BAB 5

30K 1.6K 72
                                    

Percayalah bahwa jodoh itu adalah cerminan kita. Kamu mau lihat aku, maka lihat dirimu. Disitu ada aku.

“Renjana, Hanif datang tuh jemput kamu.”

Ia baru saja selesai berdandan karena sudah berjanji dengan Hanif akan pergi ke suatu tempat. Yang katanya ingin mencetak undangan pernikahan. Sangat cepat dan statusnya sebentar lagi akan berubah menjadi istri seorang Hanif. Pria asing yang tiba-tiba saja melamarnya dan akan menjadi suaminya nanti.
Keputusan untuk memilih Hanif bukan karena dia terpaksa sekarang. Tapi karena Yoga sudah memutuskan hubungan yang mereka berdua jalin selama sembilan tahun lamanya.
Tidak mudah untuk menaruh kepercayaan dan juga menjaga hati selama itu juga. Yang akhirnya berakhir dengan tragis. Diputuskan sepihak tidak pernah menyenangkan. Ibarat pisau yang mengiris sebuah daging yang di mana daging tidak bisa melakukan perlawanan pada pisau yang mengirisnya, seperti itu yang dirasakan oleh Renjana waktu Hanif melepaskan cintanya. Memang agak keterlaluan putus dengan cara yang seperti itu.

Dengan dandanan yang seadanya, dia keluar dari kamar. Menuju ruang tamu kemudian Renjana melihat ada calon suaminya yang ada di ruang tamu bersama dengan papanya.

Mereka ngobrol sebelum berangkat.

Beberapa saat kemudian Hanif dengan sopannya meminta izin kepada orangtuanya Renjana untuk berangkat agar tidak pulang kemalaman.

Saat mereka di perjalanan menuju ke percetakan undangan pernikahan.
Fokusnya pada jalan saat dia melihat ke luar jendela melihat orang sedang naik sepeda motor lalu si pria memasukkan tangan kekasihnya ke dalam saku sweaternya. Renjana ingat ketika Yoga dulu sering romantis seperti itu padanya.

“Aku ketemu kamu di Coffee Shop hari ini. Aku lihat kamu sama pacar kamu.”

Baru saja ia bernostalgia dengan masa lalu yang teramat runyam itu. Sekarang pertanyaan Hanif langsung menyerangnya. “Kamu ke mana?”
“Aku memang di sana sebelum kamu datang. Aku ada di belakang kalian. Aku dengar semua pembicaraan kamu yang ingin membatalkan pernikahan kita kalau pacar kamu melamar kamu tadi siang.”

Bodoh.

Sialan.

Renjana ingin mengumpat sekeras-kerasnya sekarang mendengar jawaban dari Hanif. “Kalau memang kamu ingin batalin, aku bisa ngomong ke orangtua kita biar kamu nggak terbebani. Aku bisa ngomong ke mereka semua dan jelasin apa yang sebenarnya. Maaf kalau aku tiba-tiba hadir di kehidupan kamu yang akhirnya buat kamu jadi berantakan seperti ini.”

Andai dia membatalkan pernikahan yang ada di depan mata. Belum tentu ada orang yang akan mengajaknya menikah seperti Hanif. Apalagi pria ini cukup sopan dari awal mereka kenalan. Dan juga tutur katanya yang disukai oleh orangtuanya Renjana.

“Nggak, aku nggak bisa batalin.”

“Aku ngerti rasanya ninggalin orang yang paling disayang, Renjana. Aku kasih pilihan ke kamu, kita batalin? Atau kita teruskan dengan syarat nggak akan ada masa lalu di antara kita. Maksud aku, aku nggak maksa kamu lupain Yoga. Tapi aku nggak mau saat nikah nanti dan ditengah hubungan itu, kamu malah lari sama dia. Aku ingin menikah satu kali dalam seumur hidup.”

Komitmen Hanif sangat beda dengan Yoga. Pacarnya yang memang selalu memiliki pemikiran yang berbeda dengan Hanif—ralat bukan pacar lagi, melainkan mantan pacar.

“Kita lanjutin.”

“Satu hal yang aku nggak mau tunda, yaitu aku pengen punya anak. Kalau kita punya anak, nggak ada alasan lagi kamu pergi dari aku.”

Renjana merasa bersalah dengan ucapannya tadi siang pada Hanif sekarang. Dia mengatakan pada Yoga bahwa dia mau membatalkan pernikahan asal Yoga mau melamarnnya. Sayang sekali harapan itu adalah sebuah kapas kering yang dibawa terbang oleh angin, sampai dia merasa bahwa itu tidak akan ada gunanya lagi berharap pada Yoga.
Masa depan ada di depan mata, hanya dengan Hanif. Pria yang akan dikenalnya dari nol lagi.

“Aku memang nggak mau tunda anak. Tapi aku nunggu kamu siap, semisal kamu belum siap kita sekamar, oke kita bisa pacaran dulu. Kita bisa saling mengenal satu sama lain. Kita bisa tidur di kamar berbeda. Tapi seperti yang kamu tahu, aku bukan tipe pria yang permainkan pernikahan. Bisa lihat dari saudara aku yang lain. Mereka banyak anak, mereka juga sama seperti aku dulu, sibuk kerja dan jodohnya juga dicarikan, Mama. Dan aku percaya siapa yang dipilih Mama adalah yang terbaik buat aku.”

Harusnya Renjana juga memikirkan hal yang sama. Kalau itu yang terbaik baginya dan juga Hanif, harusnya dia percaya juga kalau dirinya memang sudah ditakdirkan bersama dengan Hanif. Harusnya dia juga percaya bahwa pilihan orangtuanya adalah yang terbaik. Sama seperti yang dipikirkan oleh Hanif.

Mengenai perjalanan percintaan mereka, itu bisa dipikirkan nanti.
Renjana masih punya waktu memikirkannya.

Keduanya sama-sama terdiam di dalam mobil ketika diperjalanan menuju tempat percetakan.

Mereka berdua sudah ada di halaman parkir. “Sekali lagi aku tanya, sebelum undangan itu jadi dan disebar. Kamu yakin dengan pernikahan kita?”

Renjana menarik napasnya dalam-dalam lalu menatap Hanif kemudian menganggukkan kepalanya, jika ini batal. Tentu saja yang malu itu adalah orangtuanya juga. Bukan hanya orangtuanya Hanif saja. Dan sekarang Renjana akan menaruh harapan itu pada Hanif.
“Aku yakin kalau kamu memang yang terakhir.”

“Setelah kita keluar dari mobil ini, nggak ada lagi yang namanya pembatalan, Renjana. Apa pun yang terjadi kedepannya, kita yang bakalan lewati bersama. Meski itu adalah masalah kamu senndiri, aku yang bakalan mikirinnya juga.”

Renjana berusaha meyakinkan dirinnya.

Kemudian Hanif mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. “Tangan kamu mana?”

Renjana dengan polosnya mengulurkan tangannya kemudian Hanif memasang sebuah jam tangan yang berwarna hitam dan sangat cantik. Sebuah jam tangan dari Alexandre Christie yang sama dengan milik Hanif. “Aku sengaja beli ini tadi. Biar nanti ketika kita pergi ke mana-mana. Kamu nggak telat lagi kayak gini, aku sudah lama sekali nunggu kamu di ruang tamu. Sampai papa kamu rasanya mau interogasi aku soal rencana punya anak. Nikahin anaknya aja belum, masa mau ditanya soal anak.”

Renjana sedikit tersenyum ketika keluar dari mobil. Hanif membuka pintu untuknya dan meminta tangannya untuk digenggam. “Jangan nggak gandengan, nanti kita kayak orang yang lagi marahan.”

“Ya, Hanif. Terserah kamu mau gimana.”

Di dalam ruangan khusus, Renjana dibuat kagum oleh tempat ini.
“Sekalian kamu cobain gaun di sini. Di sini bukan cuman tempat cetak undangan.”

“Kamu tahu ini dari mana?”

“Mama aku jangan kamu remehin lho, ya. Mama tuh alau soal beginian paling cepet.” Hanif berkata dengan jujur karena ini adalah permintaan dari mamanya sendiri.

Dia diberikan kuasa oleh Hanif memilih desain tentang undangan pernikahan mereka ketika diberikan contoh yang sangat banyak. Renjana melihat warna yang sedikit lebih indah. Yaitu dengan warna hitam dengan tinta menngkilap seperti emas. “Kamu pilih yang ini?”

Renjana mengangguk, dia sangat setuju dengan warna yang tadi dipilihnya karena terlihat lebih mewah. “Kamu sudah mikirin siapa aja yang kamu undang?”

“Sudah kok.”

“Kami pesan lima ratus cetak.”

Renjana membelalak dengan nominal yang disebutkan oleh Hanif tadi. Siapa yang akan Renjana undang sebanyak itu? Lagipula teman-temannya kurang dari dua puluh orang. “Apa nggak dikurangi aja?”

“Nggak masalah. Nanti kita bagi, Renjana.”

Bukan soal tidak cukupnya. Hanya saja bagi Renjana, dia tidak akan mengundang banyak orang. Temannya hanya sedikit. “Mama kamu mau ngundang teman-temannya, dan juga kamu harus undang teman kamu.”

Seulas senyum simpul dari Renjana untuk calon suaminya.

Dia diajak untuk melihat gaun pengantin yang ada disebelah kemudian matanya terpaku pada gaun berwarna putih dengan desain yang sederhana tapi terlihat cukup mewah. “Kamu pilih!”

Renjana antara ingin menangis karena terharu akan menikah dan baru kali ini bisa melihat gaun pengantin yang akan dikenakan olehnya nanti. “Jangan ribet-ribet. Ini gaun untuk pernikahan kita lusa, untuk pestanya beda.” Jujur saja kalau ini sangat cepat.

Renjana bahagia atau sedih sekarang. Dia tidak tahu lagi perasaannya sehancur apa sekarang. Tapi ini adalah orang yang melamarnya, orang yang akan hidup dengannya. Dua hari lagi, itu akan menjadi saksi seumur hidupnya mengabdikan hidupnya untuk Hanif.

Keduanya pulang sebelum malam terlalu larut. “Hanif.”

“Iya, ada apa?”

“Aku cuman pengen tahu alasan kamu lamar aku.”

“Untuk jadi istri aku.”

“Maksudku, kamu tahu aku punya pacar.”

“Mama aku sama Mama kamu kan sering ketemu di pesta pernikahan teman-temannya. Terus biasanya mama kamu diundang juga, di sana kan mama kamu sering di tanya. Ya udah karena sama-sama punya anak, jadi dijodohkan.”

“Nggak masuk akal.” Dengan juteknya Renjana menjawab karena belum percaya dengan jawaban itu.

Renjana melipat kedua tangannya di depan dada saat mereka masih di perjalanan. “Aku udah lama pengen lamar kamu, paham? Tapi mama waktu itu bilang kalau kamu udah punya pacar.”

“Sebentar, maksud kamu apaan?”

“Nungguin kamu putus itu lama banget tahu nggak. Jadi aku kan nyosor duluan suruh orangtua lamarin.”

“Kok kamu bohong banget.” Padahal mereka baru saja jalan bareng hari ini. Tapi Renjana merasa sudah dekat dengan Hanif. Bawaan pria ini cukup hangat dan tidak membosankan.

Sementara pria itu tertawa sambil menyetir. “Mama yang pilih, katanya aku nggak bakalan nikah kalau aku kerja terus. Jadi waktu Mama mutusin buat lamar, itu panjang banget prosesnya. Karena mama kamu kan harus nanya kamu dulu, waktu kamu jawab iya. Akhirnya mama siapin semuanya.”

“Tapi aku belum jawab iya.”

“Mama kamu yang sudah jawab duluan. Makanya Mama pesan cincin, sama perlengkapan untuk nikah itu. Mulai besok pasti sudah hias rumah kamu. Akad nikah kita di rumah kamu, kan. Jangan telat bangun. Harus bangun subuh, terus acaranya jam sembilan. Aku pengen waktu di sana udah siap semuanya.”

“Hanif, apa kamu sudah yakin sama pernikahan ini?”

“Sebelum aku datang melamar, aku sudah mantapkan niat. Kalau aku ragu nggak mungkin aku melangkah. Dan sekarang alasan aku mau cepat-cepat karena aku nggak mau kamu kabur. Aku tahu di hati kamu masih ada mantan kamu, kan?”

Renjana tidak suka disinggung soal Yoga. “Sok tau.” Sebal sekali wajahnya menjawab pertanyaan calon suaminya.

“Nanti kita sama-sama saling mengenal satu sama lain setelah menikah. Percayalah bahwa jodoh itu adalah cerminan kita. Kamu mau lihat aku, maka lihat dirimu. Disitu ada aku. Hanya itu kuncinya.”

Follow dan kasih vote ya.

HEARTACHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang