BAB 2

36.1K 1.3K 43
                                    

'Kata orang : Sembilan tahun itu bisa kredit rumah, dan 2 unit mobil saat kamu punya pekerjaan yang menjamin hidupmu.'

Di Sebuah coffee shop duduk menyendiri di dekat jendela kaca yang memaparkan langsung orang-orang yang lewat di luar tempat tongkrongan anak muda ini. Renjana sudah berjanji untuk bertemu dengan Yoga—kekasihnya.

Setiap hari Sabtu-Minggu adalah hari di mana mereka akan bertemu untuk menghabiskan waktu. Tidak lama setelah dia membawa 30 halaman dari novel romantis yang sangat dia sukai—yaitu buku tentang pernikahan. Membayangkan kalau dia dan Yoga menikah dan kisahnya seromantis novel yang paling sering dibaca. Meskipun dengan konflik berat. Tapi Yoga harus tetap mengalah seperti para tokoh suami yang ada di novel itu.

Pria itu duduk dengan menyerahkan bunga mawar dan coklat. "Selamat hari valentine, sayang." Perasaan Renjana begitu bahagia ketika diberi bunga dan coklat. Yoga orang yang romantis, pria ini sangat dicintainya juga—dan sudah dipacarinya selama sembilan tahun.

Sembilan tahun adalah di mana bisa kredit rumah.

Sembilan tahun cukup waktu untuk kredit dua unit mobil.

Sembilan tahun adalah waktu yang tidak sebentar.

Ya, wajar saja mama dan papanya mendesaknya untuk menikah karena sebentar lagi dia akan berusia 28 tahun. Lalu dua tahun lagi adalah bencana baginya. Sedangkan Yoga apa? Pria ini sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Tapi tidak terlalu terlihat menua, sedangkan Renjana sudah pasti akan diragukan untuk menghasilkan anak. "Mau jalan sekarang?" tawar Yoga ketika pria itu terlihat sudah berpakaian rapi. "Mau ke rumah aku? Masak mungkin seperti biasanya, biar kita ke supermarket beli bahannya."

Andai ini adalah ajakan suami. Betapa bahagianya hati Renjana menerima ajakan ini dari suaminya sendiri. Pergi ke supermarket membeli barang yang dibutuhkan untuk memasak, lalu memasak untuk suaminya—indah bukan? Tapi sayangnya itu jauh dari kata indah bagi Renjana.

Mereka sudah sama-sama menghabiskan banyak waktu bersama.

Delapan tahun menunggu? Bayangkan saja dia akan menjadi perawan tua nanti ketika menikah dengan Yoga. Bahkan Yoga bisa mendapatkan yang lebih muda lagi darinya. Yoga masih awet muda, hidupnya juga sangat sehat.

Yoga melambaikan tangannya di depan wajah Renjana.

"Kenapa bengong?"

Buru-buru dia langsung mengalihkan fokusnya yang memikirkan tentang perjodohan dia dengan orang lain nantinya, orang tuanya akan menyiapkan jodoh untuknya. Yang seperti apa? Lebih baik Renjana fokus pada hidupnya sekarang. Perihal perjodohan itu, belum tentu juga dia cocok dengan calonnya nanti.

Renjana berdiri dari tempat duduknya lalu membawa bunga dan coklat yang diberikan oleh Yoga. Sementara pria itu sedang membayar pancake dan minumannya, dia menunggu pria itu.

Keluar dari tempat itu mereka berdua bergandengan tangan, Yoga membukakan pintu mobil untuknya. "Uang kamu masih, kan? Jangan boros-boros, ya! Aku lagi nabung juga soalnya."

Renjana mengangguk lalu menaruh bunga itu kemudian memasang sabuk pengaman. Ingin mengatakan apa yang diusulkan oleh temannya. Seperti yang diketahui bahwa dia harus tegas terhadap Yoga.

"Jana, kamu mikirin apa sih? Aku tanya kamu mau masak apa kok bengong?"

Sama sekali fokusnya tidak bisa dikendalikan. Pikirannya hanya tentang perjodohan—menikah dengan orang lain—berpisah dengan Yoga yang sudah dia temani sejak awal. Mengingat perjuangannya dengan pria disampingnya sangat panjang. Menemani Yoga untuk melengkapi berkas-berkas ketika daftar untuk menjadi pegawai dan serangkaian tes itu sangat setia ditemani.

Yoga dulu bekerja di perusahaan sepupunya. Tapi ketika ada peluang, dia memanfaatkan peluang untuk mendaftar, dan sekarang menjadi pria yang sudah cukup mapan—dari segi usia dan finansial.

"Jana, kenapa sayang?"

Sangat manis, panggilan Yoga seperti tidak terjadi apa-apa. "Aku tanya ke kamu. Kamu mikirin apa?"

"Nggak ada."

Renjana tidak pernah berpikiran tentang selingkuh, apalagi melirik pria lain. Walaupun banyak dari teman-teman kakaknya yang pernah mengirim salam untuk meminta dijodohkan dengan Renjana. Tapi prioritas utama adalah Yoga.

Usai membeli semua bahan masakan yang dibutuhkan, Yoga ikut membantu mengupas kentang untuk dimasak Renjana nanti. Ya, dia sering berkunjung ke rumah Yoga. Karena tidak ada siapa-siapa di sana selain pria ini sendirian. Yoga tidak pernah berbuat aneh-aneh padanya sampai saat ini.

Tujuan mereka adalah menikah. Begitu kata Yoga setiap kali mereka pergi berdua.

"Kamu bikin steak, ya!" Yoga mengupas kentang dengan cekatan. Dia tidak pernah protes tentang masakan Renjana.

"Aku bikin potato wedges juga jadi cemilan kita gimana?" Usul Renjana ketika melihat banyak sekali kentang yang dibeli oleh Yoga tadi.

Yoga mengiyakan dengan cepat. "Mama nggak nanya aneh-aneh, kan?"

Clek.

Renjana berhenti memotong kentang yang sudah dicuci bersih oleh Yoga barusan. Kemudian kegiatannya terhenti begitu saja. "Seperti biasa. Mama tanyain kapan kita nikah."

Sebenarnya Renjana tidak enak hati mengatakan ini pada Yoga. Tapi apa yang harus dia katakan lagi kalau mama dan papanya mendesaknya untuk menikah. Jika Yoga tidak mau, maka opsi kedua adalah dijodohkan. Dan akan segera menikah, umur selalu menjadi patokan orang tua untuk menjodohkan dia.

Yoga yang baru saja membersihkan kentang untuk dibuat cemilan mereka nanti. "Aku kan sudah pernah bilang. Kamu jelasin ke mereka."

"Aku udah ngomong. Tapi orang tua aku selalu bilang kalau usia aku sudah dua puluh tujuh. Ingat itu, Yoga!" Renjana mengatakannya dengan sedikit rasa kesal.

Ya sudah pasti dia kesal karena pacaran sudah lama. Banyak masalah yang mereka lewati, sudah pasti mereka saling memahami satu sama lain.

"Tapi kamu tahu sendiri. Rumah aku..."

"Soal rumah bisa kita selesaikan berdua, Yoga. Aku juga bakalan bantuin kamu. Aku bakalan kerja, gaji kamu kita pakai hidup berdua dan sambil cicil rumah. Yang penting kita nikah aja dulu."

"Kok kamu jadi kebelet gitu?"

"Aku nggak kebelet, tapi ingat umur aku."

"Aku tiga puluh tahun lebih masih santai."

"Itu kamu. Apa orang akan permasalahkan kamu yang usia empat puluh tahun pun nggak akan masalah. Aku ... aku sudah sebentar lagi tiga puluh tahun. Kamu tahu, kan, di luar sana banyak sekali teman-teman aku udah nikah. Mereka sudah punya dua anak semua. Aku? Aku masih jalani hubungan yang terbang ke udara tanpa tujuan, aku nggak tahu aku hidup seperti ini cuman untuk turuti kamu. Nungguin kamu sampai kapan?"

Yoga meletakkan pisaunya, pria itu memegang tangannya Renjana. "Aku tahu. Bahkan aku tahu kamu pengen nikah. Tapi tolong, kamu harus ngerti gimana keadaan aku. Aku nggak bisa buat keputusan sepihak."

"Keputusan sepihak gimana? Aku sudah sembilan tahun nemenin kamu. Aku juga kerja. Aku nggak nganggur, kita bisa cari bareng."

"Banyak hal yang aku pikirkan, Renjana. Rumah, biaya nikah, nafkah, belum lagi kalau kamu hamil, melahirkan." Yoga menjelaskan secara rinci alasan itu. Semua orang juga tahu tentang hal itu. Tapi Renjana juga lelah.

Lagi... untuk kesekian kalinya dia harus luluh pada Yoga.

"Kamu bisa kan pikirkan ini baik-baik?"

Yoga mengangguk. "Iya aku bisa. Tapi tolong kamu ngerti juga!"



Ingat jangan lupa follow dan juga vote, komentar juga ya. Manatau suka. 

HEARTACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang