[Bercengkrama]

114 9 8
                                    

Pukul dua sore hari, Felinda terbangun dari tidurnya kemudian ia sedikit terkejut lantaran ada tangan yang sedang memeluknya. Tapi, yang membuat ia semakin terkejut lagi adalah waktu yang kini menunjukkan pukul dua. Bergegas Felinda menyingkirkan tangan Bhayangkara dengan sedikit kasar kemudian turun dari kasur dan keluar menuju kamar mandi untuk mengambil wudu.

Kepergian Felinda tentu saja membuat Bhayangkara terbangun, bukan karena Felinda yang tidak ada di sisi melainkan karena tindakan Felinda. Ia memicingkan matanya kemudian melihat jam dinding yang terpasang di atas saklar membuat Bhayangkara bergegas keluar untuk ke kamar mandi. Namun, saat hendak membuka pintu Bhayangkara sedikit berjingkat lantaran pintu yang didorong dari luar-Felinda masuk.

"Astaghfirullahaladzim, ngagetin aja ih!" ujar Felinda dengan kesal. Kemudian Bhayangkara mengalah-ia mundur dan mempersilakan Felinda untuk masuk. Tanpa menanggapi Felinda yang mengomel.

"Kita salat bareng!" setelah itu Bhayangkara pun bergegas untuk mengambil wudu dan menyusul Felinda. Begitu masuk kamar Bhayangkara melihat Felinda yang sudah memakai mukena bahkan ia sudah menyiapkan sarung untuk Bhayangkara.

~~~

Usai salat Bhayangkara langsung menyuruh Felinda untuk makan, tapi Felinda yang keras kepala itu menolak mentah-mentah dan berakhir Bhayangkara yang memaksa bahkan menyuapinya. Felinda tentu saja kesal selama disuapi Bhayangkara ia memasang muka cemberut. Alih-alih sang suami ikutan kesal justru merasa terhibur dengan raut muka Felinda apalagi dengan pipi sang isteri yang kini semakin membulat saja.

"Kamu pasang wajah seperti itu justru makin lucu," kata Bhayangkara kemudian terkekeh pelan. Felinda tentu saja tidak memberi tanggapan, namanya juga kesal.

Tiba-tiba ada yang mengucap salam—membuat Felinda langsung bergegas beranjak setelah menerima suapan dari Bhayangkara yang hanya mampu menghela napas.

"Sabar-sabar," gumam Bhayangkara lirih.

Sementara Felinda yang telah membukakan pintu dan melihat siapa yang datang berkunjung di sore hari sontak terkekeh saat orang tersebut memekik senang. Bahkan orang tersebut langsung memeluk Felinda.

"Kangen, ih!" Felinda terkekeh seraya membalas pelukan sang adik, sepupu.

"Masuk dulu," kata Felinda memberi titah.

"Mbak nginep sini, kan?" tanya Era-sepupu Felinda. Iya, dua perempuan tersebut memang bersaudara.

"Iya," jawab Felinda singkat kemudian mempersilakan adik sepupunya itu untuk duduk. Sementara ia ke belakang untuk mengambil beberapa makanan yang dibeli Bhayangkara dan disuguhkan pada Era.

"Repot, ya, Mbak." Tiba-tiba sepupu Felinda berkata dengan arti yang ambigu.

"Udah saling cinta, eh ... terhalang restu orang tua. Nggak suka malah dipaksa, ribet banget, 'kan?"

"Itu namanya teman hidup, bukan pasangan hidup. Cinta itu butuh fokus, kalau dia masih mengingat masa lalu atau bahkan menyempatkan diri untuk melirik yang lain. Berarti kamu itu bukan jadi tempat tujuannya, buat dia pulang." Felinda melirik sepupunya yang menatap ke sembarang arah. Lalu ia merangkul bahu Era dan mengusapnya pelan—bertujuan untuk memberinya kekuatan.

"Kupikir jadi prioritas, ternyata cuma sebatas solidaritas." Kemudian Era terkekeh pelan masih tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan seseorang yang katanya cinta ternyata hanya sebatas coba-coba.

"Udah, nggak pa-pa. Asalkan setelah ini jangan ada trauma," ujar Felinda memberi pesan seraya menepuk pundak Era dengan pelan dan si empu hanya mengangguk lantas tersenyum tipis.

"Semangat, Era!" seru Era.

Felinda terkekeh kemudian ia bercerita, "Kamu sendiri juga tahu, gimana kisah mbak sama Mas Bhayang ... kan, nggak semanis kelihatannya. Toh, pada dasarnya sejauh apapun atau bahkan nggak saling kenal sekalipun. Tetap aja bakal berjodoh pada waktunya. Karena jodoh pasti bertemu."

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang