Yang belum tambahin ke perpustakaan, yuk tambahin dulu. Follow author juga, ya.
Semenjak kejadian beberapa hari lalu, sikap Renjana berubah. Mereka memang tidur sekamar. Tapi dia sering mendengar Renjana menangis tengah malam.
Kadang Hanif berpikir bahwa dia akan bercerai dengan Renjana. Dibandingkan dia membuat istrinya menangis terus seperti itu.
"Jana, kita bisa ngomong?"
"Aku siapin sarapan apa sekarang?"
Hanif terdiam ketika sikap Renjana seperti itu. Dia tahu kalau istrinya sedang menghindar. Pasalnya sudah beberapa hari ini dia tidak punya kesempatan untuk bicara dengan Renjana.
Perasaan Hanif sangat nyeri karena istrinya yang masih marah. Ya ini karena keegoisannya sendiri. Mungkin nanti bisa diselesaikan baik-baik. Jika tidak, mau tidak mau Hanif menyudahi dan harus rela melepaskan Renjana meskipun dia sudah ada perasaan terhadap istrinya.
Dia berangkat dengan perasaan yang cukup kacau. Dan pulang juga dengan keadaan hati yang kacau juga.
Hanif memilih ke suatu tempat menenangkan hatinya, dibandingkan bertemu dengan Renjana. Dia masih belum siap untuk bicara dan menyudahi ini semua. Hanif tidak munafik, dia sudah mulai menyayangi Renjana. Kata orang, bisa karena terbiasa. Dan sekarang dia merasakan itu.
Andai dia melepaskan Renjana, sudah pasti dia yang akan paling terluka bukan? Jelas Hanif juga masih belum bisa memikirkan itu.
"Minum dulu."
Ia menerima kopi dalam kemasan kaleng dari temannya. "Ya kamu lumayan berubah semenjak menikah. Aku ngerti kamu sama Renjana pasti ada masalah. Yang namanya rumah tangga memang seperti itu, Hanif. Apalagi kamu yang baru membina dengan Renjana. Kita tahu sendiri kamu sama dia nggak pacaran kalian harus mengenal dari awal. Meskipun kamu nggak bilang, tapi kelihatan kamu sedang mikirin masalah."
Hanif tidak bisa membohongi perasaannya terhadap Renjana. Dia rindu dengan sosok istrinya yang selalu menyambut setiap hari.
"Maaf nih, ya. Kalau kita ketahuan bohong sama istri gimana?"
Temannya Hanif yang dengan santainya meminum kopi yang sama dengan Hanif dan meletakkannya dengan sopan. "Dalam rumah tangga ya harus ada kejujuran, kamu sama Renjana nggak pernah saling kenal. Kita tahu sendiri kalau kamu orangnya kayak gimana. Renjana marah sama kamu?"
"Ya ada masalah sih. Aku bohong sama dia. Aku bilang aku di kantor beberapa hari lalu, tapi aku ke rumah Mama. Dan dia nungguin dari siang di sini. Taunya aku malah ada di rumah orangtua aku. Aku ngerasa bersalah. Sampai sekarang dia masih marah. Emang nggak wajar sih ya cerita mengenai rumah tangga sama orang. Tapi aku juga bingung, apa iya aku sama Renjana harus cerai secepat itu? Sedangkan aku sudah mulai ada rasa sama dia."
"Nikah nggak kayak pacaran, Hanif. Kalau kamu udah cerai, nggak semua mau kembali. Contohnya Renjana. Dia mana mau percaya sama kamu lagi? Dia nggak bakalan percaya sama kamu, Hanif. Dia bakalan nyari yang lain atau bahkan nggak bakalan nyari yang lain lagi. Sentuh perasaan istri kamu, kunci pernikahan terbuka satu sama lain. Kasihan juga Renjana. Kamu masalahnya apa memang? Kok sampai kepikiran cerai? Baru aja nikah beberapa bulan."
Hanif mana mau menceritakan tentang dia yang meminta jatah pada Renjana. Namun justru karena dia salah langkah. Akhirnya dia membuat Renjana juga sakit hati dengan kebohongannya.
"Ya ada saja pokoknya."
"Omongin aja baik-baik dulu. Jangan sembarangan mau cerai seperti itu, kamu kok baru nikah malah jadi duda. Nggak keren, Hanif."
Abi benar, kalau dia tidak seharusnya berpikiran sempit seperti itu dan mengatakan ingin bercerai dengan Renjana. Dia bisa Uring-uringan kalau dia daan Renjana pisah. Apalagi di dalam hatinya sudah ada Renjana.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTACHE
RomanceCerita ini akan membahas tentang pernikahan, romantis dan juga membahas tentang cinta bisa tumbuh secara perlahan. ------------------------- Dua puluh tujuh tahun merupakan sebuah beban teramat besar yang dilalui oleh Renjana. Terikat dengan kekasi...