Step 16

701 142 5
                                    

Hyunjae menahan agar teriakan tak keluar dari mulutnya, tergantikan dengan rintihan-rintihan kecil yang nyaris tak tersuarakan. Ia harus menahan rasa sakit dari sambitan yang diberikan papanya karena beberapa menit yang lalu ia menolak mentah-mentah tugas pembunuhan Hyunae sampai membuat Leeteuk naik darah dan berakhir seperti ini.

CTAK!

Sambitan terakhir terdengar keras beriringan dengan deru napas Leeteuk, tangannya melempar alat sambit andalannya yaitu tali tambang yang sudah dipotong menyesuaikan keperluannya. "Sekali lagi kamu menolak, papa bunuh kamu."

Sepeninggal Leeteuk, Hyunjae terkapar di lantai yang dingin. Napasnya tersengal, air matanya membendung. Padahal masih banyak hal yang ingin ia utarakan kepada Leeteuk, namun orang itu terlanjut tersulut emosi hanya dengan pernyataan pertama yang keluar dari mulut Hyunjae, perkara ia tidak mau menjalankan tugas saat sudah setengah jalan.

"Hyunjae!" Mingyu berlari dari ujung ruangan hingga bertongkat lutut di sebelah tubuh Hyunjae, "Jae? Masih sadar kan? Ayo ke kamar abang," titahnya berusaha menopang tubuh Hyunjae barangkali adiknya tidak mampu berjalan. "Hyunjae, ayo!" pekiknya dikarenakan Hyunjae tidak mengeluarkan tenaga sedikit pun untuk berdiri atau bahkan meletakan tangannya di atas pundak Mingyu.

Menghela napas pasrah, Mingyu berakhir berlunjur di sebelah Hyunjae. "Papa mau bunuh gue..." Mingyu sontak menoleh dengan ekspresi kaget, "Apaan!?" balasnya. Hyunjae membalas tatapan Mingyu dengan mata sendunya, "Dia bilang, dia mau bunuh gue."

Dengan ekspresinya yang tak berubah, pandangan Mingyu perlahan turun entah ke mana. Bukannya tidak peduli, ia hanya terlalu kaget hingga tidak tau harus merespon seperti apa. Hyunjae mendengus, "Kalau gue dibunuh, berarti Jisung bisa nerusin perusahaan papa kan?" Mingyu yang nyaris mengangguk langsung menggelengkan kepalanya. "Papa gak mungkin ngebunuh lo. Lo itu anaknya, anak kandungnya."

Tersenyum miris, Hyunjae menimpali, "Tapi gak masalah kalau Jisung yang nerusin, dia pasti capek kan harus bersaing terus? Mau gimana pun juga, dia lebih muda dari gue." Mingyu menelaah sorot mata sang adik yang jauh berbeda dari biasanya. Di mana biasanya sorot mata itu penuh kebencian, tajam, menusuk, dan menyakitkan, kini berubah. Mencerminkan orang yang sangat tersakiti, lelah, dan penuh keluh kesah.

"Lo juga capek, kan?" tanya Mingyu. "Semua orang capek, lo juga capek, papa juga. Tapi penyebab capeknya yang beda-beda." Hening beberapa saat, hingga Hyunjae mendadak berdiri walau terkapah-kapah. "Tadi gue bantu gak mau, sini," ujar Mingyu menawarkan pundaknya sebagai tumpuan. "Bajunya dipake dulu," katanya.

Kini keduanya berakhir di kamar Mingyu dengan Hyunjae yang duduk membelangkangi Mingyu, sedangkan Mingyu mencoba mengobati luka sambitan di sekujur tubuh Hyunjae. "Kenapa lo baik sama gue?" tanya Hyunjae memecah keheningan, "Karena lo adik gue." Jawaban Mingyu berhasil membuat satu sudut bibir Hyunjae naik, "Tapi kita gak sedarah."

"Gue gak peduli kalau pun gak ada hubungan darah antara gue sama lo. Sahabat juga gak punya hubungan darah tapi bisa saling bantu, saling sayang malah."

"Tapi kita gak saling bantu, gak saling sayang. Cuman lo doang yang begitu."

"Itu karena dari awal bahkan sebelum lo tau gue bukan kakak kandung lo, lo udah nolak fakta kalau kita saudara." Terdiam sejenak, Hyunjae membalas, "Enggak. Gak dari awal gue begitu." Gerakan tangan Mingyu terhenti, ekspresi wajahnya menemani pikirannya yang sedang menyelami memori pada masa di mana untuk pertama kalinya Hyunjae mulai membencinya.

Itu adalah masa saat Hyunjae seorang diri dilatih habis-habisan seputar hal bela diri, bermain dengan segala jenis tembakan, pistol, dan alat-alat sejenisnya. Semua memori yang kembali terputar membuat Mingyu semakin sakit hati mengingat fakta bahwa dia lah kakaknya, tapi dia yang hidup dengan lebih nyaman dibanding adiknya.

[✔️] 180 Degrees || Lee HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang