𝟶𝟸. trying

26.5K 3.7K 446
                                    

Notasi jarum jam menunjukkan angka tujuh lewat sekian ketika langkah kecil Renjun membawanya pada pintu balkon kamar. Menikmati sepoi angin pagi yang masih berhembus cukup dingin, dengan sinar mentari diimbuh gumulan awan yang menari-nari diatas pelak warna biru segar.

Minggu pagi yang cukup cerah, setidaknya Renjun bersyukur bahwa hujan deras yang mengguyur bumi sejak sore hingga malam tadi sudah mereda. Jujur saja, Renjun tidak terlalu menyukai hujan. Berisik, gaduh, dan basah. Belum lagi pada rencana-rencana yang seringkali batal karena datangnya hujan. Ia tidak suka.

Menyusul beberapa menit setelahnya, Haechan yang sedikit merasa terusik dengan tusukan tajam sinar oranye pada matanya itu terbangun. Melenguh panjang, sembari mengangkat dan menyatukan kedua tangannya lebar-lebar diatas kepala hingga bunyi peraduan tulang terdengar.

Kedua manik kecokelatan itu lantas menyipit tatkala melihat punggung sempit yang membelakanginya dengan acuh. Haechan tersenyum, kemudian menopang kedua pipinya dengan tangan. Mengamati apa-apa yang dilakukan oleh Renjun di depan sana. Dari mencabuti daun, mengajak bicara pot, melakukan peregangan kecil, sampai akhirnya si manis berbalik dan menunjukkan wajah terkejut atas presensi Haechan yang sudah membuka mata dan menaruh seluruh atensi pada dirinya.

"Ung, p-pagi Haechanie~"

Haechan terkekeh gemas. "Selamat pagi juga sayangnya Haechan.."

Darah Renjun berdesir, pipinya seketika merasakan panas setelah Haechan berucap seperti tadi. Bagaikan mantra yang terapal sempurna dari sebuah kalimat sederhana namun penuh makna, berhasil mengacaukan bilik-bilik labirin kusut dalam hatinya.

Mencoba abai atas apa yang sedang porak-poranda di dalam dada, Renjun lantas berdehem pelan. Memandang tepat pada pupil Haechan yang masih setia memancarkan aura teduhnya. "a-aku eh, mau mandi duluan?"

Haechan menggeleng segan, "kamu duluan aja." balasnya.

Renjun dengan cepat menganggukkan kepala, diiringi perasaan gugup. Entah kenapa, rasanya ia masih sangat canggung berada di situasi seperti ini bersama Haechan yang notabene sudah menjadi suami sahnya. Padahal sebelum menjadi suami istri pun, mereka sudah menjalin pertemanan yang cukup dekat lantaran Haechan yang merupakan teman Jeno.

Iya teman, tadinya. 

"K-kamu gimana?"

Haechan tersenyum geli. Tangannya mengepal, menahan gemas agar tidak lancang mencubit pipi berisi milik istrinya itu. "Aku mau ke dapur kalau gitu, siapin sarapan buat istri tercinta." jawabnya

Renjun mendengus. "Ish pinter banget mulutnya Echan!" rajuknya. Semburat merah kembali menjalar pada durja yang manis, membuat si empu menutup muka dan berlalu cepat menuju kamar mandi di dalam kamar.

Haechan sontak tergelak. Melantunkan tawa renyah, namun dengan mata yang tak lepas memandangi tubuh Renjun yang sudah menjauh darinya. Memperhatikan dengan seksama bagaimana Renjun melangkah dengan hati-hati, memegangi dua sisi perutnya seolah takut kalau tidak dipegangi maka baby bump nya akan jatuh.

Menarik napas panjang, Haechan kemudian beranjak dan menggantikan posisi Renjun di balkon tadi. Kepala berbalut rambut yang masih acak khas bangun tidur itu mendongak, menikmati suasana pagi yang senyap dengan hanya menyisakan kicau burung gereja tanpa suara bising manusia. Tangannya kemudian tanpa sadar bergerak mengusap pinggiran besi yang menjadi tumpuan tangan Renjun tadi. Tersenyum manis, seolah bisa merasakan tangan hangat istrinya di sana.

Hingga tanpa sadar juga, Haechan sudah berada di posisi seperti itu sampai Renjun selesai membersihkan diri. Melupakan niatnya lima belas menit yang lalu untuk turun ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk si manis.

Best Hubby | Hyuckren [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang