Renjun mendengar alunan musik bergenre ballad dari ruangan di sebelah kamar utama, ketika ia baru saja selesai membuat susu malam itu. Ruangan berpintu kayu dengan hiasan cat yang dilukis abstrak menggunakan jari, tidak pernah terlihat terbuka selain malam ini. Dan Renjun sendiri, sama sekali belum pernah masuk kedalamnya meski sudah tinggal beberapa lamanya di sini.
"Chan?"
Haechan nya di sana. Berdiri membelakanginya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Menghadap jendela, dimana langit malam musim gugur sedang indah-indahnya karena terlukis dengan banyak taburan bintang.
"Njun? Kebangun lagi?" Haechan membalikkan badannya dengan gerakan lamban, menatap bayangan istrinya yang nampak mungil menggemaskan di balik baju oversize nya.
Renjun mengangguk samar. Kakinya masih setia berpijak pada lantai dingin di ambang pintu. Merasa sedikit ragu untuk melangkah lebih dalam karena takut mengganggu privasi suaminya itu.
Namun Haechan bersikap sebaliknya. Pemuda itu justru membuka kedua tangannya lebar seraya tersenyum. Senyum yang nampak menawan meski ruangan hanya dinaungi cahaya temaram.
Sepersekian detik, keduanya saling menatap dan melempar senyum. Seolah menyampaikan sebuah perasaan tersirat yang tidak bisa disampaikan oleh lisan. Hingga detik berikutnya, Renjun sudah tenggelam dalam pelukan hangat yang lebih muda.
"Aku nggak bisa tidur," ujar Haechan. "Jadinya ke sini deh, dengerin lagu."
"Kenapa?"
"Nggak tau."
Renjun terkekeh, menepuk-nepuk punggung Haechan hingga si empu memejamkan matanya dengan nyaman. "Aku baru pertama kali masuk ke ruangan ini, Chan." akunya.
"Beneran?"
"Hu'um! Sebenarnya dari dulu penasaran, tapi aku nggak berani masuk,"
Haechan melepaskan tangan Renjun dari pinggangnya, kemudian mengajaknya duduk di kursi yang berada tepat di samping jendela besar. Kursi kayu dengan dudukan yang empuk, mengantarkan mereka pada pemandangan indah dari landskap langit malam.
"Ruangan ini tadinya gudang, Njun.." ucap Haechan seraya menautkan jemari mereka.
"Serius?" mata Renjun bergerak menginvasi setiap sudut ruangan. "Tapi.. ini terlalu besar buat jadi gudang," komentarnya.
Haechan tertawa kecil, "seriusan, awalnya gudang. Tapi karena nggak pernah aku pakai, Hyunjin akhirnya inisiatif jadiin ini ruang musik karena waktu itu, kita nggak ada tempat buat latihan band." Haechan tersenyum lebar, lalu menunjuk sebuah gitar yang tergeletak di sudut ruangan. "Nah itu punya Hyunjin. Udah hampir dua tahun ada di situ, Njun. Yang punya udah lupa kayaknya. Pengen aku jual sebenernya, tapi nggak ada harganya,"
Renjun tertawa geli, kemudian memukul pelan bisep suaminya. "Sembarangan! Aku tahu itu gitar mahal,"
Haechan mengangguk-angguk gemas. "Tau darimana?"
"Kak Kun punya, persis kaya gitu. Warnanya juga," jawab Renjun dengan nada riang. Namun sedetik kemudian, nadanya berubah sendu. Ia merindukan kakak laki-lakinya itu. Sedang apa ya dia sekarang?
Mengerti dengan perubahan mood istrinya, Haechan kemudian berdehem dan berbalik untuk mengambil gitar yang sempat ia bilang tidak ada harganya itu. Padahal kalau ditaksir, gitar akustik buatan Jepang itu bisa menyamai harga cash satu unit motor matic.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Hubby | Hyuckren [✓]
FanfictionLee Haechan mencintai Renjun. Sesederhana itu alasannya hingga berani mengambil keputusan besar dalam hidup. Menikah di usia yang sangat dini, bertanggung jawab atas Renjun dan anaknya kelak. Memang berat, mengingat sang jabang bayi yang dikandung R...