Matahari kembali menaiki tahtanya tatkala sepasang mata yang dihiasi bulu lentik nan indah itu perlahan-lahan terbuka. Sinarnya yang terang menembus sampai sela-sela terkecil dari ventilasi, menggantikan presensi rona pucat dari purnama yang tadinya bersemayam dengan indah di cakrawala.
Kedua kelopak yang masih setengah merekat itu lantas berpendar ke seluruh ruangan, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang seolah hilang ditelan gulita malam. Mendudukkan dirinya sebentar, hingga tak lama menyadari bahwa ada entitas lain yang bersamanya di dalam kamar dengan luas lima belas meter persegi ini.
Renjun menggigit bibir bawahnya, merasa sesak hingga perasaan bersalah kembali hinggap dalam hati kecilnya kala melihat Haechan yang notabene sejak hari kemarin sudah menjadi suaminya itu, tidur meringkuk dengan posisi yang amat tidak nyaman diatas sofa. Bahkan tungkainya yang panjang pun harus tergantung ke bawah, karena ukuran sofa yang tidak terlalu besar.
Melirik sekilas jam yang bertengger di dinding kamar, Renjun akhirnya memilih untuk pergi ke dapur dan menyiapkan sarapan sebelum Haechan pergi ke sekolah tiga puluh menit lagi. Masih sempat pikirnya.
Ya, meskipun ia belum bisa memberikan seluruh hatinya pada Haechan sebagaimana yang pemuda itu lakukan, namun Renjun sadar untuk tidak mempermainkan pernikahan dan menjalankan perannya sebagai seorang istri dengan baik. Statusnya sudah berubah sekarang. Ia sudah menjadi milik Haechan, melalui janji yang mengikat mereka secara sadar. Lagipula, Haechan sudah sangat baik padanya sampai di titik ini. Tidak mungkin ia akan memanfaatkan kebaikan Haechan karena tahu bahwa si pemuda sangat mendamba dirinya.
"Eh, Tuan.. biar saya saja." Bi Ara yang baru saja keluar kamar mandi dan mendapati Renjun tengah berkutat dengan beberapa bahan makanan, menegur dengan takut-takut.
Renjun tersenyum membalas, "tidak apa-apa, Bibi. Njun kan sekarang istrinya."
Bi Ara lantas mengangguk kikuk, namun tidak segera beranjak meninggalkan Renjun di sana karena takut dimarahi. Jadilah ia akhirnya membantu Renjun sedikit. Tidak banyak yang ia bisa bantu karena ternyata istri dari anak majikannya itu sangat lihai dalam urusan dapur. Lihat saja bagaimana tangan dengan jari-jari yang lentik itu dengan cekatan memotong bahan-bahan. Bi Ara tercengang, kemudian melihat jari-jarinya sendiri. Kalah, ia merasa gagal menjadi perempuan setelah membandingkan indahnya jari Renjun dengan jarinya yang gemuk berisi.
Wangi rempah yang tidak terlalu kuat dengan cepat menguar ke penjuru dapur ketika Renjun mematikan kompor dan mengangkat sup ayam kaldu untuk dipindahkan ke dalam mangkuk. Kebiasaan keluarganya ketika sarapan, selalu menghidangkan sup dan makanan berkuah hangat lain di atas meja ternyata terbawa sampai ke tempat baru. Renjun jadi ragu Haechan akan menyukai masakannya ini.
"Saya ke atas dulu ya, Bi? Mau bangunin Haechan." pamit Renjun pada Bi Ara yang sedang memblender jus alpukat untuk Haechan.
"Baik, Tuan-"
"Panggil Injun aja, Bi. No tuan!" si manis mengerucutkan bibir, tak suka pada panggilan tuan yang terus disematkan bibi padanya.
"Ah baiklah.." Bi Ara tersenyum kikuk. "Injun mau jus juga? Biar sekalian saya buatkan," tawarnya.
Renjun mengulum bibir sebentar, sebelum akhirnya mengangguk dan melirik buah mangga di atas keranjang buah dekat kulkas. "Jus mangga ya, Bi?" pintanya.
Merasa urusannya dengan Bi Ara sudah selesai, Renjun segera naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar untuk membangunkan Haechan yang ternyata masih tertidur pulas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Hubby | Hyuckren [✓]
FanfictionLee Haechan mencintai Renjun. Sesederhana itu alasannya hingga berani mengambil keputusan besar dalam hidup. Menikah di usia yang sangat dini, bertanggung jawab atas Renjun dan anaknya kelak. Memang berat, mengingat sang jabang bayi yang dikandung R...