BAB 12

27.6K 1.4K 28
                                    

Hanif rela tidak pergi ke rumah orangtuanya karena Renjana sudah berjanji akan memberikan haknya sebagai seorang suami. Namun, kenyataan itu tidak seperti apa yang harusnya terjadi.

Renjana tidur.

Renjana malah meninggalkan dia tidur ketika dia sedang menyelesaikan pekerjaannya sedikit karena harus dikirim malam itu juga. Dan semakin yang membuatnya kesal lagi, dia berusahan membangunkan Renjana. Tapi istrinya semakin terlelap.

Hanif marah, jelas dia marah karena dia membatalkan pergi ke rumah orangtuanya karena alasan itu. Renjana Bisa-bisanya Tidur sebelum jam sembilan malam kemarin.

Alasan yang sangat tidak masuk akal kalau Renjana tidur jam delapan. Dan sudah pasti istrinya pasti sedang membohonginya karena gugup sedari awal.

"Hanif, mau sarapan apa?"

Dia malah pergi begitu saja setelah mengambil tasnya dan masih marah pada Renjana. Nafsunya sudah diubun-ubun ingin menyentuh. Tapi Renjana tidur, dan paling menyakitkan lagi dia harus menahannya lagi.

Ini adalah hari sabtu, Hanif pergi ke kantor hanya untuk membawa beberapa berkas yang dibutuhkan oleh kontraktornya nanti. Dia marah sekali dengan istrinya.

"Lah, kamu marah?"

"Menurutmu?"

Hanif keluar begitu saja dari rumah dan membanting pintu mobilnya ketika dia baru saja masuk ke mobil. Kesal, dan sangat kesal yang dia rasakan ketika gagal lagi. Entah sampai kapan akan terus seperti ini. Padahal mereka sudah sering ciuman dan pelukan. Apa kurang bagi Renjana?

Di kantor ketika dia baru saja sampai dan membawa berkas-berkas yang harus diberikan pada Aji—asisten nya. "Pak, tadi Pak Danu datang. Mau ngambil gambar katanya."

Hanif menyerahkan benda yang dibawanya pada Aji. "Kamu kasih aja langsung ke dia nanti. Saya mau langsung pulang."

Kekesalannya pada istrinya tidak dia bawa ke kantor. Dia memang jarang masuk hari sabtu biasanya, tapi karena terlalu mendadak, jadi dia terpaksa mengantarkan berkas itu ke kantor dan memberikannya pada Aji yang akan diserahkan ke Danu.

Hanif mampir ke rumah orang tuanya karena ada barang yang harus diambilnya di sana. Yaitu laptop kesayangannya.

"Ma, Mama masak apa? Aku belum sarapan."

Ami menoleh ke arah putranya yang langsung masuk ke dapur. "Lho emangnya Mbok Yun nggak masak? Atau Renjana gitu?"

Tidak mungkin Hanif datang ke sini hanya untuk mengadu masalah dia dan Renjana, kan? Hanif sendiri tidak ingin kalau masalah pribadinya malah ditahu oleh mamanya. "Nggak, Ma. Tadi aku ke kantor sebentar. Aku anterin beberapa berkas yang diperlukan anak buah aku. Terus nggak sempat sarapan. Renjana masak kok. Dia tetap masak buat aku."

"Syukurlah sayang. Renjana udah isi?"

Yang ditakutkan oleh Renjana ketika berkunjung ke sini adalah pertanyaan mengenai kapan dia hamil. Jelas Hanif juga merasa horor dengan pertanyaan itu. Dia dan Renjana belum melakukannya. Bagaimana mungkin Renjana bisa isi secepat itu kalau melakukannya saja belum. "Berdoa aja, Ma. Tunggu, ya. Aku harap Mama jangan tanya begitu terus ke, Renjana. Aku khawatir dia malah jadi stres nanti."

Ami paham kalau menantunya juga tidak mungkin dia tanya seperti itu. "Mama mana mungkin sih nanya ke dia seperti itu. Mama masih mikirin kamu sama dia, Hanif. Mama tanya begini ke kamu aja kok. Mama juga tahu kalau nanti dia merasa nggak nyaman di sini."

Tapi Hanif sendiri merasa kalau istrinya memang diintimidasi di sini. Wajar kalau Renjana takut, karena ipar dan juga saudaranya selalu bertanya pribadi kepadanya mengenai Renjana yang sudah hamil atau belum. Meski tidak secara langsung pada Renjana, tapi Hanif juga merasakan hal yang sama seperti istrinya.

"Ya udah kamu sarapan di sini. Mama siapin sekarang nih?"

"Iya, Ma. Aku minta nasi goreng aja, ya. Biar cepet. Aku mau ambil laptop soalnya."

Hanif sampai sore hari di rumah mamanya, ia ingin meredakan masalahnya dengan Renjana. Gagal malam pertama, jelas Hanif marah. Karena biasanya Renjana alasan lelah. Tapi semalam malah ditinggal tidur. Apalagi yang menjadi alasan dia untuk menunda?

"Kamu pasti ada masalah sama, Renjana? Nggak biasanya tuh kamu di sini hampir seharian."

Hanif yang baru saja selesai berenang dan hanya menggunakan celana pendek ketika dia baru saja selesai berganti pakaian. "Nggak, Ma. Nggak ada masalah kok. Mama sendiri boleh tanya sama, Jana. Aku emang pengen aja di rumah. Renjana kan nggak mau diajak ke sini. Aku udah tawarin tadi. Katanya dia mau buat kue."

"Nah itu tuh kelebihan istri kamu. Mama sama mamanya Renjana kan dekat. Sering dibawain kue sama mamanya, terus katanya itu bikinan Renjana. Kalau dia rajin, jelas kan dia juga bisa urus kamu bukan? Mama juga senang kalau dia rajin bikin kue."

Hanif ingin berteriak, dia sedang berbohong untuk pertama kalinya pada mamanya. Renjana tidak membuat kue, dia juga tidak tahu kalau istrinya pintar membuat kue. Dia hanya mengarang agar orangtuanya tidak berpikiran aneh-aneh tentangnya dan Renjana.

Jam enam sore, Hanif pamitan pada orangtuanya untuk pulang.

Di rumah dia melihat istrinya menunggu di ruang tamu. "Kenapa nggak nunggu di kamar?"

"Kamu ke mana?"

"Aku kerja."

Renjana tersenyum ke arahnya namun seperti sedang ingin tertawa. "Kamu kerja?"

"Iya aku kerja."

Hanif merasa ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Renjana. "Alasan aku nggak pernah mau diajak ngelakuinnya sama kamu karena ini. Kita nggak punya kepastian dalam hubungan. Kamu memang nikahi aku, Hanif. Tapi aku ngerasa nggak ada aku di dalam hidup kamu. Aku pikir kamu yang selama ini aku tunggu. Aku ngeri sama diri aku sendiri."

"Kenapa kamu ngomong begitu?"

Hanif menaruh kedua tangannya di bahu Renjana ketika istrinya Terlihat ingin marah. "Kamu di mana hari ini?"

"Di kantor."

Renjana meneteskan air matanya ketika Hanif menjawab di kantor. "Hubungan kita sebatas kebohongan, kan? Cuman untuk hindari orangtua kita tentang pertanyaan kapan nikah?"

"Renjana, kamu kenapa ngomong gitu?"

Renjana menurunkan tangan Hanif dari bahunya. "Hari ini aku ke kantor kamu. Dan aku nungguin kamu dari siang sampai sore. Kamu biasanya ngabarin, handphone kamu mati, kamu bilang kamu di kantor. Tapi aku nggak tahu kamu ke mana. Kamu bilang kamu kerja, tapi aku nggak tahu apa selama ini kamu terus bohong aku. Kamu selalu romantis, tapi hari ini aku tahu kamu bohong. Dan kamu tahu, Hanif. Ada rasa sesal di dalam hidup aku nikah sama kamu. Aku nggak suka dibohongi."

Hanif mematung ketika Renjana pergi sambil menangis. Hanif bodoh bukan? Dia sudah menghancurkan hati istrinya. Hanif sudah membuat hati Renjana terluka. Dia berbohong karena dia pikir Renjana tidak pergi ke kantor.

Ia mengeluarkan ponselnya kemudian menyalakannya. Dua menit kemudian ada tumpukan chat dari Renjana dan juga panggilan tidak terjawab di whatsapp. "Kenapa malah jadi begini?"

Hanif ingin merutuki kebodohan nya. Dia sudah membohongi mamanya, sekarang dia membohongi Renjana juga dan sampai membuat Renjana menangis karena ulahnya.

Yuk tambahkan ke perpustakaan kalian.

HEARTACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang