[Blue Café]

476 36 1
                                    

Felinda memandangi bangunan di hadapannya dengan raut wajah yang sulit ditebak. Ekspektasinya tentang "Blue Cafe" ternyata meleset jauh. Ia pikir nama itu hanya sekadar penamaan biasa, namun ternyata memiliki arti lebih. Tetapi, ia berusaha menyembunyikan kekecewaan kecilnya saat seseorang yang menggandeng tangannya dan menatapnya sambil tersenyum. Felinda ragu sejenak sebelum akhirnya membalas senyuman tipis itu. Mereka melangkah masuk ke dalam kafe yang terlihat sederhana namun cukup nyaman.

Setelah memesan minuman dan camilan, mereka memilih tempat duduk di sudut yang cukup sepi. Bhayangkara, pria yang menemani Felinda, memecah keheningan.

"Gimana sama kuliahnya?" tanyanya sambil menatap Felinda.

Felinda, yang sedang mengamati dekorasi ruangan, menoleh dengan sedikit bingung. "Apa?"

"Kuliahmu."

"Udah selesai, kan udah wisuda juga, Bapak," jawab Felinda dengan nada santai.

Bhayangkara mengernyitkan dahi, lalu tersenyum. "Kenapa masih nyebut Bapak, sih?" protesnya ringan.

Felinda terkekeh kecil. "Lebih sopan aja."

"Belum beranak, loh," keluh Bhayangkara.

"Tapi udah pantas untuk beranak," balas Felinda sambil tertawa kecil.

"Ayo, bikin sama kamu!" ancam Bhayangkara setengah bercanda.

"Coba aja kalau berani," tantang Felinda dengan senyuman tipis, tangannya mengepal di depan wajah Bhayangkara.

Pesanan mereka tiba, menghentikan interaksi penuh godaan itu. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan, Bhayangkara kembali mendekati Felinda.

"Nggak takut sama ancaman kecil kayak gitu, ya?" ujarnya dengan nada menggoda. Ia mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Felinda, dengan refleks, memalingkan wajahnya.

"Omes!" gumam Felinda setengah jengkel.

Bhayangkara menahan tawa, lalu menarik dagu Felinda agar mereka kembali bertatapan. "Oke, kita buktikan kalau aku omes."

Felinda menyingkirkan wajahnya dengan cepat. "Cukup, Bapak! Jadi ini tujuan Bapak ngajak ke sini?" sentaknya.

Bhayangkara terdiam, sedikit terkejut dengan perubahan sikap Felinda. Felinda menatapnya tajam sebelum akhirnya bangkit dan mengambil tasnya.

"Kalau cuma buat itu, sebaiknya Bapak cari perempuan lain," katanya tegas sebelum melangkah pergi.

Langkahnya sempat terhenti saat Bhayangkara berkata pelan, "Jangan ganggu gue lagi!"
You would eat your words, batin Felinda menanggapi ucapan Bhayangkara dan pergi meninggalkan kafe dengan perasaan bercampur aduk.

~~~~~~~~~~~~~~~~

Malam itu, Felinda terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang penuh sesak. Ia menyesal telah percaya pada Bhayangkara, seseorang yang baru ia kenal sembilan bulan lalu. Rasa kecewa dan marah pada dirinya sendiri bercampur menjadi satu.

Selama tiga hari terakhir, Felinda mengurung diri di kamar. Ia hanya keluar untuk shalat dan makan jika benar-benar lapar. Kegiatan lain, seperti pekerjaan rumah, ia lakukan seadanya. Malam hari, ia terbangun untuk shalat tahajud dan berdoa, meminta ampunan serta kekuatan. Pagi harinya, ia melanjutkan dengan shalat duha dan mengaji. Meskipun ia bukan muslimah yang sangat taat, Felinda selalu mencoba menyempatkan waktu untuk mendekatkan diri kepada-Nya.

Felinda juga disibukkan dengan pekerjaan freelance mengajar privat, yang biasa dilakukannya sore hari. Selain itu, ia membantu ibunya yang memiliki usaha katering kecil-kecilan dan toko kelontong. Kesibukan ini sedikit banyak membantunya mengalihkan perhatian dari bayang-bayang buruk tentang Bhayangkara.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang