"Eoh Jeno? Sudah bangun?"
Winwin menyapa dengan senyuman kecil setelah tangannya berhasil membuka pelan pintu salah satu kamar, dan menemukan pemuda berasma Jeno yang terduduk dengan raut bingung di atas ranjang.
"Boleh saya masuk?" tanyanya kemudian.
Jeno yang kepalanya masih pusing dengan usaha mengumpulkan kembali serpihan ingatannya kemarin, mengangguk kaku. Pemuda itu menatap sedikit takut pada Winwin yang notabene adalah istri dari Yuta yang kemarin hampir merealisasikan keinginan untuk membunuh dirinya.
"Kamu pingsan sejak semalam, saat Lucas baru saja ingin mengantarkan kamu kembali ke rumah sakit." suara Winwin memberitahu, seolah bisa membaca isi pikiran Jeno.
"Maaf ya? Yuta.. memang selalu seperti itu," Winwin tersenyum simpul, seraya mengambil kotak obat di atas nakas yang semalam ia gunakan untuk mengobati luka Jeno. "Dia keras dan kerap kasar jika menyangkut kehidupan kami, keluarganya.."
Jeno langsung menggeleng begitu Winwin mengucapkan kata maaf dengan raut yang bersalah. "Tidak, Tante. Saya.. saya pantas mendapatkan ini. Malah, saya bersyukur karena Om Yuta masih memberikan kesempatan saya untuk hidup," ringisnya setengah hati.
"Ayah manapun pasti akan sama murkanya dengan beliau," lirihnya. "Maafkan saya"
"Lupakan. Mendekatlah Jeno, lukamu harus kembali diobati."
Jeno menurut tanpa sedikitpun bantahan, meski hatinya diganjal dengan perasaan bersalah dan tidak enak. Ia hanya diam saat Winwin mengoleskan salep dan memberikan kompres pada rahangnya yang sudah mencetak warna kebiruan sebagai refleksi adanya lebam. Sejenak berpikir, mengapa Winwin mau berbaik hati seperti ini padanya?
Selesai mengobati luka pemuda didepannya, Winwin tampak menghela napas panjang. Ranumnya ditarik membentuk kurva yang walau kaku namun, masih terlihat manis.
"Apa kamu pernah mengunjungi Renjun?" tanyanya dengan suara lemah. "Anak kalian— ah, maksud saya, anaknya. Anaknya tumbuh dengan sehat dalam kandungan. Apa kamu melihatnya sesekali?"
Jeno mengepalkan tangannya yang berada di bawah selimut, merasa sesak saat Winwin hanya menyebut anak dalam kandungan Renjun sebagai anaknya seorang dan bukan anak mereka. Ia menyesal, sungguh. Sebenarnya, seberapa jauh ia telah menyakiti Renjun?
Melihat respon sang pemuda yang hanya diam, Winwin akhirnya mengangguk paham. "Renjun akan melahirkan sebentar lagi." tuturnya.
Kelopak Jeno melebar sempurna mendengar pernyataan Winwin. Melahirkan? Apakah waktu memang berjalan secepat itu?
"Jeno.." panggil Winwin sambil mengangkat dagu Jeno dan memaksa anak itu agar menatapnya. "Saya memang marah. Marah sekali saat tahu anak saya yang berharga telah kamu rusak," ujarnya penuh penekanan.
"Tapi saya bersyukur," lanjutnya tenang.
Kepala Jeno terangkat, tak mengerti pada kalimat bersyukur yang diutarakan oleh Winwin.
"Kamu tahu kenapa?" Jeno menggeleng kikuk sebagai jawaban.
Winwin tersenyum samar. "Karena saya jadi tahu kalau bukan kamu orang yang pantas buatnya," ucapnya telak. Menghantam Jeno bahwa realita memang telah menghancurkan segala ekspetasi yang telah ia bangun.
Pemuda itu kemudian menghempas selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, untuk kemudian duduk bersimpuh dan menundukkan kepalanya dalam pada Winwin. "Maafkan saya, Tante. Saya benar-benar menyesal. Maaf.." lirihnya.
Winwin menepuk lembut punggung Jeno dan tersenyum manis. "Saya sudah memaafkan kamu sejak Haechan datang dan menawarkan sebuah pertanggungjawaban,"
"Dia benar-benar membuat saya yakin, kalau di dunia ini masih ada orang yang mencintai tanpa meminta balas." Winwin tersenyum lagi. Ia benar-benar merasa lega karena anaknya kini telah bersama dengan orang yang tepat, yang mencintai dan menjadikannya ratu sejagad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Hubby | Hyuckren [✓]
FanfictionLee Haechan mencintai Renjun. Sesederhana itu alasannya hingga berani mengambil keputusan besar dalam hidup. Menikah di usia yang sangat dini, bertanggung jawab atas Renjun dan anaknya kelak. Memang berat, mengingat sang jabang bayi yang dikandung R...