[Kapan?]

233 24 2
                                    

Hari ini Felinda sibuk di dapur bersama Veni, membantu memasak untuk acara tingkepan anak Tante Sari. Tangannya lincah mengiris wortel, sementara Veni sedang mengaduk kuah opor di panci besar. Suasana dapur ramai dengan obrolan ibu-ibu yang ikut membantu. Tapi tiba-tiba ada yang menyinggungnya.

"Istrinya Bhayangkara siapa namanya?" suara seorang perempuan tiba-tiba terdengar.

Veni menoleh lantas menjawab, "Felinda, Bu."

"Kamu udah isi belum?" Felinda menoleh, mendapati Bu Lestari—tetangga Tante Sari—menatapnya dengan senyum kepo.

"Belum, Bu," jawab Felinda santai, berusaha tetap tenang. "mohon doanya aja."

Bu Lestari mengangguk-angguk seakan memahami sesuatu. "Padahal udah sebulan, ya? Biasanya kalau pengantin baru tuh cepet, apalagi suamimu kan masih muda dan sehat," ujarnya sambil melirik Veni, seolah mencari dukungan.

Veni hanya tersenyum simpul tanpa ikut campur, tapi Felinda mulai merasa tak nyaman. "Jangan-jangan Felinda kurang bisa ngurus suami?" celetuk ibu-ibu lain yang duduk di sudut dapur, membuat beberapa ibu lainnya terkekeh.

Felinda mencengkeram pisau lebih erat, berusaha menahan diri. Veni yang menangkap perubahan ekspresi Felinda segera bicara, "Rezeki anak itu udah diatur, Bu. Lagi pula, Felinda ini masih muda, nggak perlu buru-buru. Yang penting sehat dulu."

Felinda menghela napas pelan, merasa lega karena Veni membantunya keluar dari situasi itu. Tapi tetap saja, komentar-komentar itu terngiang di kepalanya. Apakah dia memang belum cukup baik sebagai istri Bhayangkara?

Di tengah lamunannya, terdengar suara Tante Sari memanggil. "Felinda, Veni, ayo bantu angkat makanan ke depan."

Felinda segera mengangguk, berusaha mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang menggoyahkan hatinya. Felinda dan Veni pun menuruti titahan tante Sari, dan Veni pun mencoba menenangkan Felinda. "Jangan terlalu dipikirin, ya. Mbak yakin, nanti ada waktunya kalian punya anak."

"Makasih, ya, Mbak."

~~~~~

Felinda duduk di sudut ruangan, diam tanpa banyak bicara. Acara tingkepan sudah dimulai, lantunan doa dan shalawat memenuhi ruangan, tapi pikirannya melayang entah ke mana.

Sejak tadi, Felinda hanya tersenyum tipis setiap kali ada yang menyapanya. Perkataannya tetap ramah, tapi matanya jelas tak berbinar seperti biasanya. Sesekali, dia melirik ke arah Bhayangkara yang duduk tak jauh darinya. Suaminya itu terlihat santai, sesekali bercanda dengan Mas Bahu dan saudara lainnya. Seolah-olah dunia mereka baik-baik saja, seolah tak ada yang perlu dipikirkan.

Felinda menunduk, menatap tangannya sendiri. Ucapan-ucapan di dapur tadi masih terngiang di kepalanya. Jangan-jangan Felinda kurang bisa ngurus suami?

Pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Memang baru sebulan pernikahan mereka, tapi ia masih merasa asing dengan statusnya sebagai istri Bhayangkara. Ia melakukan tugasnya, tapi apakah itu cukup? Apa suaminya puas? Apa dia sudah benar-benar jadi istri yang diharapkan?

Sebuah sentuhan ringan di pundaknya membuatnya tersentak. Veni berbisik pelan, "Kamu nggak apa-apa?"

Felinda buru-buru mengangguk. "Iya, Mbak. Aku nggak papa."

Veni menatapnya lekat, seakan tak percaya. Tapi sebelum dia sempat bertanya lagi, seseorang sudah memanggilnya untuk membantu menyiapkan makanan. Felinda menghela napas lega, merasa terbebas dari tatapan yang seakan bisa menembus pikirannya.

Namun, rasa sesak itu tetap ada. Seperti ada yang mengganjal di dadanya.

Di tengah acara, Bhayangkara akhirnya menyadari sesuatu. Sejak tadi, Felinda hampir tak berbicara sama sekali. Padahal biasanya, meski tak banyak omong, setidaknya Felinda tak akan terlihat sekaku ini.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang