BAB 19

13.5K 970 45
                                    

Selamat malam, up lagi nih. Semoga nanti pas ramadhan bisa update setiap malam, ya. Yuk di tambahkan dulu ke perpustakaan kalian. Jangan lupa follow author ketje juga, wkwkwk. 

Renjana minum susu sambil menemani suaminya di dapur, menemani Hanif yang sedang membuat secangkir kopi. Begitu Hanif berbalik menatapnya yang masih menyedot susu hamilnya, tatapan tidak suka dari suaminya terlihat begitu jelas. "Jana."

Renjana melepaskan pipet itu menatap suaminya kemudian menjawab. "Iya, Hanif?"

"Adab orang minum kamu tahu, kan? Masa iya minumnya berdiri? Lagi hamil pula. Nggak boleh. Meski nggak hamil tetap aja adab orang makan dan minum itu duduk."

Bisa apa Renjana kalau sudah ditegur suaminya. Dia menarik kursi di tempat makan dan melanjutkan minumnya. Hanif menggeleng mendekati dispenser yang nyala oranye sudah padam yang artinya air sudah matang. "Kenapa sekarang bikin kopi? Biasanya kan nggak suka? Malah sering minta dibuatin juga"

"Hmmm, semenjak bertamu ke rumah kamu. Mau nggak minum nggak enak, alhasil terpaksa."

"Bukannya dada kamu sering sakit kalau minum kopi?"

"Hmm itu dulu sih. Tapi aku ngopi kan jarang. Seminggu pun kalau, ini lagi coba lagi. Biar bisa melek lagi."

"Kalau nggak bisa minum, lebih baik nggak usah. Nanti suami aku kenapa-kenapa lho."

Hanif mengaduk kopinya saat dia sudah duduk di dekatnya Renjana. "Nggak bakalan terjadi apa-apa, doain aja. Dan ingat kamu nggak boleh makan sambil berdiri lagi."

"Udah biasa soalnya."

"Aku tanya ke Mama sama Papa lho nanti, apa iya orangtua kamu ngajarinnya gitu."

Renjana salah tingkah ditegur suaminya. Dia sering makan berdiri juga karena sering pesta bersama teman-temannya dulu dan makan minum pun tidak ada kursi, mereka akan makan sambil berdiri juga. "Ya maaf, Hanif. Aku juga nggak sengaja kok. Lagian kan baru sekali."

"Aku sering lihat kamu makan sambil berdiri, tapi aku berusaha nggak negur kamu karena aku tahu kamu bakalan ngerasa baik-baik aja kalau nggak ditegur, maksud aku kamu bisa paham gitu."

Sayangnya tidak sama sekali, Renjana bahkan lupa kapan dia ditegur seperti ini ketika sedang makan. Seingatnya yang terakhir kali menegur itu adalah Cindy, waktu di acara keluarga syukuran atas kelahiran Tama. "Hehehe, aku minta maaf."

Tahu bahwa reaksi Hanif tidak akan terlalu berlebihan apalagi marah-marah. Renjana juga sedikit hafal kalau tingkah suaminya yang jarang sekali marah jika tidak terlalu parah kesalahan yang diperbuat oleh Renjana. Ekor mata suaminya terlihat ketika Renjana mencari celah untuk bicara dengan Hanif. Tahu kalau dirinya juga salah, Renjana berusaha sebisa mungkin mengendalikan diri.

"Jangan tersinggung aku tegur tadi. Biar kamu nggak kebiasaan."

Renjana mengangguk dan menyodorkan makanan untuk Hanif. "Nggak, Jana. Biar kamu aja yang makan." Sepiring buah-buahan yang sudah dipotong dimakan oleh Renjana dan menawarkan pada sang suami. Tapi Hanif menolaknya.

"Kamu nggak mau?"

"Biar untuk anak aku."

Renjana malah tersenyum mendengar ucapan Hanif mengenai anak mereka berdua. "Hanif, kamu sekarang kan agak sering nyentuh kopi, ya. Semoga kamu nggak nyentuh rokok deh. Aku khawatir."

"Aku ngerokok kok dulu."

"Aiiih, kapan?"

"Dulu, ngerokok sampai bengek. Aku masuk rumah sakit. Kebayang satu bungkus dibakarin Papa waktu aku ketahuan."

HEARTACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang