7. Langit Yang Kehilangan Warna

366 86 68
                                    

Jangan lupa untuk vote dan coment jika kalian suka sama cerita ini yaaa:)

Sertakan kritik dan saran kalian.

Selamat membaca teman-teman❤️


7. Langit Yang Kehilangan Warna

Setiap manusia memiliki rasa sayang. Hanya saja, cara mengekspresikannya yang berbeda.

Ketika langit menggelap, Alder memasuki pelataran rumahnya. Alis Alder bertaut saat melihat sebuah mobil Toyota Yaris berwarna putih yang sangat ia kenali di halaman depan. Penampilan lelaki itu acak-acakan. Mulai dari rambut yang berantakan dan guratan lelah di wajah Alder.

Bagaimana tidak lelah? Sejak siang ia berkelana. Bak mengukur jalan, Alder hampir menyusuri setiap titik sudut kota Jakarta. Niatnya untuk menghibur diri, hingga malam ia baru kembali ke rumah.

Dari arah dapur, Alder mendengar suara orang sedang berbincang. Sebenarnya Alder tidak peduli, hanya saja ia tahu siapa tamu di rumah ini. Sesuai dugaan, kakek dan nenek Alder ada di sini. Ia sedikit terperangah.

Dengan kondisi hati yang kurang baik, Alder mendekati meja makan—tempat berkumpulnya kakek, nenek, dan kedua orang tuanya. Tamara—ibu Alder yang menyadari kepulangan putra tunggalnya langsung menghampiri.

"Kok telat banget pulangnya, Der? Ada Oma sama Opa, tuh," ujar Tamara. Meskipun tergolong wanita paruh baya, tetapi Tamara tidak terlihat seperti usia sebenarnya. Tentu saja karena ia mahir merawat diri.

Sekar—nenek Alder berdiri, diikuti oleh Cakra—kakek Alder. Tidak perlu kata untuk mengungkapkan rasa rindu, Sekar langsung memeluk cucunya. Jika ada kata yang lebih besar maknanya dari rindu, sudah pasti Sekar sematkan. Ia sangat jarang bertemu dengan Alder beberapa tahun belakangan ini.

Pelukan itu terlepas, Sekar mengusap bahu kokoh Alder. "Udah malem kok baru pulang?" tanya Sekar. Rasa rindunya menguap ke udara setelah bertemu Alder.

"Latihan basket, Oma," dusta Alder. Garis wajah dinginnya tidak berubah.

"Ayo Alder, kita makan malam," ajak Cakra.

Alder menggeleng. "Udah makan, Opa sama Oma aja. Aku ke kamar, ya," pamit Alder.

Punggung tegap Alder semakin menjauh dari jangkauan empat pasang netra yang sedang memandanginya. Sekar dan Cakra merasa berbeda dengan sikap cucu lelakinya. Seperti kapal yang kehilangan pelabuhan.

"Sejak kapan Alder seperti itu?" tanya Cakra.

Garisan halus tergambar di dahi Rizal—ayah Alder. Ia bingung dengan pertanyaan ayahnya.

"Maksud Papa?" Mewakili kebingungan suaminya, Tamara bertanya lebih dulu.

"Apa kalian tidak sadar? Alder itu semakin jauh dari kalian. Liat sikap dia," sahut Sekar.

"Dia itu lagi sedih, Pa, Ma ... pacarnya baru meninggal. Wajar dia kayak gitu, lagi pengin sendiri. Namanya anak muda, nanti juga baik lagi," jelas Rizal.

"Bukan itu masalahnya! Kalian yang kurang memperhatikan Alder! Papa tau kalian jarang di rumah. Pergi pagi, pulang malam." Cakra menggeram, raut wajahnya berubah tegang.

"Aku orang tuanya, Pa. Aku tau apa yang harus aku lakukan untuk anakku! Aku sayang anakku, makanya aku kerja keras." Rizal mulai emosi, tidak terima dengan perkataan ayahnya.

Senyum Senja KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang