[Kita Bersama]

127 14 1
                                    

Sesuai kesepakatan Bhayangkara dan Felinda, mereka memutuskan untuk pulang dengan syarat dan ketentuan berlaku. Tapi ada hal lain yang bukan hanya sekadar pulang-melainkan ibu Felinda yang tiba-tiba jatuh sakit lantaran tensinya yang tinggi.

"Ayo, pulang sekarang!" ajak Bhayangkara begitu masuk ke kamar Felinda yang sedang membaca parenting di sosial media.

"Kita udah sepakat, besok baru pulang." Felinda melayangkan protes, ia memang setuju untuk pulang tapi bukan hari ini.

"Ibu sakit," ucap Bhayangkara memberitahukan pada Felinda sebuah pernyataan.

Dua kata tersebut sukses membuat Felinda terkejut bahkan ponsel yang sempat dipegangnya kini terjatuh di pangkuan. Felinda menatap suaminya yang sibuk merapikan barang-barang dan memasukkan ke dalam tas secara asal.

"Kok nggak ada yang ngabarin aku?" kata Felinda kembali protes membuat Bhayangkara menghela napas kemudian menatap Felinda.

"Nomor kamu nggak aktif." Lalu Bhayangkara kembali sibuk begitu semua dirasa cukup dan beres. Ia lekas menarik lengan Felinda yang masih diam terpaku.
Ibu hamil itu tersadar nomornya memang sengaja di non-aktifkan lantaran agar sang suami tidak bisa menemukannya. Alih-alih bisa menghilang justru Bhayangkara yang datang. Saat tangan Felinda kembali ditarik Bhayangkara baru ibu hamil tersebut beranjak dan tidak sadar ponselnya terjatuh lalu bergegas diambil lalu mengikuti langkah sang suami yang sudah lebih dulu.
Mereka pun melakukan check out setelah itu bergegas menuju ke rumah ibunya Felinda. Selama perjalanan itu Felinda beberapa kali melempar tanya pada sang suami yang sabar menjawabnya. Bhayangkara sendiri sedang kalut lantaran pikirannya yang bercabang memikirkan pekerjaan dan ibu mertuanya.
"Ibu sakit apa?"
"Tensinya tinggi," jawab Bhayangkara.
"Terus keadaannya gimana?"
"Katanya, sih ... udah sempat periksa ke klinik. Kata Dokternya disuruh bed rest."
"Nanti kalau aku nginep beberapa hari di rumah Ibu, boleh?" tanya Felinda meminta izin pada sang suami yang justru tersenyum. Isterinya ini, kadang bersikap menjengkelkan tapi selalu ada rasa hormat seperti barusan-meminta izin padanya.
"Ya, boleh dong, Fe. Nanti kita nginep di rumah Ibu."
"Terima kasih, Mas Suami."

~~~

Begitu tiba di rumah ibu Felinda, mereka-pasutri muda itu langsung bergegas masuk, tentu saja untuk melihat kondisi sang ibu.
"Assalamu'alaikum, Ibu ...."

Felinda langsung menuju ke kamar sang ibu, rumah itu tampak sepi tentu saja. Tapi maksudnya tidak ada yang menemani ibunya atau hanya sekadar untuk berkunjung. Ah, rasanya Felinda memang benar-benar tidak tega.

"Wa'alaikumussalam," jawab lirih sang ibu.

Felinda pun mendekat dan memeluk sang ibu dari samping bahkan ia juga mencium pipi yang sudah mulai keriput itu.

"Ibu mikirin apa? Kok sampe hipertensi gini?"

Sang ibu yang mendapat pertanyaan itu tersenyum mengelus pipi sang anak dengan sayang lalu berkata, "Nggak mikir apa-apa, mungkin cuma capek aja."

"Jangan sampe capek, Bu."

Bhayangkara mendekat kemudian menyalami sang mertua, mencium punggung tangan dengan takzim. Setelah itu ia duduk di kursi plastik yang ada di dekat ranjang.

"Bu ...." Felinda berujar manja.

"Ibu nggak pa-pa, Fe."

"Ya, kalau Ibu sakit nanti siapa yang bantuin aku pas udah lahiran."

"Doain, Fe." Bhayangkara menyahut-membalas ucapan Felinda.

"Ya, pasti di doain ...."

"Doanya yang baik," potong Bhayangkara cepat.

Lalu Bhayangkara menatap sang mertua kemudian menawarkan. "Ibu mau makan apa?"

"Iya, Bu. Mau makan apa? Nanti aku beliin sama Mas Bhayang."

"Nggak ada, kalian di sini aja ibu udah seneng."

Setelah mengobrol sedikit, Felinda dan Bhayangkara pun memilih untuk pergi agar sang ibu bisa beristirahat begitupun Felinda juga Bhayangkara.

~~~

Saat hendak memasuki kamar lengan Felinda dicekal Bhayangkara yang otomatis membuat si empu menoleh. "Kenapa?"

"Kamu udah makan?"

Felinda berbalik-menghadap ke arah Bhayangkara lalu menjawab, "Belum."

"Mau makan apa?"

Felinda berpikir sekian detik kemudian menggeleng. "Nggak ada, nanti masak sendiri aja."

"Makan sekarang, Fe!" titah Bhayangkara tegas.

"Ya, udah ... sana beliin." Setelah berkata demikian Felinda pun berlalu pergi dan masuk kamar. Sementara Bhayangkara langsung saja mengambil ponselnya untuk memesan makanan di aplikasi e-commerce andalannya. Kemudian masuk kamar untuk menanyakan makanan yang diinginkan Felinda.

"Mau makan apa?" tanya Bhayangkara dengan pelan.

Felinda yang sedang berbaring lekas merubah posisi dengan membelakangi Bhayangkara seraya menjawab, "Terserah."

Bhayangkara hanya mampu menghela napas dengan pelan, lalu ia memilih makanan yang sekiranya sehat dan aman untuk anak yang dikandung Felinda. Cukup banyak yang dipesan Bhayangkara karena bukan sekadar untuk Felinda saja, tapi juga dirinya. Eh, jangan lupa ibu mertuanya.

Setelah sibuk memesan makanan, Bhayangkara menepati janjinya pada Felinda-mengganti uang untuk menyewa kamar yang sempat mereka tinggali beberapa hari. Ia transfer ke rekening Felinda lalu memberitahukan transaksi tersebut padanya.

"Uangnya udah aku transfer, kamu bisa cek sendiri."

Felinda langsung meraih ponsel yang ada di dekatnya, kemudian mengecek m-banking dan melihat nominal debit yang sudah berubah-bertambah. Tak sadar bibir ranum Felinda terangkat membentuk simetris.

Bhayangkara yang melihat Felinda tersenyum melontarkan godaan. "Udah nggak ngambek?"

Seketika Felinda menoleh dan salah satu sudut bibirnya menyungging. Alih-alih sebal, Bhayangkara justru terkekeh melihatnya.

Selang menit kemudian Bhayangkara bangkit untuk keluar kamar mengambil delivery order, tentu saja karena tahu dari notifikasi. Namun, sebelum itu ia mencuri ciuman di pipi Felinda yang sontak melotot. 

Begitu di teras dan selang beberapa menit Bhayangkara menerima kantong plastik berisi makanan yang dipesannya. Setelah mengucapkan kata terima kasih, Bhayangkara langsung membawa makanan tersebut ke dapur dan mempersiapkan untuk sang isteri.

"Fe, makan dulu!" kata Bhayangkara saat memasuki kamar. Ternyata yang dipanggil tidak menyahut melainkan tidur, terdengar dari dengkuran halus. Membuat Bhayangkara menghela napas pendek.

"Sabar, Bhayangkara!" gumamnya dalam hati.

Bhayangkara kemudian membawa kembali makanan tersebut lalu ikut menyusul Felinda. Jangan lupa, sebelum itu mengunci pintu kamar. Memeluk sang isteri adalah kenyamanan tersendiri bagi Bhayangkara.

Kusempurnakan Separuh AgamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang