15. Warna Baru

137 18 6
                                    

Jangan lupa untuk vote dan coment jika kalian suka sama cerita ini yaaa:)

Selamat membaca teman-teman❤️



15. Warna Baru

Cara paling baik menutupi luka ialah dengan senyum yang selalu terlihat baik-baik saja.

Kicauan burung gereja yang saling bersahutan menghangatkan hati. Terbang ke sana kemari. Dari satu ranting pohon ke ranting lain. Membawa ribuan pesan dari setiap sayap yang mengepak. Katanya, burung gereja sangat pintar membawa informasi penting. Entah dari suara kicauannya atau kepakan sayapnya cara burung satu itu menyampaikan informasi. Samar-samar suara bising kendaraan masih terdengar.

Seorang gadis berdiri di antara dua makam bernisan pualam. Lututnya jatuh di atas hamparan rumput luas bersama dengan hatinya. Netra cokelat jernih itu mengerjap, mengamati sekali lagi. Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali ia ke tempat ini. Ia merasa bersalah karena sudah lama tidak berkunjung. Dalam hati, gadis itu bersumpah akan sering mengunjungi.

Kelopak bunga mawar merah bertaburan di atas dua makam. Diselingi darah yang berdesir hebat. Tangannya menengadah, memohon sejuta doa untuk orang yang dikasihi. Tanpa terasa pula bendungan air dari bibir mata itu tumpah. Pecah sudah pertahanannya.

"Assalamualaikum, ma, Chio ...."

Sama seperti sebelum-sebelumnya. Setangguh apa pun ia menahan, hatinya tetap teriris. Pelan dan tipis.

"Mama dan Chio jangan marah sama aku, ya. Bukan aku nggak mau ke sini, tapi tugas aku banyak banget." Ia terkekeh pelan, berusaha menepis sesak di relung hati.

Namun, seperih apa pun Thella tak punya hak menuntut pada semesta. Karena setiap manusia pasti menjadi tokoh paling menyakitkan dalam lembaran hidupnya. Tokoh yang selalu menuntut kebahagian. Dulu, Thella pernah membenci alam semesta dan seisinya. Akan tetapi, perlahan ia sadar bagaimana cara kerja semesta. Bertemu—lalu berpisah.

Thella mendongak. Menatap langit yang sedang bersedih. Ia masih menggunakan seragam putih abu-abu. Rambut cokelat gelap sepunggungnya bergerak tertiup angin. Thella tersenyum. Manis sekali. Maka tangannya mengusap lembut dua nisan pualam itu.

Seandainya ibu dan adik Thella ada di sini, semua pasti terasa ringan. Tidak akan pernah Yudhistira—ayahnya menyalahkan diri sendiri. Thella menunduk.

"Ma, Thella udah kelas XII. Doain Thella supaya bisa wujudin mimpi mama dan papa, ya." Thella kelihatan seperti tengah berbincang dua arah. Padahal, ia tengah bermonolog.

"Archio juga. Kalo dihitung-hitung Chio harusnya udah sekolah, ya."

Sekelebat bayangan senyum Archio terukir di depan mata Thella. Betapa menggemaskan bocah lelaki itu dengan mata bulat dan pipi berisinya.

"Ma, Thella pulang dulu, ya. Tadi Thella nggak izin ke papa kalo mau ke sini. Nanti Thella ke sini lagi, dan ajak papa," pamitnya.

Sekali lagi, ia mengusap ukiran nama Chia—ibunya. Seberapa keras ia berusaha ikhlas, tetapi rasa sakit itu tak bisa ditampik. Thella tersenyum sebelum benar-benar beranjak.

Kaki Thella terasa berat ketika harus meninggalkan makam ibu dan adiknya. Ingin rasanya gadis itu berlama-lama di sini. Sejam, dua jam, atau bahkan seharian. Akan tetapi, langit semakin menggelap. Ia harus sampai rumah sebelum hujan lebih dulu sampai di bumi.

Sepanjang langkah terayun, Thella terus memperhatikan berbagai nisan. Hatinya berdenyut menatap rumah yang sesungguhnya. Ia terus melangkah, hingga tanpa sengaja sepasang bola mata itu menjerat sosok yang tidak asing. Kelopak mata Thella menyipit.

Senyum Senja KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang