7. Bom di Siang Hari

5.1K 771 22
                                    

Aku bisa tersenyum puas. Bagaimana tidak, mulut yang sejak kemarin kemarin menganggu kesehatan hati pikiran dan jiwa ragaku kini tertutup rapat.

Dua menit yang lalu baru saja di sosialisasikan tentang kesehatan reproduksi, kehamilan dan kiat kiat parenting.

Dan aku bisa melihat wajah Mbak Dharma tercinta di tekuk seperti struk Alfamart di cucian kotor. Tatapan aneh ia dapatkan.

Saat acara sudah selesai kami semua keluar dari aula.

"Dek Dipta?" Terdengar suara panggilan untukku.

"Siap. Ijin petunjuk mbak Dede?" Aku menoleh ke istri senior.

"Maafin mbak ya sudah nuduh kamu yang macam-macam."

"Ijin. Tidak apa-apa mbak. Tidak saya masukkan ke hati kok. Kalau benar juga akan terungkap kok." Mbak Dede pamit. Aku langsung menuju ruangan ketua Persit. Menemui ibu Danyon tercinta.

Aku mengetuk pintu. Di susul dengan suara ibu Danyon yang menyuruhku masuk.

"Masuk Dek." Aku mengangguk.

"Ijin menghadap Bu."

"Duduk dulu dek. Kita tunggu Dek Dharma dulu. Saya yakin kamu pasti tahu kemana arah pembicaraan ini."

"Siap. Ijin petunjuk ibu." Saat masuk tadi rasanya biasa saja. Tapi Begitu duduk di sofa aku langsung keringat dingin.

Pintu terbuka kembali menampilkan wajah komandan di ikuti dua bapak loreng di belakangnya. Wait tunggu, aku tak asing dengan wajah yang tampan.

Mas Dipta juga masuk bersama Bang Dharma. Selanjutnya ada Mbak Dharma pula.

Batinku tersenyum licik. Akhirnya mereka mendapatkan balasannya.

"Baik karena semua sudah berkumpul saya akan mulai diskusi siang ini. Biarkan saya berbicara dulu sebagai ibu di sini. Kenapa saya hadirkan Om Dharma dan Om Dipta. Juga adek-adek."

"Saya begitu sedih mendengar ada kabar buruk tentang salah satu anggota saya. Bahkan masuk ke dalam pengurus. Tapi lebih sedih lagi ketika tahu ternyata itu hanya sebuah kabar murahan yang tidak benar adanya."

"Bukan maksud saya membela salah satu dari kalian tapi saya sangat kecewa sikap Dek Dharma. Saya sudah menelusuri dari mana awal kabar murah tentang maaf kehamilan dek Dipta yang di luar nikah."

"Sikap dan perilaku Adek berdua ini merupakan pakaian suami. Apabila kasus ini sampai di atas. Atau pihak dek Dipta tidak terima. Ini bisa di perkarakan di ranah hukum."

"Saya harap dek Dharma bisa memperbaiki diri. Menjaga lisan dan perilaku di dunia Persit ini. Apalagi ini merupakan dunia baru untuk kalian berdua." Aku melihat wajah Mbak Dharma yang menahan air mata.

Cukup lama kami diam, hanya ada isakan Mbak Dharma. Mas Dipta tampak menahan amarahnya.

"Ijin berbicara komandan dan ibu. Disini saya hanya ingin Mbak Dharma sadar dengan perbuatannya. Ijin mbak. Bukan maksud saya untuk berani dengan istri senior saya. Tapi saya sudah tidak tahan dengan semua olokan Mbak Dharma selama saya dan istri saya tinggal di asrama. Saya dan istri diam bukan karena takut. Tapi kami hanya tidak ingin malu. Suami mana yang terima istrinya di jelek-jelekan di hadapan semua orang. Suami mana yang terima istrinya di tuduh hal yang tidak terpuji. Coba posisikan diri mbak menjadi Calla. Sedang hamil, bekerja, kegiatan persit masih di tambah stres karena gosip yang mbak buat. Sama-sama perempuan. Coba saya gosipkan Mbak Dharma hamil di luar nikah. Bagaimana rasanya? Pasti sakit dan tidak terima mbak!"

"Ijin Bang. Saya selalu diam ketika Istri Abang ini mengolok-olok saya. Mengolok-olok istri saya. Coba bang ada di posisi saya. Melihat istri menangis setiap bersosialisasi dengan lingkungan asrama. Kita ini hidup dalam rumpun sama. Dalam kesulitan yang sama. Saya diam bukan karena takut bang. Betul kata ibu Danyon. Saya bisa membawa masalah ini ke ranah hukum. Perbuatan tidak menyenangkan. Saya hanya mau Mbak Dharma meminta maaf kepada Calla. Tidak lebih."

Mbak Dharma melihatku. Kilat amarah terlihat jelas. Aku makin takut. Wajah Bang Dipta memerah menahan amarahnya.

"Tahan dip." Lerai komandan.

"Siap. Ijin."

"Saya rasa ini kesalahan pahaman yang membuat salah satu orang merugi. Tadi Dipta sudah bilang kalau dia maunya Damai. Istrimu minta maaf Ma. Betul seperti itu dip?"

"Siap. Betul. Ijin, demi nama baik saya dan keluarga juga batalyon ini. Ijin."

"Monggo, saling lapang, saling memaafkan. Kita hidup di lingkungan yang baik bukan. Toleransi, tenggang rasa, dan banyak hal lain yang harus kita pertimbangkan saat kita hidup di Asrama."

Lawan bicaraku tetap diam membisu tanpa kata. Aku menarik nafas panjang.

"Ijin Berbicara komandan. Ijin ibu. Ijin Mbak dan Abang. Ijinkan saya menyampaikan unek unek saya selama empat bulan tinggal di asrama ini."

"Sebelumnya saya memohon maaf atas kelancangan saya dengan Mbak Dharma. Mbak Dharma bisa cek sendiri kenapa saya bisa menjadi istri Bang Dipta. Kenapa yang bisa dan kenapa bukan yang dulu. Sebenarnya saya malas membahas ini di depan umum. Apalagi di depan komandan. Sekali lagi saya tegaskan. Gita selingkuh dari Abang saya. Jadi stop untuk menyebut saya pelakor dan lain halnya. Sudah cukup saya di caci dengan kata keji seperti itu mbak. Oke sekali dua kali nggak masalah mbak. Tapi hampir setiap hari saat kita bertemu mbak selalu ngatain saya seperti itu. Selanjutnya Mbak. Bisa tanya sendiri ke komandan, saya pengajuan nikah murni sendiri. Tanpa ada campur tangan dari orang lain atau jalur belakang seperti yang Mbak tuduhkan. Bisa tanya dengan Ibu Danyon."  Aku mengusap air mataku kasar.

"Selama empat bulan di sini saya rasanya ingin selalu di dalam rumah. Takut untuk keluar takut untuk bergabung. Karena saya takut di cemooh. Saya takut mbak bully. Karena kesehatan mental saya sangat berarti untuk kesehatan bayi dalam kandungan saya. Tidakkah mbak berfikir bagaimana sedihnya suami saya kalau tahu istrinya tiap hari di hina. Saya simpan cemooh itu sendiri. Karena saya tidak mau Bang Dipta tahu. Dan saya tidak ingin keributan di luar. Sampai terdengar ke komandan. Ke orang luar dari lingkungan kita. Dan saya takut, ayah saya sampai tahu. Mereka akan sama sedihnya. Saya tidak perlu melanjutkan bukan kalau sampai ayah saya tahu. Bukan saya sok berkuasa. Tapi saya masih ingat betul dulu  ada letnan dua yang datang ke rumah dinas ayah saya. Memohon untuk tidak di tindak atas kecurangan yang dia lakukan." Semua mata menatapku tajam. Termasuk Bang Dharma yang menjadi topik terakhirku.

"Saya lega. Tidakpun Mbak Dharma meminta maaf ke saya. Saya juga sudah cukup puas membuat Mbak Dharma malu. Saya diam bukan berarti takut. Karena bicaranya saya bisa menjadi bom untuk diri mbak Dharma sendiri. Dan Mbak Dharma yang membuat saya untuk bicara."

"Ijin undur diri komandan dan ibu. Saya anggap masalah ini clear. Mohon maaf atas kelancangan saya terhadap senior." Aku bangkit menyalami komandan dan istri. Keluar di ikuti bang Dipta.

Sampai di luar aku langsung menangis memeluk suamiku. "Kamu sudah lakukan yang terbaik." Bisik Bang Dipta.

"Semua akan baik-baik saja. Ibun jangan sedih ya. Ada aku di sini. Yang akan peluk kamu. Jangan takut karena kita nggak salah." Aku mengangguk. Kembali ke rumah. Tempat yang menurutku paling aman dari semua hal yang mengusik

✨✨✨

Senja Dan PradiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang