[Keputusan Sepihak]

244 18 1
                                    

Keesokan harinya, Bhayangkara datang kembali ke rumah Felinda. Kali ini ia memiliki tujuan yang jelas: meminta izin kepada Bu Tanti, ibu Felinda, untuk mengajak putrinya keluar lebih tepatnya memperkenalkan Felinda ke ibunya.

"Ibu, kami izin saling mengenal lebih baik," ucap Bhayangkara dengan nada sopan, senyum tipis menghiasi wajahnya.

Bu Tanti berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Boleh. Kalau memang untuk kebaikan, Ibu izinkan."

Felinda yang mendengar itu langsung menyela. "Ibu enggak takut kalau nanti anak ibu ini diapa-apain sama dia?"

"Huss!" tegur Bu Tanti sambil melotot. "Kamu itu jangan ngelunjak! Sana ikut aja, jangan bikin malu."

Meski enggan, Felinda akhirnya menurut. Ia memasang ekspresi kesal sepanjang perjalanan, hanya diam dan memalingkan wajah ke jendela.

"Tujuan kita kemana?" tanya Felinda akhirnya, setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan.

"Ke rumah," jawab Bhayangkara singkat.

Felinda menoleh cepat. "Rumah siapa?"

"Rumahku. Ada yang perlu aku kenalkan," jawab Bhayangkara, tatapannya lurus ke depan.

"Berhenti!"

Bhayangkara tidak mengindahkan permintaan itu. Mobil terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar dengan halaman rapi. Tidak terlalu jauh dari rumah Felinda, hanya beda kecamatan saja.

Felinda langsung turun dari mobil, namun niatnya untuk pergi langsung terhenti ketika Bhayangkara mencengkeram pergelangan tangannya.

"Masuk!" ujarnya tegas.

"Nggak mau!" Felinda berusaha melepaskan tangannya. "Aku nggak ada urusan sama Bapak!"

"Setelah ini kita bakal ada urusan," balas Bhayangkara, kemudian menarik Felinda masuk ke dalam rumah.

Di ruang tamu, mereka disambut oleh seorang wanita tua yang duduk di kursi dengan tongkat di dekatnya. Senyumnya hangat, meski wajahnya dipenuhi kerutan usia.

"Ma, ini calon mantu Mama. Namanya Felinda," kata Bhayangkara dengan nada yakin. Ia sudah berjanji jika menemukan pujaan hati, akan dikenalkan ke ibunya.

Ibu Bhayangkara tersenyum, lalu mengulurkan tangan ke arah Felinda. Meski ragu, Felinda maju mendekat dan menyambut tangan itu. Ia hendak jongkok untuk memberi hormat, tapi Bhayangkara sudah menyiapkan kursi di depannya.

"Cantik," ujar wanita itu tulus, membuat Felinda yang tadinya penuh rasa kesal mendadak tersentuh. Senyum tipis muncul di wajahnya saat tangan berkeriput itu menyentuh lembut pipinya.

"Terima kasih, Nak, karena sudah nerima anak Mama," kata wanita itu sambil menatap Felinda dengan penuh harap.

Bhayangkara duduk di samping ibunya, tersenyum puas. "Mama seneng?"

Wanita itu mengangguk. "Mama lebih seneng lagi kalau kalian segera menikah." Tatapannya beralih ke Felinda. "Mau, kan?"

Felinda tidak langsung menjawab. Hatinya penuh kebimbangan. Meskipun Fariz sudah tidak menaruh harapan padanya tapi Felinda juga tidak ingin menjalin dengan siapapun, termasuk saat ini ia tidak memiliki rasa apa pun terhadap Bhayangkara.

Melihat Felinda terdiam, Ibu Bhayangkara menambahkan, "Kamu tahu, Nak? Kamu itu tamu perempuan satu-satunya yang Bhayangkara bawa ke rumah ini."

Pernyataan itu membuat Felinda terkejut. Ia menatap Bhayangkara dengan bingung. Beberapa kali bertemu, ia mengenal Bhayangkara sebagai sosok yang sulit ditebak, apalagi soal perempuan.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang