BAB 18

14.7K 1.1K 30
                                    

Yang belum tambahkan ke perpustakaan, yuk tambahkan dulu. Mana tau kalian suka dengan kelanjutannya nanti. Pastikan kalian follow akun ini juga, ya. 



Mata Renjana menyipit ketika melihat Hanif memegang ponselnya dan malah tersenyum. Curiga kalau suaminya sedang chat dengan wanita lain saat dia hamil. Menurut buku yang pernah dia baca beberapa waktu lalu, sebagian besar suami selingkuh saat sang istri sedang mengandung karena tidak mendapatkan jatah dari istri yang tengah hamil muda.

Pemikiran itu masih melekat pada Renjana, apalagi mengenai suaminya yang tiba-tiba saja terlihat tengah asyik dengan ponsel yang dipegangnya sambil mengetik pesan. Es stik yang sedang dimakan Hanif malah digigit ujung plastiknya dan melanjutkan lagi kesibukannya untuk mengetik.

Renjana terdiam cemberut, menatap suaminya yang masih saja saling chat dengan seseorang. "Kamu selingkuh, ya?"

Hanif menoleh dan bangun dari tempat duduk. Membuang sampah plastik dan es stik yang dimakannya tadi. "Kok kamu mikirnya gitu, Jana?"

"Perasaan perempuan itu peka."

"Peka kamu itu bisa bikin kita bermasalah, Jana. Aku mana ada selingkuhi kamu."

Terdengar sedang mencari alasan bagi Renjana. Sedangkan suaminya terlihat santai menghampirinya di tempat tidur. "Aku chat sama kakak aku. Kenapa kamu malah mikirnya aneh segala?"

Renjana terdiam. Meski jengkel dengan Hanif yang merangkulnya kemudian mengajaknya berbaring di tempat tidur, menjadikan lengan Hanif sebagai bantalan kemudian suaminya memperlihatkan chat yang membuatnya tersenyum. "Kamu kenapa sama Kak Imran?"

"Nggak ada, dia ngasih tahu aja kalau nanti masa ngidam kamu masih panjang. Bisa-bisa aku dibangunin tengah malam cuman pengen makan sesuatu katanya."

"Tapi aku nggak pernah merasa seperti itu, Hanif."

"Ya, kan belum sayang."

Semakin ia menempel pada Hanif, suaminya mencium keningnya sampai Renjana tersenyum. Hanif romantis, jelas suaminya romantis saat mereka berdua saja. Kalau mereka pergi ke suatu tampat, paling-paling Hanif menggandeng tangannya saja, dan itu tidak lebih. Tapi ketika mereka berdua berada di ruangan yang sama dan tidak ada orang lain, Hanif tidak pernah ragu untuk menciumnya. Katanya ciuman dan pelukan itu menguatkan cinta, Renjana juga merasa kalau dia juga dicintai oleh suaminya.

Namun kadang jiwa sensitifnya sering sekali kumat. Renjana sering merasa kalau dia memang butuh waktu bersama sang suami. Tidak hanya ketika Hanif pulang bekerja dan mereka mengobrol, tapi saat libur seperti ini juga. "Ngomong-ngomong mualmu berkurang?"

"Iya, Mama kan bilang aku cium aroma apa aja gitu yang aku sukai. Minimal biar aku nggak mual, terus makan sedikit aja. Jangan kebanyakan, nanti malah keluar lagi. Ya udah aku seharian ini rebahan, nonton TV, terus nungguin suami pulang."

"Enak ya punya istri, pulang kerja ada yang nungguin. Apalagi nanti ada dedek yang bareng istri kesayangan."

Tapi ada yang kurang bagi Renjana, yaitu dia ingin bekerja lagi seperti dulu. Agar memiliki kesibukan yang bisa mengusir kebosanannya ketika dia ingin melakukan sesuatu dan bisa bermanfaat. "Hanif, aku boleh kerja nggak?"

"Buat apa? Apa istriku kekurangan jatah belanja?"

"Bukan, tapi aku pengen kerja aja."

"Ya kalau mau kerja bisa di rumah. Mau kerjain apa aja. Kamu bisa masak atau apa gitu."

"Maksud aku di kantor, aku balik ke kantor Kak Teguh."

Hanif mendengus harus sabar menghadapi sikap istrinya yang kumat lagi meminta izin bekerja. Padahal apa yang diinginkan Renjana tidak pernah sulit untuk didapatkan pada Hanif. "Aku nggak mau kamu kerja, nanti kamu capek. Kasihan anakku sama istriku."

HEARTACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang