3. One Day With Qashmal

6K 835 30
                                    

Suasana IGD di pagi hari terlihat tenang. Aku tidak ingin mengucap jorok. Karena hari ini hanya setengah hari. Dan datanglah weekend.

"Weekend mau kemana kamu La." Aku melirik Qasmal yang sedang menulis status pasien.

"Jogja. Balik ke rumah mertua Mal. Kalau kamu?" Dia mengendikan bahu.

"Goleran di kos. Mobil mogok nggak bisa kemana-mana. Mau naik bis malas banget."  Qasmal adalah teman angkatanaku yang mendapat jatah intership di tempat yang sama. Tapi kami belum pernah sekelompok saat koas.

"Mau nebeng nggak? Lumayan kan balik ke tempat Bulik mu bisa refreshing." Dia bangkit membereskan pekerjaan. Dia mahasiswa asal Surabaya. Tapi keluarganya ada di Jogja. Di daerah Gondomanan.

Pintu terbuka, datanglah ibu paruh baya dengan keadaan pucat. Kulihat Om Hendi perawat klinik asrama yang mengantar.

"Ijin, diare sudah dua hari Bu."

Aku langsung memeriksa tekanan darahnya dengan tensimeter. Ku ambil cairan saline untuk membantu menggantikan cairan yang hilang selama di rumah.

"Makan apa Bu kemarin?" Sambil ku ajak bicara agar relaks.

"Ijin Bu. Saya makan rujak bareng dengan kompi D kemarin setelah senam. Ijin." Aku tersenyum.

"Ibu ini kompi D ya. Rumahnya sebelah mana?" Tanyaku lagi. Sekalian perkenalan. Karena waktuku di asrama begitu terbatas. Hanya di sore dan malam hari.

"Ijin. Blok Q Bu. Paling ujung. Samping kopi Pak Maman." Aku menulis resep untuk di bawa Mbak Lia ke farmasi.

"Deket ya Bu. Kapan-kapan main ya bu ke rumah. Saya sering masak cookies kalau senggang Bu." Mbak Lia membawakan beberapa obat untuk di minum.

"Bu, ini di observasi dulu ya. Aku mengganti infus yang tinggal sedikit. Dengan kecepatan tetes yang lebih rendah.

"Suaminya sudah mau ke sini kan Bu? Saya tinggal sebentar ya. Nanti kalau ada apa-apa sama Mbak Lia. Pencet tombol yang ini ya Bu." Setelah berpamitan aku kembali ke tempat duduk ku semula. Meja kebesaran tempat kami menuliskan status pasien. Resep dan segala tulis menulis.

"Kayanya emang aku di kos aja deh La. Bulik ku malah ke Surabaya kok. Dah lah nasib gini amat." Aku tertawa ngakak.

Kling...

Pesan dari Mas Dipta ku terima. Bahwa ia akan mrnjempugku langsung. Tanpa kembali ke asrama.

"La, rasanya hamil gimana sih?" Pertanyaan Qasmal membuatku buyar.

"Ya gini. Bahagia, bahagianya melebihi apapun.  Kayanya ini part paling bahagia dalam hidup gitu lho Mal. Ngelebihin kebahagiaan saat sumpah Dokter. Bahkan lebih dari  kebahagiaanku pas menikah."

"Ekspresi suamimu pas tahu kamu hamil gimana?" Ingatanku terlempar di pagi hari beberapa bulan lalu.

"Nangis, langsung meluk aku. Bahagianya langsung ngalir aja gitu lho. Nggak ngerti lagi pokoknya tuh. Bahagia yang lebih dari bahagianya apapun. Suamiku langsung meluk terus ngusap perutku sambil nangis. Sambil ngajak anakku ngobrol. Kaya semuanya tuh bikin bahagia Mal."

"Nggak ada kata yang bisa mendiskripsikan kebahagiaan ku pagi itu Mal. Segala cinta makin ada makin nyata. Makin bahagia. Dan percaya kalau Allah itu maha baik. Allah kasih aku suami yang kelewat baik. Dan Allah kasih aku kebahagiaan baru. Di titipkan Allah anugrah terindah."

"Suamiku selalu bilang. Aku nggak sendiri. Aku hamil dia juga hamil. Dan beneran, kita lewatin ini semua bareng Mal. Suamiku nggak mau kalau aku sampai setres. Sebisa mungkin dia bikin aku bahagia dengan kehidupan kami yang sekarang."

"Emang si Call. Kamu kelihatan banget bahagianya. Pas di nikahan mu, kita sampai nggak kedip. Lo kelihatan bahagia banget sore itu La." Aku senyum. Jaga IGD sama Qasmal memang tak terlalu buruk.

"Emang, percaya nggak Mal. Kalau aku sama suamiku di jodohin?" Dia mengangguk.

"Awalnya enggak. Tapi pas tahu track recordmu aku percaya."

"Dan itulah skenario terbaik yang Allah kasih buat aku Mal. Semoga kamu juga segera ya. Dapetin perempuan yang sayang tulus sama kamu. Kebahagiaan yang tak pernah bisa ke ukur. Saat kamu udah jadi kepala keluarga. Dan jadi seorang ayah nantinya Mal." Kulihat mata Qasmal berkaca-kaca.

Sabtu hari baik bagi kami tim jaga pagi. Segalanya di mudahkan. Di tutup dengan makan siang bersama di warung depan rumah sakit. Dengan menu nasi Padang sambal rendang yang begitu nikmat.

"Makasih ya Call. Kamu makin membuka mataku buat lebih serius."

"Pintu rezeki itu bakalan makin terbuka saat kamu udah nikah. Kamu punya Allah yang maha kaya. Jadi jangan takut miskin. Jangan takut untuk sakit karena Allah itu as Syifa. Maha penyembuh. Jangan takut melawan dunia ini. Kejar semua apa yang jadi mimpi dan doa mu Mal. Aku balik ya, nebeng sampai kos ga nih?" Tawarku yang di iyakan oleh Qasmal.

Sepanjang perjalanan, dua laki-laki ini begitu cocok membicarakan tentang masa depan. Dan kehidupan pernikahan.

Kami berpisah di depan kos Qasmal. "Aku senang kamu punya temen kaya gitu dek." Ucap Mas Dipta tiba-tiba.

"Nggak takut aku berpaling sama dia?" Mas Dipta menggeleng.

"Aku selalu berdoa sama Allah untuk jagain kamu buat aku. Dan aku percaya Allah jaga kamu. Jagain hati kamu untik selalu ingat sama aku. Ingat sama janji suci kita. Karena di hidup aku. Kamu dan adik adalah segalanya. Ibu sama adik akan selalu di jaga Allah." Aku tersenyum memeluk suamiku.

"Seberat apapun masalah yang akan kita hadapi nantinya. Percaya ya dek. Kamu punya aku yang akan selalu menjadi tempat kamu bersandar. Tempat kamu mencari kebahagiaan." Aku mengangguk.

Perjalanan yang ku sukai adalah perjalanan sore yang di temani dengan sinar senja.

Kami saling berpegang tangan. Menggenggam dan tersenyum.

"Gimana mas di asrama?" Tanyaku. Karena Mbak Yua sudah mengirim pesan menanyakan kebenaran berita yang beredar."

"Aku sengaja bikin besok aku di panggil komandan. Biar di buktikan dan buat Mbak Darma malu. Biar dia di beri pelajaran Dek."

"Tapi aku takut kamu kena sangsi." Mas Dipta menggeleng.

"Cukup kamu percaya kalau aku bisa lewatin masalah ini. Jangan di pikir, karena semua itu nggak bener. Kita itu primadona. Menurut mereka kita itu di atas. Jadi mereka ingin kita jatuh. Tapi semakin erat kita saling berpegangan. Semuanya makin kuat dan nggak akan jatuh sayang." Aku tersenyum.

"Aku bakalan ada di samping kamu. Dan tangan ini akan selalu seperti ini. Sampai nanti. Sampai kita tua. Sampai jadi debu."

"Malah nyanyi." Sungutnya. Aku tersenyum manis.

"Tangan ini bakalan pegang tangan kamu. Di saat apapun. Semoga Ayah sehat terus. Biar selalu nemenin dedek sama ibu. Melewati indahnya dunia ini. Karena hidup ibu akan indah dan berwarna karena Yanda." Mobil tiba-tiba menepi. Mas Dipta langsung memagut bibirku. Wah bahaya bahaya. Lebih baik ku akhiri bagian ini. Sampai jumpa.

✨✨✨

Awalnya ngga mau update. Tapi bacain komen komen dan DM bikin terharu.

Spesial untuk kalian semua
Jaga kesehatan ya 🥰

Senja Dan PradiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang