Chapter 7

14K 767 18
                                    

Coba tebak, aku dan bang Paris menang atau nggak?? Aku yakin kalian udah tau jawabannya. Ya... aku dan bang Paris kalah. Nggak usah heran, emang udah seharusnya kaya gitu kan. Kami kalah di detik terakhir. Karena bang Paris dengan nggak elitnya menjatuhkan badanku dan ia berseru kesakitan. Untung aja aku nggak kenapa-napa. Coba saja kalau sampai ada bagian tubuhku yang cedera, beneran kubuat gepeng mukanya bang Paris.

Ternyata walaupun berotot bang Paris nggak kuat gendong aku. Padahal beratku cuma 60 kg loh, kagak berat berat amat kan yak. Dan yang bikin kesel tuh bang Paris maah nyalahin aku. Enak aja dia, yang setuju jadiin aku partner dari awal tuh siapa. Ish, tu orang emang kadang kalau ngomong kaga dipikir dulu. Kan udah jelas dari awal aku nolak tapi malah dipaksa. Yaudah deh terima aja nasibnya sekarang kesakitan kaya gitu.

"Liat kan, gara gara elo berat sih kita jadi kalah." omelnya padaku.

"Kok malah nyalahin Icha sih. Kan Icha udah nolak, gak mau. Bang Parisnya aja yang ngotot sok kuat. Jadi tanggung sendiri dong akibatnya."

"Alah udah deh. Nyesel gue tadi setuju jadiin lo partner gue." ucapnya kasar. Namun kulihat tak ada gurat penyesalan diwajahnya. Tanpa bang Paris sadari, ia tersenyum tipis sambil menatap ke satu arah. Helen, yang sekarang melompat kesenangan karena berhasil memenangkan permainan ini.

Aku jadi curiga apa jangan jangan bang Paris sengaja mengalah. Karena tadi saat pertama aku menaiki punggungnya ia tak terlihat seperti orang yang sedang keberatan, tapi...

"Icha, masih belom jadi ya masakannya?" tanya Fani dari ruang makan membuyarkan ingatanku ketika aku dan bang Paris berdebat tadi siang.

"Bentar. Sabar deh." Ish, kaga sabaran banget deh Fani ma Fanya. Gegara bang Paris juga nih aku dihukum harus buatin sesuatu yang spesial buat mereka, sementara bang Paris yang membeli bahan-bahannya.

Setelah menuangkan saus diatas gulungan ayam, aku membawanya ketempat Fina dan Fanya menunggu.

"Wuih, apaan tuh? Dari baunya aja udah ketauan enak." Fanya menatap piring berisi kreasi masakanku penuh minat.

"Ini tuh namanya Petto Di Pollo."

"Hah? Petto Di Pollo? Aneh banget Cha namanya, emangnya dari mana sih nih makanan?"

"Dari  Eropa. Petto Di Pollo ini tuh terbuat dari ayam, daging sapi yang dipotong kecil-kecil dan balutan dari keju mozzarella." jawabku singkat padat dan jelas. Fani dan Fanya mengangguk bersamaan.

"Bon appetit." seru mereka mulai menghabiskan Petto Di Pollo yang kubuat.

Tak perlu waktu lama bagi mereka berdua untuk menghabiskannya. Dalam waktu sepuluh menit, Fani dan Fanya berhasil menandaskan Petto Di Pollo tanpa sisa. Geez, cepet banget mereka makannya.

"Jadi gimana komentar kalian? Enak gak masakan gue?"

"Omaigat. Waktu gue gigit ayamnya terus kejunya lumer dimulut gue rasanya mantep banget."

"Gila Cha, sumpah enak banget. Lo emang bener berbakat ya." puji Fanya mengacungkan kedua jempolnya yang habis dijilat padaku.

Aku tersenyum namun rada jijik karena kelakuan Fanya. Kalau soal keahlianku masak memasak sih gak perlu diragukan lagi. Itu kan memang hobiku sedari kecil. Apalagi Papa dan Mama juga pintar memasak. Mereka berdua yang mengajariku sehingga aku pandai seperti ini. Ditambah kesukaanku makan, aku jadi mengasah terus bakatku. Harapanku nanti aku ingin menjadi seorang chef yang hebat dan bisa membuka sebuah resto seperti Papa yang kini cafenya berkembang pesat.

"Alah, cuma makanan gitu doang lo berdua udah muji dia kaya gitu. Lebih enak makanan di restoran kali daripada masakan dia." cibir bang Paris yang tiba tiba datang.

Ia menarik kursi dan duduk berhadapan denganku. Matanya menatapku tajam. Ini bang Paris kenapa lagi sih, datang datang langsung ngomel gak jelas gitu. Apalagi salahku sama dia?

"Ih abang telat sih datangnya. Masakan Icha tuh beneran enak. Top markotop dah pokoknya." bela Fani.

Aku menaikkan sebelah alisku memandangnya remeh. Denger tuh kata si Fani, masakan Icha beneran enak. Gak kaya situ yang taunya cuma nyela doang.

Tanpa menanggapi perkataan Fani, bang Paris berkata padaku,"Ck. Buatin gue minum." perintahnya padaku.

Ya Tuhan, kok bisa sih aku suka sama orang model begini. Judesnya gak ketulungan.

Aku berdiri dari dudukku dan menghampiri bang Paris.

"Mau ngapain lo?" tanyanya heran karena aku malah berdiri disampingnya.

"Mau Icha tuh ini." Kutendang tulang kering bang Paris hingga ia mengaduh kesakitan kemudian kusegera kabur sebelum bang Paris mengejarku.

"Ichaaaaa awas lo ya. Dasar gembrot." teriaknya samar samar masih kudengar diiringi cekikikan khas dari dua saudaranya.

¶¶¶

Sepanjang sisa liburan aku melewatinya dengan berbagai cara menghindari bang Paris. Sepertinya bang Paris beneran marah karena apa yang telah kulakukan padanya. Karena tiap melihatku ia seakan ingin menelanku hidup-hidup. Bagaimana tidak jika nyatanya sehabis kutendang jalan bang Paris jadi pincang dan itu terjadi selama dua hari. Ia berjalan dengan tertatih-tatih.

Wow, aku tak menyangka jika tendanganku sehebat itu.

Hingga saat hari terakhir aku sedang memasukkan kembali semua pakaianku kedalam koper, aku mendengar suara orang menutup pintu. Aku menolehkan kepalaku dan betapa terkejutnya diriku melihat bang Paris berdiri diambang pintu dengan seringainya yang mengerikan.

Belum sempat aku berteriak dan menghindarinya, secepat kilat bang Paris menangkap tanganku hingga tubuhku terjatuh di atas ranjang. Ia mengurung badanku diantara kedua lengan besarnya. Mencengkram pergelangan tanganku hingga aku tak bisa berkutik.

"Ba...bang Pa-Paris ma...ma...u ngapain?" tanyaku terbata-terbata. Keringat dingin membasahi wajahku saking takutnya aku dengannya.

Wajahnya terlihat sangat mengerikan. Apalagi senyuman mautnya, jantungku serasa jatuh kebawah hanya dengan menatapnya.

"Gue mau bales apa yang udah lo lakuin sama gue. Gara gara lo, gue jadi gak bisa ikutan jalan jalan bareng kemarin. Dan gara gara lo juga, gue gagal buat diving." suara beratnya membuat bulu kudukku meremang.

Asli aku beneran takut sekarang.

"Ma... ma... maafin Icha bang."

"Maaf! Maaf lo bilang. Huh, gak semudah itu gue maafin lo setelah apa yang lo perbuat sama gue. Cuih." ucapnya sinis. Matanya yang tajam seakan menusukku hingga berdarah darah.

Tuhan, tolong aku. Siapapun, tolongin Icha, hiks.

"Ma... maksud bang Paris apa?"

"Maksud gue, gue akan lakuin sesuatu sama seperti apa yang lo lakuin ke gue. Dan gue yakinin satu hal, lo gak akan pernah bisa ngelupainnya."

Bang Paris mencengkram tanganku kuat-kuat. Tanpa kusadari, airmataku mengalir membasahi pipiku. Kami masih dalam posisi bang Paris berada diatasku, dengan kakiku yang menggantung saat kudengar suara orang mengetuk pintu.

"Icha sayang, kamu udah selesai? Buruan semuanya udah pada nungguin kamu sayang." kata Papa dibalik pintu.

Aku baru saja ingin menjerit, namun tangan bang Paris telah lebih dulu membungkamku. Ia menggelengkan kepalanya panik memohon padaku agar tak berteriak. Dan tepat saat itu, pintu pun terbuka.

¶¶¶

Cepet y apdetnya....
Makin kesini rasanya makin hancur ya, tau dah aku kenapa jadi gini ceritanya. Absurd banget ^^)v

Kira kira bakal gimana y reaksinya Tito a.k.a papanya Icha pas masuk?? penasaran g?? wkwkwk

Thanks buat semua dukungan kalian, makasih buat yg udah nyempetin baca n nungguin cerita abal-ku ini. Tysm :)

Jgn lupa buat votment, biar aku tambah semangat lanjutin  ini cerita

see y, loph u all ^_^

big hugs

Ifah

Young LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang