BAB 9

25K 1.3K 14
                                    

Yang belum follow, yuk follow dulu. Tambah ke perpustakaan kalian juga.

"Renjana, kamu beneran nikah?"
Temannya histeris begitu Renjana membawa kartu undangan resepsi untuk teman-temannya.

Mereka berkumpul di salah satu tempat tongkrongan anak muda. teman-temannya yang masing-masing sudah punya anak. Kadang dia sudah malas ikut reuni kalau temannya membawa suami. Sekarang Renjana tidak akan malu lagi ke reunian, dia akan membawa suami tampannya—Hanif.

"Sumpah nggak nyangka kamu akhirnya nikah, Jana."

"Sebentar, kenapa ada nama Hanif? Siapa dia? Kenapa nggak sama, Yoga?"

Renjana tertawa ketika salah satu temannya membuka kartu undangan yang ternyata di sana ada namanya dan juga ada nama Hanif yang jelas mereka adalah suami istri. "Aku tinggalin, Yoga. Aku pilih dijodohkan sama orangtua aku dibandingkan harapin, Yoga. Di sini Hanif itu udah sah jadi suami aku. Kami sudah menikah, dia yang serius, dia harus aku perjuangkan, bukan?"

Novi—teman sekelas Renjana dulu ketika masih sekolah. Dan wanita ini juga tahu perjalanan cinta Renjana dengan Hanif. "Tapi, Jana. Apa nggak sayang gitu udah lama banget sama dia, lho."

"Aku udah putuskan, aku juga sudah tanya ke Yoga. Apa dia mau serius. Tapi nggak ada jawaban. Dia nyuruh aku nunggu delapan tahun lagi. Yakali anak kalian udah SMP, aku masih nunggu dia gitu?" canda Renjana yang tidak ingin nanti teman-temannya membela Yoga.

"Ah benar juga. Sialan memang kalau digantung gitu. Apaan coba nunggu lebih lama lagi. Yang ada dapat gelar baru, Jana. Perawan tua, atau perawan lapuk. Ya ampun, kalau Yoga kan bisa dapat yang lain. Nah kamu, udah nunggu lama, nggak jodoh. Kasihan itu umur udah makin nambah kan." Maey ikut menambahkan.

Wanita mana yang mau menunggu lebih lama lagi? Renjana juga tidak akan tahan kalau diminta menunggu lebih lama lagi. Dia mana sanggup menunggu delapan tahun lagi. "Aku bersyukur suami aku baik, aku pernah ngebayangin kalau dia itu gendut, perutnya buncit, terus kumisan, atau nggak dia culun gitu.
Dia datang ngelamar sama keluarganya, eh kakaknya yang aku anggap caon suami aku. Taunya ditunjukin dia."

"Nggak sia-sia, Jana. Memang ya jodohnya orang baik ya pasti baik juga."

"Hey, Yoga juga baik."

"Ingat suami, Jana! Nggak usah bela dia. Penasaran nih sama suami kamu. Kami semua pasti datang."

Renjana mengaduk minumannya lalu melihat anaknya Novi yang terlihat sangat lucu. "Nov, boleh gendong?"

"Boleh dong, siapa tahu cepet nular, Jan." Novi mengangkat anaknya.
"Utuuu-utuu anak Mama digendong ama Onty tantek, biar cepet nular punya dedek."

Renjana tidak akan menghindar lagi sekarang, dia mengambil anak Novi yang sangat cantik. Berharap nanti dia dan Hanif juga punya—tentang Hanif? Mereka bahkan belum melakukannya. Hanif masih biasa saja dan mengatakan mereka ingin pacaran dulu. Jadi Renjana juga tidak akan masalah dengan janji mereka berdua yang akan pacaran terlebih dahulu.

"Umur Hanif berapa, Jana?"

"Tiga puluh sih katanya. Aku nggak tahu lebih tepatnya."

"Hmm, aku saranin nggak usah tunda punya dedek, Jan. Kamu langsung punya anak aja. Ingat umur, ya!"
Kalau soal itu, rasanya Renjana juga tidak akan menundanya. Dia juga sangat berharap punya anak dengan segera. Namun, mana mungkin mereka punya dengan cepat kalau mereka masih canggung satu sama lain.

"Hehehe, kalau itu sih masih belum."

"Bentar, jangan bilang kamu masih perawan?"

Renjana tertawa karena temannya.
"Masih. Kan prosesnya emang nggak pacaran, aku dilamar, langsung nikah. Ya butuh waktu buat saling kenal.
Lagian Hanif nggak maksa, dia masih maklumi. Dan bilang pacaran dulu."

"Sumpah aku makin penasaran sama suami kamu,  Jana."

"Lebih ganteng dari, Yoga."

Ketiga temannya tercengang.

"Sumpah?"

Renjana mengangguk memastikan bahwa memang sebenarnya Hanif sangat tampan. Suaminya, teman hidupnya selamanya.

Renjana bermain dengan anaknya Novi yang sesekali menciumnya. Dia memang suka dengan anak kecil, sudah terbiasa menjaga bayi sejak Cindy maupun Tama masih kecil.
Jam menunjukkan pukul setengah tiga sore. "Ya udah aku balik dulu, ya. Takutnya nanti Hanif pulang."

"Jangan keseringan keluar, Jana. Kamu belum ngerasain malam pertama lho. Ntar terjadi apa-apa." Sindir Novi yang dibalas dengan tawa oleh teman-temannya.

Begini rasanya kumpul dengan para ibu-ibu? Renjana tersenyum kemudian berpamitan pada teman-temannya.

Baru saja dia sampai di parkiran, dia sudah melihat mobil suaminya di sana. Renjana turun dari mobil kemudian Hanif juga keluar dari mobil. "Hanif, kita barengan ya pulangnya."

Renjana mendekat, Hanif memegang tangannya. "Udah kasih ke temen-temen kamu?"

"Udah dong. Katanya mereka mau datang."

"Syukurlah, yang penting kamu nggak usah undang mantan."

Renjana hampir mencit ketika mendengar ucapan Hanif barusan.
"Aku nggak mau dipermalukan, Renjana. Aku bukannya memutus tali silaturahmi. Cuman, ini kan pernikahan kita. Nah aku juga pengen dong kalau kita bahagia. Maksud aku, kan orang-orang udah tahu kamu sama Yoga udah lama. Kalau dia diundang, bagaimana nanti tamu yang ledek kamu? Maaf nih, ya. Aku nggak bermaksud buat sakiti perasaan kamu. Tapi aku nggak mau kamu ingat, Yoga!"

"Hanif, aku juga hargai perasaan kamu. Kita suami istri bukan? Aku paham kok maksud kamu. Jadi aku nggak bakalan nyakitin kamu juga. Aku paham kok bahwa pesta kita itu sangat berharga. Aku mungkin nggak ada rasa, kita sama-sama orang asing yang berdiri dipelaminan tanpa rasa. Tapi ada tujuan, kan? aku harap kita juga nggak bahas itu."

Hanif tersenyum ke arahnya. "Aku tadi belum cium, ya?"

"Belum."

Hanif menariknya kemudian mencium keningnya. "Kamu mandi sekarang?"

"Aku pengen masak buat kamu."
Mereka berdua berjalan menuju ke dalam rumah.

Renjana menyiapkan pakaian untuk suaminya. "Malam ini mau dimasakin apa?"

"Apa aja yang kamu bisa. Aku nggak bakalan nolak kok."

"Kalau nggak enak?"

"Belajar sama, Mama! Kalau nggak mau belajar, nggak masalah. Ada asisten."

"Aku pengen masak buat suami aku lagi. Aku kan udah masak kemarin, nah sekarang aku pengen masakin lagi."

"Aku nggak makan nasi, aku pengen mi ayam, tapi kamu yang buat. Apa kamu mau?"

Renjana tersenyum. "Siap Tuan."

Hanif membuka dasinya lalu menarik hidungnya Renjana. "Jana, selama ini kamu di mana? Aku udah nyari ke sana kemari. Kenapa baru ketemu sekarang wanita seperti kamu?"

'Kamu sendiri di mana, Hanif? Aku sembilan tahun jagain jodoh orang. Dan sekarang kita baru dipertemukan'
Renjana tidak bisa mengatakannya secara langsung. Dia ingin dicintai, lalu mencintai suaminya. Tidak ingin berjuang sendiri lagi seperti perasaannya pada Yoga.

Menikah dan pacaran adalah hal yang berbeda. Kalau pacaran bosan, boleh minta putus. Kalau kangen bisa balikan. Kalau menikah? Ada proses perceraian. Dan tidak mudah mengatakan untuk kembali.

HEARTACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang