17. Langit Senja Arkha Wijaya

3.1K 462 40
                                    

Selepas sholat isya aku menelfon buk e. Yang aku bisa hanyalah mengirim pesan. Aku takut mas Dika tahu, ia bisa marah jika tahu buk e menelfon ku atau aku menelponnya. Tapi tadi, aku sudah janjian untuk menelpon buk e selepas isya di Papua.

"Assalamualaikum" sapa Buk e di seberang sana.

"Waalaikumsalam buk e. Gimana ibu sehat?"

"Alhamdulillah sehat, ada apa le?"

"Calla sudah melahirkan buk tadi sebelum magrib waktu Semarang. Alhamdulillah sehat, laki laki. Persalinannya normal " aku sudah tidak bisa menahan isakan saat menyampaikan kabar bahagia itu.

"Alhamdulillah. Alhamdulillah. Buk e turut senang. Semoga ia menjadi anak yang Sholeh dan berbakti pada orang tuanya. Menjadi penyejuk hati kedua orang tuanya. Bakti dan cintanya pada agama dan negara ini. Aamiin. Buk e pengen lihat." Aku mengusap air mata ku kasar.

"Aamiin buk. Buk e dimana?" Tanyaku memastikan.

"Di kamar. Mbak dan mas mu pergi kondangan. Aman." Aku kembali menangis. Aku ini seorang lelaki yang payah. Aku ini seorang tentara yang lemah. Aku tidak bisa melawan saat ada ancaman dari mas Dika. Aku terlalu lemah jika tentang urusan ini.

"Dipta coba telpon Bunda dulu. Calla sepertinya sedang istirahat. Dipta tutup ya buk e." Aku mematikan telfon. Berganti melakukan panggilan Vidio ke nomor Bunda.

"Halo assalamualaikum."

"Waalaikumsalam Bun. Calla tidur?" Tanyaku.

" Baru aja bangun. Langit baru nen ayah. Gimana?" Aku tersenyum. Suara Calla yang sudah terdengar ceria.

"Buk e pengen lihat Langit. Mau lihat langit." Wajah Calla bergitu berbinar.

"Ibu tambahin ya Yah. Sedari tadi, Calla selalu memanggilku ayah. Ada kehangatan yang kudapatkan saat nama itu di sebut.

"Langit haus ya Le. Nen yang banyak. Besok ayah pulang biar udah gede. Tambah pinter." Bibir mungilnya seakan menjawab iya. Matanya bulat, Langit persis seperti aku. Matanya, bibirnya. Hanya hidungnya saja yang mengikuti ibunya.

"MASYAALLAH" Suara buk e terdengar saat sambungan video terhubung.

"Cucu cintaku. MasyaAllah. Sayang Uti" aku melihat buk e berkaca-kaca.

"Assalamualaikum Uti. Langit disini, Langit nunggu Uti dan Kakung ya." Suara Calla terdengar seperti anak kecil. Aku tersenyum. Ingin sekali aku memeluknya. Mendekapnya.

"Yah. Tolong di sambungkan ke Kakung juga ya." Pinta buk e. Hatiku semakin menghangat saat buk e juga memanggilku ayah.

"Nggih Uti." Tak lama panggilan juga terhubung ke ayahku.

"Ya Allah. Ini siapa."

"Langit kung. Cucu kakung dan Uti" kini aku yang menjawab.

"MasyaAllah. Kapan lahiran nduk?" Tanya Kakung antusias. Aku juga bisa melihat air mata di ujung mata ayah.

"Sebelum Maghrib tadi Kung. Alhamdulillah normal dari ngeplek sampai dengan lahirannya cuman sebentar. Langit pintar MasyaAllah bantu ibu cari jalan lahirnya."

"Selamat ya Le, Nduk. Ayah senang bahagia. Keluarga kita tambah satu lagi. Langit, selamat menjadi orang tua nduk le. Semoga kelak menjadi orang tua yang berhasil mendidik anaknya dengan penuh kasih dan cinta. Jangan gagal seperti Kakung."

"Ayah orang tua terbaik buatku kok. Ayah Dan buk e adalah versi orang tua terbaik bagiku. Kalian tetap surgaku. Bagaimanapun ayah dan buk e adalah orang tua terbaik buat aku." Aku tak bisa berhenti menangis.

"Namanya siapa?" Tanya buk e.

"Baru Langit Senja saja Ut. Belum ada rekomendasi yang lain."

"Kung, boleh tidak nama Wijaya di belakang nama Langit." Aku berbicara dengan begitu hati hati.

"Boleh. Harus itu, Kakung setuju. Langit Senja wijaya.".

"Terdengar ada yang kosong besan." Wajah ayah Aksa muncul

" Harus ada penyambungnya. Biar tidak terkesan garing namanya." Aku dan Calla berpandangan di Vidio.

"Langit Senja Arkha Wijaya" suara Bunda. Membuat kami bersorak. Bersamaan itu Langit menangis di gendongan Calla. Semuanya tertawa.

"Maaf ya Le. Ayah semangat banget sih." Ucapku.

"Buk e senang. Calla sehat Langit sehat. Sebisa mungkin Buk e segera ketemu kalian ya." Ucap buk e penuh harap.

"Kakung besok ke Semarang. Karena jam sembilan masih ada operasi ya Nang." Ya Allah hatiku menghangat lagi dan lagi.

Satu persatu sambungan terputus. Tinggal aku dan Calla saja. Ayah  Bunda dan Uti sedang keluar mencari makan. Amunisi untuk berjaga malam menemani Langit.

"Yah, tau nggak? Kalau ayah ada di sini Ibu pengen sekali peluk ayah yang erat." Aku terkekeh.

"Kenapa begitu?" Tanyaku penasaran.

"Nangis aja kalau mau nangis yah. Telinga ibu akan ada selalu untuk ayah. Andai pundak ibu pun bisa di kirim ke sana. Ibu akan mengirim pundak ibu untuk bersandar. Ayah akan menjadi ayah yang hebat buat Langit. Tidak usah takut, kita akan sama-sama menghadapi hidup ini Yah. Selamanya ibu akan ada untuk ayah. Begitupun ayah untuk ibu. Kita hanya bisa berdoa sama Allah. Karena Allah yang maha membolak-balikkan hati manusia."

"Ini keluarga kecil kita, ayah ibu dan Langit. Dan kelak ada adik adiknya Langit juga. Dan ibu yakin. Ayah akan menjadi nahkoda yang hebat. Yang akan membawa kita berlayar mengelilingi kebahagiaan dunia dan akhirat. AAMIIN."

"Makasih ya buk. Ibuk adalah ibuk yang hebat buat Langit dan istri yang hebat untuk ayah. Makasih ya sayang, sudah berjuang bertaruh nyawa untuk adik. Kamu hebat, Buk."

"Sudah tugas Ibu untuk berjuang. Ayah tidak pernah salah. Ini hanya salah paham yang berlanjut. Semoga Allah lekas membukakam hati Pakde Dika, jadi kita semua bisa berkumpul bersama lagi. Kesalahan di masa lalu nggak boleh kita sesali Yah. Andin meninggal bukan karena kamu mas."

Bukankah mas pernah bilang ke aku, Allah sudah mengatur hidup manusia ketika masih dalam kandungan. Dan aku yakin, Kamu bukanlah penyebab kematian itu. Pun sekarang sudah ada Mbak Shinta di hidup Mas Dika."

Luka lama itu kembali terbuka. Dari awal kelahiranku Mas Dika sudah tidak menyukaiku. Karena Mas Dika takut perhatian ayah dan buk e terbagi. Buk e dan ayah lebih sering hidup berjauhan karena ayah sering di kirim ke luar kota.

Menurut cerita kakung, dulu Mas Dika sering melukaiku. Mendorong memukul bahkan pernah aku di dorong ke sungai yang cukup dalam.

Menginjak dewasa kami kenal dengan perempuan bernama Andin. Dia tetangga kami, cinta segitiga pun tidak terhindarkan.  Andin cinta aku, mas Dika cinta Andin.

Kebencian pun semakin bertambah, hingga suatu hari dimana kami bertengkar dan Andin yang mengejarku saat itu tertabrak motor hingga meninggal. Aku sangat kehilangan, tapi Mas Dika menyalahkanku atas hal itu. Hingga saat ini, rasa benci itu makin terpupuk.

"Yah kok ngelamun." Suara Calla membuyarkan lamunanku.

"Kapan ya dek bisa akur sama Mas Dika. Kita bisa kumpul sama buk e sama ayah tanpa beban. Tanpa rasa ketakutan. Aku juga mau Langit merasakan kasih sayang Simbahnya." Dan malam itu aku menangis betsama Langit dan Calla. Maafkan aku Calla yang membawamu dalam kerumitan masa lalu. 

Langit, semoga Ayah akan menjadi orang tua yang baik. Ayah bisa mengajarkanmu tentang dunia ini. Semoga kelak ayah akan selalu mendekapmu dan memelukmu dalam teduh. Bismillah anakku, ayah mencintaimu.


✨✨✨

Kelamaan ya? Maaf ya untuk menunggu yang terkalu lama. Semoga next part lebih cepat ya. Happy Weekend Everyone 🙏

Senja Dan PradiptaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang