BAB 7

27.1K 1.5K 65
                                    

Wanita itu harus menurut dan ikut ke mana pun suaminya pergi.

Sebenarnya sulit sekali bagi Renjana untuk meninggalkan rumah orangtuanya. Rumah tempat dia dibesarkan dengan Teguh dulu.
Sekarang sudah dia tinggalkan karena harus ikut suaminya pulang.
Hanif mematikan mesin mobil lalu mengajaknya keluar dari mobil saat mereka sudah sampai.

Dia keluar dari mobil lalu baru melihat rumah dengan desain minimalis dua lantai. Lengkap dengan garasinya yang ada di samping kiri.
Ada satu mobil lagi yang di sana. Ada sepeda dan juga motor yang terparkir di sana.

Barang-barangnya dibawa masuk oleh Hanif. .
Meninggalkan rumah orangtua untuk bisa ikut dengan suaminya tentu bukan hal yang mudah bukan? Renjana sudah pasti tahu pasti hal itu. Dia tidak tahu lagi bagaimana nanti kedepannya bersama dengan Hanif. Tapi ia mulai menaruh kepercayaan pada suaminya bahwa semua akan baik-baik saja seperti yang dijanjikan oleh Hanif untuknya.

Mereka berdua masuk dan Renjana mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru yang bisa dijangkau oleh matanya. "Di sini ada lima kamar tidur. Masing-masing kamar ada kamar mandi, dan di dekat dapur itu adalah kamar mandi tamu. Mbok Yun juga tinggal di sini sama kita. Mungkin beliau lagi belanja. Jadi rumah agak sepi."

"Mbok Yun itu siapa?"

"Asisten di sini. Beliau bakalan bantuin kamu urus apa pun pekerjaan rumah." Jelas suaminya.
Lalu dia diajak ke tempat lain oleh Hanif. Pria itu membuka salah satu ruangan yang di mana ruangan tersebut terlihat seperti kamarnya Hanif. "Ini kamar aku, sekarang bakalan jadi kamar kita. Ya gimanapun juga kita bakalan tidur berdua. Aku memang sepakat kalau kita pacaran dulu, kan. Tapi tetap aja kita bakalan tidur sekamar. Cepat atau lambat aku yakin kita bisa lebih dekat lagi."

Renjana mengangguk lalu Hanif menaruh barangnya tepat di depan lemari. "Aku nggak bakalan bongkar barang kamu. Biar kamu keluarin sendiri." Suaminya sangat menjaga privasinya. Mana mungkin juga Renjana membiarkan Hanif yang mengeluarkan bajunya lalu ditata ke dalam lemari. Di sana ada pakaian dalam dan juga celana dalam, Renjana masih belum siap jika suaminya melihat barang itu.

Renjana masih belum tahu apa pekerjaan Hanif sebenarnya. Dia juga belum bertanya pada suaminya mengenai pekerjaan dari pria itu.

"Di samping kamar ini ada tempat kerja aku. Jadi kalau aku lembur bisa kerja di samping ini. Aku harap kamu ngerti kalau semisal aku lembur dan nggak bisa nemenin kamu."

Ya Renjana mungkin akan pelan-pelan mengerti dengan kesibukan suaminya. Orangtuanya Hanif yang dia tahu dari kalangan orang cukup berada, dalam arti dari segi finansial. Dia juga baru tahu kemarin dari orangtuanya. Maka dari itu mamanya selalu berpesan bahwa Renjana harus tetap menjaga sikap.

"Kita jalani aja dulu, Renjana. Aku bisa tahu kamu nggak nyaman sama ini semua, kan?"

"Aku nggak pernah berpikiran seperti itu."

Dengan singkat Renjana langsung menjawab demikian karena tidak ingin menyinggung suaminya. Dia sudah bertekad bahwa akan berjuang bersama dengan Hanif sekarang.

"Jangan berpikiran bahwa pernikahan kita ditanggung sama orangtua aku. Semuanya aku yang bayar, aku kerja selama ini. Makanya aku kan nggak ada waktu nyari jodoh. Aku baru deket, malah tiba-tiba ditinggal sama yang lain. Itu udah sering banget soalnya."

Renjana mengangguk pelan. Dia masih melihat di kamar suaminya ini sangat rapi. Tidak ada terlalu banyak barang. Hanya ada tempat tidur, lemari, sofa tunggal yang ada di depan televisi dan juga ada meja yang sepertinya tempat kerja Hanif juga.

"Aku boleh tanya sesuatu?"

Hanif tersenyum lalu membuka gorden kamarnya hingga membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamar. "Kamu kerja di mana?"

Pria itu berbalik lagi tersenyum dan mengajak Renjana duduk di pinggiran tempat tidur. "Aku arsitek."

Sangat pelan kepala Renjana mengangguk walaupun sebenarnya dia terkejut sekali mendengar jawaban mengenai pekerjaan suaminya. "Aneh nggak? Soalnya semua saudaraku PNS dan aku sendirian yang nggak. Dari kakek, nenek dan semuanya rata-rata jadi pegawai. Aku? Malah di jalur berbeda sama mereka. Nanti kita kenalan sama keluarga aku, aku punya enam saudara cowok, nanti kamu bakalan lihat waktu kita resepsi. Mereka nggak bisa datang waktu lamaran dan pernikahan kita. Karena mereka mau cuti waktu kita resepsi aja."

Renjana akan melihat keluarga besar Hanif nantinya dan akan kenalan dengan mereka semua. "Kamu tenang aja, ya. Semua baik kok. Sebanarnya alasan aku lama nikah bukan karena nggak mau nyari, Renjana. Tapi karena aku punya adik, kan. Aku lulus kuliah, terus ngikut orang. Aku kerja, mulai dari situ aku bantu ekonomi keluarga. Terus ini juga rumah aku cicil lho. Tiap ada duit lebih aku setor berapa kali gitu, makanya cepat lunas."

Pemikiran Hanif jelas sekali jauh berbeda dari kebanyakan orang yang dia kenal. "Aku tahu kamu kerja selama ini di kakak kamu. Tapi mulai hari ini, kamu berhenti kerja. Biar urusan cari nafkah itu adalah tugas aku."

"Hanif, kalau soal itu bisa kita bicarakan nggak? Aku tetap pengen kerja."

Hanif menggeleng pelan, "Aku nggak bisa biarin kamu kerja. Nggak ada satupun wanita di dalam keluarga aku yang kerja. Kamu tetap di rumah!"

Padahal besar harapan Renjana untuk bisa kerja lagi.

Hanif beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil sesuatu dari dalam lemari. Pria itu kemudian membawanya pada Renjana. "Ini buku tabungan kita. Buat masa depan, kamu yang bawa. Setiap bulan aku usahakan kasih ke kamu. Nafkah kamu dan tabungan kita aku bedain. Dan aku dengar kamu punya tabungan, aku harap kamu jangan pernah sentuh uang itu untuk keperluan kita. Karena itu adalah tanggungjawab aku."

Begini ya rasanya jadi istri? Ketika gaji suami dia pegang dan juga diminta membawa buku tabungan mereka.

"Di situ ada uang baru enam puluh juta. Itu sisa dari biaya pesta dan juga acara kita kemarin. Kamu pegang aja! Aku punya dua mobil, satunya bisa kamu pakai untuk ke rumah orangtua kamu. Tapi setiap kali kamu keluar, meski aku sibuk nanti.  Usahakan kamu izin baik-baik. Kalau aku bilang nggak, usahakan turuti. Sekarang aku suami kamu. Kita berumah tangga itu untuk saling kerjasama."

Renjana tidak bisa berkata apa-apa lagi sekarang karena suaminya punya pemikiran yang sangat luar biasa.
"Aku sudah pernah bilang juga sama kamu, aku nggak bakalan maksa kamu untuk urus pekerjaan rumah. Kamu di rumah cukup urus aku aja. Nggak usah pedulikan apa kata orang, kamu nggak bisa masak juga aku nggak bakalan masalah."

Paham dengan pembicaraan suaminya ini yang mengarah pada mencari istri adalah tentang mencari pendamping hidup. Bukan untuk disuruh-suruh untuk pekerjaan rumah.

"Aku sering pulang larut, karena klien kadang ngasih deadline nggak kira-kira. Jadi aku harap kamu juga maklum itu, ya!"

"Terus mengenai pesta pernikahan kita, apa perlu kita patungan? Aku kan punya tabungan. Biar kamu nggak berat banget ngeluarin duitnya."

Hanif tersenyum dan terlihat tenang.
"Yang lamar kamu siapa?"

"Kamu."

"Dan kenapa juga kamu harus keluar duit buat pernikahan kita. Aku kan sudah punya tabungan juga waktu kita belum nikah. Kalau duit aku kurang, pasti orangtua aku sudah lebih dulu gerak cepat buat nambahin. Papa aku juga gajinya lumayan, Mama juga. Papa tahun ini pensiun, jadi aku nggak bisa tunda pernikahan lebih lama lagi."

"Jujur aku nggak ada pengalaman apa-apa, aku harap kamu bimbing aku."

Hanif mengangguk pelan. "Aku juga berharap kamu bisa dibimbing, Renjana. Aku memang belum sayang sama kamu, aku nggak mau tutup ini. Tapi ingat aja sekarang kalau kita sudah menikah. Nanti juga bakalan terbiasa, aku nggak suka kopi. Aku nggak rokok, aku nggak suka cewek yang nggak bisa bangun subuh."

Telak, itu adalah PR Renjana paling utama yaitu mengenai bangun  subuh. Kadang dia kalau sedang datang bulan bisa bangun jam sepuluh pagi.

"Tapi pengecualian kalau kamu lagi datang bulan." Sambung Hanif.

"Sembilan tahun kamu sama Yoga aku maklumi. Aku berharap kamu bisa lupain perasaan kamu itu. Kita udah bersama, nggak mudah lupain orang. Tapi aku harap kamu bisa pikirkan baik-baik. Jangan pernah respon dia kalau dia hubungi kamu lagi. Aku nggak mau perasaan kamu tiba-tiba berubah nanti ketika kita sudah jalani rumah tangga. Seperti janji kita, bahwa kita menikah satu kali dalam seumur hidup."

"Bantu aku jadi istri yang kamu mau, ya!"

"Jadi Renjana! Bukan jadi orang yang aku inginkan. Karena kamu akan selalu terluka kalau banyak nuntut."

Tampan, mapan, punya pekerjaan bagus. Pemikiran juga sangat jarang ada seperti ini. Kurang apalagi Hanif?
Sembilan tahunnya sia-sia, Tuhan mengirimkan dia jodoh yang tidak pernah dia duga sebelumnya. "Terima kasih sudah menerima lamaran aku tanpa ada penolakan sama sekali. Meskipun awalnya kamu terpaksa, aku harap kamu bakalan bisa bertahan sama aku."

"Maaf kalau kita balan punya perjalanan panjang dalam percintaan nanti. Semoga kita sama-sama betah, ya!"

"Ya, Renjana, istriku."

Renjana menunduk malu karena dipanggil seperti itu oleh Hanif.

Kuyakin kalian punya idola baru 🤣 yaitu Hanif 😂 siap-siap dengan kisah romantis.

HEARTACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang