Sudah masuk waktu makan malam Mas Dipta tak kunjung pulang juga dari rumah. Mau menyusul tapi takut, tapi kalau tidak di susul ia tak kunjung pulang. Mas Dipta juga tidak membawa handphone.
"Mbak, suamimu kemana?" Suara ayah mengagetkanku.
"Ehh ayah ngagetin aja. Lagi di rumah Buk e yah. "
"Sudah waktunya makan malam lho. Mosok ndak pulang?" aku bangkit dan mengambil Langit yang ada di kasur. Menggendongnya.
"Mungkin Mas Dipta butuh waktu sendiri yah. Kan udah lama juga nggak pulang ke rumah masa kecilnya." Sebenarnya dalam hatiku aku merasa takut. Jika Mas Dipta bertemu dengan Mas Dika. Hancur sudah pasti.
Akhirnya makan malam dimulai tanpa Mas Dipta. Percakapan didominasi oleh cerita Daffa, cerita mahasiswa tingkat akhir yang semakin disibukkan dengan persiapan latsitarda.
"Biasanya Dek, latsitarda tuh bikin cinlok lho." Suara bunda yang membuat aku dan ayah saling menatap. Suaranya terdengar seperti sindiran.
"Uppsiiii Whoppsiiiii" aku mencoba memecah suasana.
"Ya nggak semua dong Bun. Kan Daffa udah punya Ranya. Ya kan Daff." Ayah membela dirinya.
"Apa sih ayah. Tiba tiba Ranya. Cinlok atau tidaknya tergantung kita. Kalau aku sih biasa aja ya. Soalnya niatnya emang benar-benar mengabdi. Bukan mau menye-menye. Tapi ya kalau pada akhirnya emang beneran ya cinlok namanya jodoh berarti." Aku tertawa melihat bunda yang terlihat sewot.
"Udah deh bun. Udah masa lalu juga, kita kan harus menatap masa depan. Yang udah ya udah dijadikan pembelajaran."
"Iya bun. Bener kata mbak. Lagian sekarang cuman bunda lho yang di hati ayah. Lope lopenya ayah tuh sekebon." Aku dan daffa langsung mual mendengar ucapan ayah.
Di tengah bercandaan kami, terselip rasa khawatir tentang Mas Dipta yang masih dirumahnya.
"Calla ke kamar ya Yah. Mau ajakin langit nyusul ayahnya. Kok belum juga balik."
"Langit sama Oma aja, kamu susul Dipta sendiri mbak. Kan ada Daffa juga." Aku mengangguk. Bergegas membereskan piring bekas makan malam kami dan menemui Mas Dipta.
Di perjalananku, aku was-was. Takut jika terjadi sesuatu dengan suamiku. Rumah terlihat sepi. Tapi gembok gerbang tidak terkunci.
"Assalamualaikum" terdengar jawaban salamku dari dalam. Suara simbok yang menjawab. Tak lama pintu terbuka. Begitu melihatku, simbok langsung memelukku erat.
"Mbak. Apa kabar? Simbok kangen." Aku tersenyum.
"Baik mbok. Simbok sehat kan. Harus sehat ya. Obat yang Calla kasih kapan waktu itu masih?" Simbok mengangguk dalam pelukan.
"Mas Dipta di belakang mbak. Maafin simbok ya mbak. Simbok nggak bisa bohong sama Mas Dipta." Aku mengangguk.
"Ndakpapa. Calla masuk ya mbok." Kekhawatiranku semakin menjadi. Aku masuk ke halaman belakang rumah.
Rumah mas Dipta ini khas bangunan lawas. Jadi di antara dapur dan rumah utama terdapat halaman tanah. Dulu saat aku masih kecil dijadikan tempat untuk menjemur baju milik mbah kakung. Tapi sekarang sudah di sulap menjadi tempat santai untuk melamun.
Aku melihat punggung Mas Dipta. Aku memeluknya dari belakang. Tidak ada respon. Hanya kepulan asap rokok, aku sangat benci asap rokok. Tapi Mas Dipta akan merokok jika memang ia sedang dalam masalah atau kepenatan.
"Pulang yuk. Langit kangen sama ayahnya lho." Ajakku untuk memecah keheningan.
"Kenapa bohong?" Suaranya begitu dingin. Dan tetap tak membalas pelukanku.
"Aku nggak mau masalah jadi panjang."
"Apa yang aku nggak tahu Call." Nyaliku menciut. Dia memanggilku dengan nama. Artinya Mas Dipta benar marah.
"Aku jaga perasaan Mas Dipta, dan melindungi Buk e. Aku nggak mau kalau aku ngadu semuanya jadi runyam. Toh semua sudah lewat mas." Jelasku.
"Lewat katamu? Kamu mau dia terus menginjak keluarga kita. Kamu mau dia terus menindas buk e dan pak e. Kamu tahu bagaimana hancurnya aku. Aku tahu dari orang lain kalau istriku hampir di bunuh kakakku sendiri." Aku memeluknya makin erat. Suaranya begitu parau dan hancur.
"Kamu tahu Cal. Hancur jadi aku, aku seperti tidak berguna. Aku seperti tidak kau anggap. Kamu menutupi hal yang bahkan mencelakai anak kita. Kamu mikir enggak. Kalau hal itu terus kamu tutupi. Dan di saat jauh aku tidak bisa melindungi kalian."
"Maafin aku mas. Aku dan Langit tidak terluka kok. Aku baik-baik saja." Ucapku menenangkan.
"Baik kamu bilang. Dia nampar kamu berapa kali? Di bekap Langit. Kejadian di asrama. Bahkan kamu berani menyembunyikan semua itu dari aku. Aku merasa gagal Call jadi suami." Mas Dipta menangis.
"Aku gagal menjagamu, aku gagal melindungi Langit. Buk e dan Pak e. Aku gagal Call."
"Aku tidak tahu dosaku apa. Sampai bajingan itu mengganggu keluargaku terus. Aku gagal Call." Aku mengusap punggungnya.
"Aku harus apa Call. Aku harus apa."
"Mas masih punya aku. Kita hadapin ini sama-sama ya. Aku janji tidak akan menutupi semuanya lagi. Aku janji akan bantu mas untuk berjuang mendapat keadilan."
"Bajingan itu harus mendapat balasan yang setimpal untuk menanggung jawabkan perbuatannya."
"Sudah cukup Call aku sabar selama ini. Aku diam, alu pikir dengan diam dia akan lelah sendiri. Tapi kenyataannya malah semakin menjadi."
"Mas. Kalau saranku, Mas Dika butuh pendampingan dari psikiater. Tapi gimana kita bisa melakukan itu.
"Pak e sudah lakukan itu berulang kali Calla. Tapi tetap sama, walaupun itu penyakit. Kenapa harus kita yang jadi korban?"
"Sekarang kita nggak boleh menyalahkan keadaan. Apapun langkah yang akan mas tempuh aku akan dukung selama itu baik dan tidak merugikan."
Aku menatap mata Mas Dipta. Mata yang jelas terlihat terluka. Tidak bisa tertutupi.
"Mas, aku akan selalu ada ya. Jangan pernah ngerasa sendiri. Kita masih punya Langit yang akan menyelimuti kita dalam kebahagiaan." Mas Dipta menatapku. Air matanya jatuh.
"Maafkan aku Calla. Aku harus membawamu dalam kepelikan keluargaku ini. Kamu harus terluka, kamu harus merasa takut. Maaf akan semua hal itu Call." Aku menangkup pipinya. Mengusap air matanya.
"Tidak perlu meminta maaf. Karena tidak ada yang perlu untuk di maafkan. Mas,lukamu adalah lukaku. Aku sudah memutuskan untuk hidup denganmu. Jadi segala resikonya aku pasti terima. Bersama kamu aku tidak pernah takut mas. Karena kamu obat lukaku. Tentang luka yang lalu, aku sudah ikhlas. Supaya tidak berlarut. Aku janji akan cerita semuanya ke Mas Dipta. Maafkan aku juga ya Mas." Dia memelukku, begitu erat. Tubuh kekarnya terasa begitu rapuh di pelukanku.
Malam ini kami melihat bintang dari halaman tengah. Di temani suara radio lawas milik Mbah Haryo. Suara lagu keroncong yang mengalun membuat Mas Dipta terpejam dalam sandaran bahuku.
Aku janji Mas, selamanya akan bersamamu dan anak-anak. Selamanya Mas.
✨✨✨
Semoga tidak bosan dengan cerita ku dan menunggunys yaa.
Adakah yang kangen? Hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Dan Pradipta
ChickLitHidup bersama senja yang tak kupikirkan sebelumnya. Ini tentang cerita ku bersama Calla Senja dan cinta lainnya. Dia hadir sebagai warna dan tawa di hidupku. Dia adalah sahabat hidupku. -Pradipta Bimantara Wijaya Penguasa udara, juga penguasa hatiku...