Renjana hanya tinggal berdua di rumah bersama dengan Mbok Yun sekarang. Sedangkan suaminya sudah kembali lagi ke kantor. Katanya ada urusan penting yang harus seger di selesaikan. Walaupun sebenarnya ia masih agak canggung dengan Hanif. Namun suaminya cukup pandai untuk mencairkan suasana.
Apa yang harus dia lakukan di rumah ini? Sedangkan suaminya sendiri tidak memperbolehkan dia untuk melakukan pekerjaan rumah dan fokus pada suami. Sedangkan Renjana sudah biasa melakukan pekerjaan rumah di rumah orangtuanya. Tidak dengan di tempat ini. Dia benar-benar dianggap ratu di kediaman suaminya.
Kata mamanya, mereka masih belum boleh keluar selama belum selesai acara dan masih hangat-hangatnya masa pernikahan mereka. Tapi Hanif meyakinkan ia untuk tetap percaya pada ketentuan Tuhan. Hanif juga bekerja untuk dirinya, bukan untuk mencari hal-hal tidak baik seperti ucapan orangtuanya mengenai pamali tersebut.
Kali pertama merasa hidup yang sangat berbeda dari biasanya.
Hidupnya dulu tertata rapi—apalagi soal menanti kepastian. Ia pelan-pelan juga belajar memahami bagaimana perilaku Hanif. Selama beberapa hari menikah, suaminya cukup baik memperlakukan dia sehari-hari.
Menurut janji yang hari ini katanya Hanif hanya setengah hari. Lalu kemudian sisanya akan pergi untuk mencari perlengkapan apa saja yang dibutuhkan selama di rumah. Tidak terlalu banyak sebenarnya. Namun Hanif mengatakan jika Renjana tentu butuh meja rias dan juga rak sepatu untuk sepatu-sepatutnya yang dia bawa dari rumah orangtuanya.
Karena sudah terbiasa hidup dengan sederhana, lalu tiba-tiba mendapatkan suami yang sangat pengertian dan juga seolah tidak memperbolehkan dia menyentuh apa pun barang di rumah ini sampai tangannya berdebu.
Ya, tangannya tidak boleh kena debu di rumah ini. Begitu kata Hanif. Dia mencari istri yang bisa mengurusnya dengan baik. Bukan mencari pembantu. Selalu saja begitu alasan yang dikatakan Hanif padanya.
Tiiin.
Renjana bangun dari ruang tengah yang tadinya dia menonton televisi di ruangan itu sendirian, mendengar suara klakson mobil suaminya. Keluar dari tempat itu kemudian menyambut kedatangannya suaminya yang baru saja pulang bekerja.
Satu kebiasaan yang diajari oleh Hanif. Yaitu bersalaman, mencium tangan suami—dan keningnya dicium oleh Hanif.
Kebiasaan bersalaman itu dari awal pernikahan sudah diajarkan oleh Hanif. Tapi untuk cium kening, baru berlaku hari ini, yaitu tepatnya tadi pagi ketika Hanif berangkat bekerja. Walaupun Renjana malu-malu, Hanif tetap menciumnya. "Sudah siang, kita makan siang sekarang?"
"Kamu ganti baju dulu."
Hanif mengusap kepalanya lalu mengajaknya ke kamar. "Aku ambil undangan dari tempat percetakan. Kamu udah siapin nama-nama teman kamu yang nanti diundang?"
Renjana tidak akan mengundang banyak. Itu sudah pasti, dan janjinya memang tidak akan mengundang banyak pada Hanif dari awal.
Renjana mengambil baju ganti untuk suaminya. "Aku keluar dulu."
Masih malu, dan jelas dia masih malu. Suaminya juga menghargai dirinya dengan baik. Yaitu ketika Renjana mengatakan jika Hanif harus membuka bajunya di kamar mandi saat dia mandi. Ya, Hanif menurut begitu saja.
"Mama tadi hubungi aku."
Baru saja dia hendak keluar dari kamar itu, dia berhenti begitu saja.
"Mama mau ngapain?"
"Mama kamu, katanya pakaian kamu yang lain sudah disiapin di rumah. Tapi aku bilang kalau nggak usah dibawa semuanya. Takutnya nanti kamu mau nginap terus lupa bawa baju ganti. Jadi sebagian di biarin aja di sana."
Renjana membalas dengan anggukkan lalu meninggalkan suaminya sendirian di kamar usai dia menyiapkan baju ganti untuk Hanif.
Renjana membantu Mbok Yun untuk menata piring dan juga air minum untuk makan siang Hanif.
"Mbok, besok aku bantuin masak, ya!"
"Nggak usah, pengantin baru nikmati aja dulu."
Renjana mungkin paham bahwa asisten rumah tangga Hanif ini berpikir jika mereka sudah melewati malam pertama itu. Tapi tidak, Hanif tidak memaksa. Hanif tidak akan pernah memaksanyya melakukan hal itu jika Renjana sendiri belum siap.
Terdengar suara langkah kaki yang turun dari kamarnya.
Hanif menarik kursinya lalu duduk, ia minum air yang disiapkan Renjana tadi. "Mbok nanti harus dandan yang cantik juga waktu resepsi, oke!"
"Masa sih Mbok harus ikuan? Yang nikah siapa, yang dandan siapa." Sindir si Mbok.
Tapi Hanif malah tertawa sementara menunggu Renjana mengambil nasi.
"Ya nggak masalah, asal Mbok mau aja. Ajak anak sama cucu Mbok nanti waktu resepsi."
'Renjana lihat, kan? Ini suamimu antusias sekali membahas tentang resepsimu. Pernikahan impian sudah pasti kamu inginkan dengan orang yang kamu cintai. Lalu bagaimana dengan sosok suami yang ada di depanmu ini?'
Renjana berkata di dalam hati sambil menaruh piring dan juga mengambil lauk untuk suaminya.
Sedikit demi sedikit Renjana mulai untuk melayani Hanif dengan baik. Dia harus memperlakukan Hanif dengan baik juga. Beruntungnya perjodohan ini bukan perjodohan bersama dengan orang yang sangar.
Sedangkan dia mendapatkan suami dan juga mertua yang baik. Dia harus bisa bersikap dengan baik.
Melihat kalau nasi dan lauk sudah cukup. Hanif memulai kebiasaan, yaitu memimpin doa sebelum makan.
Renjana kadang merasa dia belum bangun dari tidurnya bertemu dengan Hanif.
Kalau perjodohan ini tidak disukai oleh lawan jenisnya, sudah pasti Renjana akan menderita. Tapi di sini tidak sama sekali. Di antara banyak sekali orang yang pernah mendekati Renjana, sosok Hanif yang paling dewasa. Hanif yang akan menemani masa-masa hidupnya nanti.
Sampai makan siang selesai, Hanif duduk sebentar di sana. "Kamu beli rak buku juga nggak?"
"Aku nggak tahu."
"Kita beli aja. Aku lihat kamu suka banget baca buku. Biar buku kamu nggak tercampur sama buku kerja aku."
Renjana pikir dia akan mati kutu dengan sikap dingin dari pasangannya. Hanif malah lebih santai diajak ngobrol. Entah bahas apa pun dia nyambung. Terbukti dengan percakapannya dengan Mbok Yun yang sesekali bercanda.
Sedangkan Renjana tidak pernah ada kata yang ingin diungkapkan untuk Hanif.
Sore harinya setelah ia mandi dan juga berdandan sederhana dengan makeup yang dibawa dari rumah orangtuanya.
"Sebentar, aku bawa dompet."
"Buat apa?" Hanif sudah siap untuk pergi.
"Ya kali aja mau beli sesuatu."
"Ya sudah, ayo pergi sekarang."
Hanif sudah hafal soal kebutuhan dan tempat terbaik tentunya. Buktinya Renjana diajak ke Ikea untuk melihat barang-barang yang dibutuhkan oleh Renjana. Ia melihat juga meja rias, rak buku dan juga untuk menaruh sepatu.
"Butuh sofa tunggal?"
Renjana menoleh saat suaminya menawarkan. "Boleh."
Puas berkeliling dan kemudian Hanif mengajaknya untuk pulang.
Barangnya juga diantarkan hari ini. Keluar dari tempat barusan, Hanif menggenggam tangannya lalu ke parkiran tempat di mana mereka memarkirkan mobil.
Katanya Hanif sudah berusia tiga puluh tahun. Tapi entah mengapa ia merasa setara saja dengan Hanif. Karena beberapa barang yang dipilih tadi sesuai dengan keinginan Renjana yang tidak bisa dia katakan.
Sedangkan ia dengan Yoga dulu, banyak sekali barang yang terbilang sudah tidak selera lagi dengan Renjana. Tapi Yoga malah menyukainya dan sering membahas tentang barang-barang lama. Sedangkan dia lebih suka ke hal-hal yang modern.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEARTACHE
RomanceCerita ini akan membahas tentang pernikahan, romantis dan juga membahas tentang cinta bisa tumbuh secara perlahan. ------------------------- Dua puluh tujuh tahun merupakan sebuah beban teramat besar yang dilalui oleh Renjana. Terikat dengan kekasi...