9. Iklhas

5.1K 734 34
                                    

Bagai bom yang menghantam tubuhku. Hancur rasanya berkeping-keping. Mendengar penuturan Bang Dipta tentang keberangkatan tugas perbatasan untuk kesekian kali.

"Berapa lama." Suaraku tertahan lirih. 

"Sembilan bulan." Aku tidak bisa menahan tangisku. Mas Dipta mempererat pelukannya.

"Maaf." Sudah sekian kali ia minta maaf. 

"Kebarangkatannya masih satu bulan lagi."
Aku masih diam. Tidak bisa berkata-kata. Lidahku terasa Kelu.

"Janji. Aku nggak akan kenapa-kenapa sayang di sana. Aku nggak perang." Emosiku naik

"Kamu selalu bilang gitu mas Setiap saat mau pergi. Ayah juga, semua selalu gitu." Suaraku terdengar lebih tinggi. Aku yakin bunda dan mertuaku mendengar semuanya.

"Ssst. Ini sudah tugasku La. Negara butuh aku, aku harus berangkat. Memastikan semua baik-baik saja."

"Dulu kamu bilang juga semua akan baik-baik saja. Tapi apa? Kamu luka waktu itu mas."

"Aku janji. Aku bakalan pulang untuk kamu dan adik. Aku janji la. Aku berusaha nggak akan terluka sedikitpun." Aku semakin menangis. Aku melihat perut yang semakin membesar.

"Aku takut kehilangan kamu mas. Cukup saat itu kamu diemin aku. Cukup saat itu kamu terluka."

"La, kehidupan tentara itu selalu dekat dengan jarak, luka dan kehilangan. Tapi aku berusaha untuk terhindar dari luka dan kehilangan itu. Aku butuh keikhlasan kamu La."

"Tapi mas. Gimana nanti saat adik lahir?" Kini mas Dipta yang menangis. Aku tahu dia berat pula meninggalkan aku dan janin yang diperut ini.

"Maaf. Maaf. Maaf sudah membuat kamu sulit la. Tapi aku percaya kamu bisa. Kamu mampu."

"Kamu terlahir jadi perempuan yang kuat dari seorang ibu dan ayah yang luar biasa. Dan aku yakin ini hal yang bisa kita lewati sama-sama. Semoga aku bisa menghadapi semua ini ya La. Semoga kita sama-sama ikhlas menerima tugas ini. Aku berjuang di sana. Kamu berjuang di sini. Bersama adik nantinya. Aku janji untuk sebisaku hubungin kamu selalu la. Saat lahiran nantipun aku berusaha ada walaupun jauh. " aku hanya bisa memeluk Mas Dipta seerat mungkin. Andai bisa di minta, aku tak ingin ia pergi. Andai bisa memilih aku memilih untuk dia tetap di sini. Menghabiskan hari bersama di setiap hembusan nafas. Semuanya kembali kepada sebuah andai. Kenyataan berkata, sebentar lagi pasti akan sepi.

Bisa La. Kamu bisa. Kamu kuat kamu kuat.  Dulu kamu bisa tanpa Dipta. Sekarang cuman jauh sedikit. Pasti bisa.

✨✨✨

Aku keluar dari kamar dengan mata sembab. Mas Dipta bersiap dengan kaus polo dan celana panjang. Mengantar adiknya kembali ke Ksatrian. Aku masih ingin di temani ayah dan bunda.

"Mbak pamit ya. Besok Daffa main lagi. Jangan capek capek ya." Aku mengangguk memeluk Daffa. Dia lantas berjongkok.

"Hey Langit. Om balik sekolah dulu ya. Kamu jagain ibu ya. Besok kita main lagi. Om ajak makan yang enak sama pedes oke." Semua terkekeh. Aku kembali memeluk Daffa.

"Udah. Semua bakalan baik-baik saja mbak. Aku balik ya. Hati-hati di rumah. Jangan capek kasian langit." Daffa dari tadi terus memanggil baby dengan kata langit.

"Kok Langit Om?" Itu suara Mas Dipta.

"Dia besok akan jadi langitnya ayah dan ibunya. Langitnya opa dan Omanya. Eyang-eyangnya. Eyang buyut nya. Dan tentunya jadi dunianya om Daffa. Iya kan nak. Dia akan menghujani keluarga ini dengan cinta dan kebahagiaan" Daffa mengusap perutku. Aku tidak bisa menahan untuk tidak memeluk lagi Daffa.

"Udah mbak. Aku balik ya. Jaga diri baik-baik." Aku mengangguk.

"Mas berangkat dulu ya sayang." Aku mengangguk. Melambaikan tangan..

"Hati-hati."

"Masuk yuk nduk. Makan dulu." Aku mengangguk.

"Calla. Buk e sama pak e pamit ya."

"Kok nggak bareng mas tadi buk?"

"Buk e mau mampir ke Solo nduk. Ke tempat teman pak e. Kamu baik-baik ya di rumah. Buk e besok nginep kesini Minggu depan." Dengan berat aku memeluk ibu mertua. Masih rindu tapi sudah berpisah.

"Pak e balik ya. Jaga kondisi. Jangan di bawa setres ya nduk. Besok biar buk e nginap sini." Aku menyalami mertuaku. Begitu dengan Mbah Haryo.

"Simbah pamit nduk. Di jaga kesehatanya. Jangan capek." Aku mengangguk.

Tinggallah keluargaku. Aku langsung memeluk ayahku.

"Anak ayah pasti kuat." Aku langsung menangis tersedu-sedu.

"Inilah seni jadi istri tentara nduk. Nikmatilah setiap prosesnya. Agar menjadi cerita kelak ke anak cucu."

"Bunda dulu juga pas hamil kamu nggak sama ayah. Ayah dinas di Papua ya yah?" Ayah mengangguk.

"Iya. Bunda dan kamu jadi semangat ayah dulu saat tugas. Ya bedanya ayah kembali saat kamu belum lahir. Tapi percaya deh, dan ayah janji. Ayah yang akan pegang tangan mbak saat lahiran nanti." Aku makin menangis. Bunda mengusap pipiku.

"Mbak sayang, ini sudah menjadi resiko yang harus mbak terima sebagai istri prajurit. Tidak lama kan sembilan bulan. Akan terasa sebentar jika kamu menikmatinya dengan ikhlas. Harus diterima dengan lapang dada. Disini banyak temannya. Buk e kan bakalan temenin kamu. Bunda juga akan kesini di sela-sela giat."

"Anak ayah pasti bisa. Di tinggal ayah sama bunda dinas luar bertahun-tahun aja kuat." Ledek ayah.

"Tapi kan beda ayah." Ayah tertawa keras.

"Iya-iya. Gini deh, yang berat tidak hanya kamu. Dipta juga sangat berat berangkat. Kamu tahu, siang itu Dipta menangis telfon ayah. Dipta juga sama, melepas anak istrinya di rumah. Tapi dia sudah bersumpah. Dia utama milik negara. Dan ayah yakin Dipta akan selalu kuat dan pulang dengan selamat untuk kamu." Aku mengangguk.

"Iya mbak, kamu melepas suami kamu seberat ini. Apalagi Dipta, Dipta melepas kamu dan anaknya untuk tugasnya. Setelah ini, setelah Dipta kembali. Kamu harus tersenyum. Ikhlaskan kepergian tugasnya. Agar Allah memberikan kelancaran. Mbak cukup percaya, suami mbak adalah prajurit terbaik yang Indonesia miliki. Jangan nangis lagi. Anak bunda selalu kuat."

"Makasih banyak ya bunda ayah. Sudah ada dan menguatkan mbak. Mbak janji akan jadi istri yang baik. Akan jadi istri yang berbakti."

"Nah gitu dong senyum. Baby E nggak akan suka ibunya nangis ya nak. Kuatin ibu ya nak. Jadi anak yang baik selama ayah kamu nanti tugas." Bunda mengusap perutku. Tendangan begitu terasa. Membuat aku dan bunda langsung tersenyum. Ayah memelukku, begitupun bunda. Hal yang sangat sulit terjadi saat ini. Duh Daffa, mbak jadi kangen. Kamu cepet selesai pendidikan ya Daff.

Dan kita akan kembali berkumpul bersama-sama.

"Ayah percaya kamu bisa nak. Menjadi kuat seperti bundamu melepas ayah tugas. Walaupun dengan tangis, tapi ada keikhlasan di dalamnya."

✨✨✨

Selamat puasa semuanya. Semoga lancar yaa puasa hari ini.

Ceritain dong, kejadian apa aja selama di tinggal suami tugas. Nggak harus yang tentara kok. Aku tunggu di komen yaa 🥰

Senja Dan PradiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang