Danish? Entah mengapa hati ini memanas, apalagi melihat penampilannya yang super seksi dan dandanan yang sedikit menor.

"Hellow, aku sedang bertanya padamu!"

"Salsa, tadinya aku berniat akan menjemputmu!"

Mas Danish menyapa wanita itu dengan begitu ramah. Keduanya tampak akrab dan saling mengagumi satu dengan yang lainnya.

Melihat kedekatan mereka, membuat hati ini tak karuan. Kesal, benci, cinta, dan rindu, menjadi satu. Mungkinkah ini yang dinamakan mencintai tanpa dicintai. Mengapa rasanya begitu sakit?

"Naura, kenalkan ini Salsa, dia sahabatku!" ucap Mas Danish.

Wanita itu mengulurkan tangannya. "Aku Salsa, sahabat sekaligus calon istrinya Mas Danish!"

Aku membalas uluran tangan wanita itu. Namun, mendengar ucapannya, yang mengungkapkan kalau ia calon istri Mas Danish, menghadirkan rasa sesak tersendiri dalam hati.

Luka itu kembali hadir menyayat hati. Menepis semua kerinduan yang bergejolak dalam jiwa. Entah mengapa kehadiran wanita itu sungguh membuat hati ini seperti teriris sembilu!

"Siapa wanita ini, Mas?" tanya Salsa seraya menunjuk ke arahku.

"Dia Naura, pembantuku di rumah ini!"

Astagfirullahalazim, tega-teganya dia mengakui aku sebagai seorang pembantu di hadapan wanita lain. Apakah dia merasa paling segalanya di muka bumi ini? Sehingga menganggapku hanya sebatas pembantu saja. Tidak! aku harus bermain cantik, untuk bisa membuatnya cemburu padaku.

****

Dada ini terasa sesak, saat melihat Mas Danish tengah menggenggam tangan wanita lain. Setelah membuatkan mereka minum, kuputuskan untuk berangkat kerja.

Sesampainya di kantor, semua pasang mata memandang ke arahku. Mungkin mereka merasa aneh dengan penampilanku pagi ini. Gamis berwarna biru toska telah terbalut indah di tubuh, juga kerudung dengan warna senada telah menghiasi kepalaku.

Apa yang aneh dengan diriku pagi ini?

"Naura, buka kacamatamu!"

Aku segera menoleh pada sumber suara yang memanggil. Pak Marcell sudah berdiri tegak di sana.

"Aku sedang sakit mata, Pak. Kalau nanti kubuka, bisa-bisa nular pada Bapak dan karyawan yang lainnya!"

"Apakah kamu tidak sedang berbohong?"

Aku cepat-cepat menggeleng. "Tidak, Pak!"

"Baiklah, aku akan mengeceknya terlebih dahulu!"

Pak Marcell mendekat padaku. Jaraknya semakin dekat, dan ....

"Mengapa matamu membengkak seperti itu?"

"Sakit mata, Pak!'

"Bohong!"

Aku berdecak kesal. "Aku tidak sedang berbohong, Pak Marcell!"

"Matamu terlihat bekas menangis, Nau!"

Aku tak menggubris ucapannya. Kembali menyibukkan diri di layar laptop. Lelaki itu masih setia di depan meja kerja, seraya memandangku penuh selidik.

"Sekarang katakan, siapa yang telah membuatmu menangis seperti ini!"

"Kamu itu aneh, Pak! Sudah kubilang kalau aku ini sakit mata, bukan habis menangis!"

"Kamu kira aku bodoh, Nau! Aku bisa membedakan mana mata sakit, dan mana yang bukan."

Kuembuskan napas kasar, lelaki itu rupanya masih memandangku dengan penuh selidik. Sikapnya yang peduli dan rendah hati, berbanding terbalik dengan sikap Mas Danish selama ini.

Bersambung ....

Tasbih Cinta NauraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang