Prolog

2.2K 266 107
                                    

Matahari merambat sejengkal demi sejengkal ke ufuk barat. Sinarnya yang khas, perlahan memudar tertutup oleh gumpalan awan sore. Angin berhembus menggerakkan dedaunan layu yang jatuh berserakan di atas tanah liat berselimut rumput. Rumput yang berwarna hijau, membuat netra terasa segar dan sejuk ketika memandangnya. Semilir angin kembali menggelitik, menggoyangkan helai demi helai rambut selegam arang.

Aku kembali melangkah, tangan kananku memegang erat seikat bunga mawar putih. Bunga yang diyakini memiliki arti ketulusan. Ya, aku memang begitu tulus mencintainya. Aku menghirup napas dalam-dalam, dan tanpa sengaja mataku pun ikut terpejam. Membiarkan angin sore membelai wajahku. Tidak bisa dipungkiri bahwa hatiku perih, napasku sesak, jiwaku hilang tanpa arah tiap kali aku berkunjung ke tempat ini. Tetapi tempat ini salah satu kenyamanan bagiku. Sisi nyaman yang sulit aku dapatkan dari mana pun. Kenyamanan serta kehancuran yang membelenggu diriku.

Andai kamu tau, betapa sakitnya aku di sini tanpamu. Berharap asaku kembali bersama dirimu. Membawa segenap kekuatan untukku. Semesta terlalu kejam merangkai cerita untukku. Semua rasa sakit, hilang, pedih, mengeroyokku.

Teruntuk kamu, yang sudah memberiku banyak hal. Terima kasih sudah hadir. Karena seandainya kamu tidak pernah hadir di hidupku, aku mungkin tidak akan mengenal banyak warna.

Aku kembali memejamkan mata kuat-kuat. Tanpa terasa air mataku mengalir tiap kali mengingatmu. Tidak! Aku tidak boleh menangis saat mengunjungimu. Segera kuhapus kasar air mata yang meluruh di pipi. Setelah itu, kubuka mataku kembali. Dengan harapan dirimu ada di hadapanku. Akan tetapi, aku sadar itu semua mustahil rasanya. Senyumku terukir kala menatap semburat jingga yang mengembang di langit.

Senja ....

Senyum Senja KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang