14. Luapan Emosi

153 18 9
                                    

Jangan lupa untuk vote dan coment jika kalian suka sama cerita ini yaaa:)

Selamat membaca teman-teman❤️



14. Luapan Emosi

Setiap luka yang lahir, butuh penawar.

Langkah itu terdengar tegas dan berani, menjejaki lantai marmer yang mengkilap. Membawa aura menegangkan di setiap inci rumah. Dinding dingin itu menjadi saksi betapa mencekamnya rumah mewah ini. Rumah tanpa kehangatan.

"Alder!" Suara lantangnya begitu menggema di sudut rumah. Pria paruh baya itu berhenti tepat di depan anak tangga menuju lantai dua.

Dengan tergopoh, Tamara muncul dari arah belakang. Ia bahkan hampir terjatuh karena terburu-buru. Teriakan Rizal—suaminya amat mengejutkan.

"Kenapa, Mas? Kenapa teriak-teriak?" Tamara tidak mengerti hal apa yang membuat suaminya seperti kesetanan.

"Alder, sini kamu!" teriaknya sekali lagi. Bahkan kali ini suaranya lebih keras.

Pintu berwarna abu-abu itu terbuka, menampilkan seorang lelaki berperawakan tinggi. Air mukanya datar. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jins selutut. Langkahnya menuruni satu per satu anak tangga yang dingin.

Rizal menatap nyalang putra semata wayangnya. Ia mendekati Alder, saat lelaki itu sampai di anak tangga paling bawah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi, Rizal menampar keras pipi kiri Alder. Hingga bercak kemerahan tercetak nyata di pipi Alder.

Spontan Tamara menjerit. Wanita itu menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Semuanya terjadi begitu cepat dan Tamara belum memahami penyebabnya.

"Buat malu kamu! Papa sekolahin kamu untuk belajar, bukan berantem nggak jelas! Kayak anak nggak diurusin orang tua kamu. Liar!" seru Rizal.

"Faktanya aku memang kayak nggak diurusin, kan?" Nada bicara Alder rendah, tetapi penuh sindiran.

Sekali lagi, tangan Rizal mengepal erat. Darahnya mendidih, emosinya menyentuh level puncak. Alder benar-benar menyulut emosi ayahnya. Rizal kembali mengangkat tangan, ingin memukul Alder. Beruntunglah dengan cekatan Tamara mencegah. Nalurinya sebagai seorang ibu tidak bisa diam saja.

"Udah, berhenti! Denger, ya, nggak ada satu orang pun yang berhak menyakiti Alder. Termasuk kamu, Mas!" tajam Tamara. Sepasang pupil matanya memerah. Hatinya sakit dan sesak.

Rizal menatap sang istri. Dadanya naik turun tidak beraturan, menandakan emosi yang belum reda. Ini kali pertama amarah Rizal meledak karena Alder. Biasanya emosi Rizal akan naik, apabila pekerjaan orang-orang di bawahnya tidak benar.

Sebelum pergi, pria itu menatap Alder sekilas lalu berkata, "Kompres luka dan pipimu."

***

Semilir angin menyapu permukaan kulit seputih kapas. Kedua lengannya bersandar pada pagar pembatas balkon. Menopang sebagian beban di sana. Tidak hanya beban tubuh, tetapi beban pikiran juga. Kepalanya menunduk, menatap kolam renang di bawah sana. Airnya damai. Sesekali hembusan angin menggetarkan permukaan air. Dalam hati, ia ingin sedamai air dan setenang angin.

Atensi dalam pikirannya teralihkan saat seseorang menyentuh bahu rapuh miliknya. Bahu yang terdapat banyak kepingan luka. Ia tidak kaget mengapa bisa orang itu masuk dalam kamarnya, karena ia tak mengunci pintu.

"Alder lagi apa?"

Tetap bergeming. Alder hanya menatap sekilas Tamara, lalu kembali memandang ke bawah. Sepertinya fokus di bawah sana lebih menarik dibanding sang ibu.

"Mama ganggu nggak? Ada yang mau mama omongin sama kamu. Boleh?" tanya Tamara hati-hati. Berkali-kali wanita itu mengelus lembut bahu putranya.

"Ngomong aja," jawab Alder.

Senyum Senja KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang